Oleh: Siti Nurhasanah
Dosen: Prof Dr H Zainuddin Ali MA
A. Latar Belakang
 Fenomena    “ketegangan”    antara    kekuasaan    hukum    dan    tuntutan pembangunan  ekonomi  seperti  dikemukakan  oleh  Jochen  Ropke  tersebut berkorelasi dengan ideologi pembangunan di Indonesia. Pada masa Orde Baru, trilogi pembangunan Indonesia yaitu pertumbuhan, stabilitas dan  pemerataan. Dari kacamata yang dipakai Ropke itu  terllihat adanya fenomena yang terlalu banyak   menonjolkan   pertumbuhan   ekonomi   dan   kurang   memperhatikan kegunaan hukum sebagai elemen perekat kohesi nasional. Dari kebijaksanaan seperti itu, muncullah fenomena kolusi dan korupsi yang mengabaikan prosedur legal dan kaidah moral, demi keuntungan ekonomi dan politik dengan berlindung di  bawah  alasan  pembenaran  dapat   meningkatkan  pertumbuhan  ekonomi. Padahal fenomena-fenomena semacam itu  dapat meruntuhkan tatanan sosial politik  dan  perekonomian  negara,  seperti  halnya  yang  secara  historis  telah dialami  oleh  banyak  negara,  baik  negara  kapitalis,  sosial  komunis,  maupun negara seperti Iran pada zaman Rezim Pahlevi. Dalam kaitan inilah pentingnya kajian tentang korupsi politik dalam disertasi ini. Kajian korupsi politik dan hukum di negara Filipina, RRC, Iran, Pakistan, India, Rusia, Jepang, Amerika Serikat, Belanda   dan   di   PBB,   dan lain-lain  akan   memperjelas   adanya   inferensi (kesimpulan) tentang eksistensi dan implikasinya di negara modern dewasa ini. Dengan  metode  komparatif  ini  akan  terlihat  fenomena  korupsi  yang  bersifat sistemik serta perbedaannya dengan korupsi yang bersifat sporadis.
 Dalam  kacamata  sosiologi  hukum  yang  dipakai  oleh  Alvin  S.  Johnson tentang eksistensi dan peran hukum ditegaskan bahwa dalam kehidupan sosial yang   nyata, hukum mempunyai daya mengatur, hanya jikalau sudah dipersatukandalam  suatu  kerangka  hukum,  lebih-lebih  dalam  satu  sistem hukum.  Penjelmaan  kenyataan sosial  sebagai  fakta  normatif  yang  dapat melahirkan hukum, yakni menjadi sumber utama atau sumber materiilnya. 
Pada masyarakat-masyarakat maju, yang di dalamnya agama, moralitas, dan hukum cukup dibedakan satu sama lain, maka hubungan antara kenyataan hukum dan moralitas   menjadi   efektif.    Dalam   hubungan   antara   hukum   dan   nilai kemanusiaan, Satjipto Rahardjo menyatakan hukum itu bukan merupakan suatu institusi yang absolut  dan final melainkan sangat bergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusialah yang merupakan penentu. Memang menghadapkan manusia kepada  hukum mendorong kita melakukan pilihan-pilihan yang rumit. Tetapi pada  hakikatnya teori-teori hukum yang ada berakar pada kedua faktor tersebut. Semakin landasan suatu teori bergeser ke faktor hukum, semakin ia menganggap  hukum sebagai sesuatu yang mutlak- otonom  dan  final.  Semakin  bergeser  ke   manusia,  semakin  teori  itu  ingin memberikan ruang kepada faktor manusia.
 Keterlibatan fungsi hukum dan peradilan dalam proses-proses demokratisasi    kehidupan bermasyarakat  dan  bernegara,  mengundang konsekuensi  dan  akan  selalu  berhadapan  dengan  paradoks-paradoks  yang sengaja  dibuat  atau  yang  memang  termasuk  hukum  kehidupan.  Radius jangkauan   peran   hukum   dapat   merasuk   ke   pelbagai   aspek   kehidupan kemasyarakatan  baik  politik,  ekonomi,  sosial  budaya,  maupun  pendidikan masyarakat. Perannya sangat dekat dengan timbulnya keresahan dan kepuasan bathin    masyarakat,    karena    peradilan merupakan    media    efektif    untuk mengartikulasikan demokrasi dan merealisasikan keadilan. Begitu strategis dan vital eksistensi hukum dan peradilan dalam masyarakat, sehingga mengundang minat pemegang otoritas untuk mengelola dan merekayasa hukum, baik dalam bentuk   undang-undang   atau   peraturan   lainnya. Pengelolaan   hukum   dan peradilan   sering   menggoda elit politik  dan   pejabat   pemerintahan   untuk memasukkan   subjektivitas   dan   kepentingan   individu   atau   kroninya   dapat diakomodasikan dalam perangkat aturan hukum. Dengan demikian, sikap dan tindakannya  yang  bias  dan  merugikan  rakyat  mendapat  legitimasi  yuridis meskipun bertentangan dengan moral. Pemerintahan Orde Baru (1966-1998), banyak mengulangi kesalahan politik Orde Lama dalam hal merekayasa hukum dan peradilan. Banyaknya undang-undang dan aturan hukum di bawahnya yang intinya hanya menguntungkan elit politik dan pemerintahan beserta keluarga dan kroninya merupakan bagian dari administrasi negara zaman Orde Baru.
Jadi,  penampilan  peran  peradilan  yang  prima,  selalu  menuntut  adanya integritas moral yang tinggi dari personilnya (lawyer, jaksa, hakim), terutama para hakim sebagai figur sentral dalam peradilan. Hanya saja, norma yang ada dalam masyarakat tidak hanya moral dan hukum saja, tetapi juga banyak norma- norma  yang  lain,  seperti  yang  pernah  dikemukakan  oleh  Adam  Podgorecki dalam bukunya Law and Society :
“In a social system there exists not  only legal and moral  norms, but also various norms of customs, manners, religion, politics, tradition, etc. Among these categories moral and legal norms  are distinct, as their role in the social systems in particularly significant and important. Legal and moral norms are the basis for order and regulation in a social system.” 
Jadi pendayagunaan peran peradilan juga menuntut pemahaman terhadap berbagai norma yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian, mekanisme peran  kreatif  peradilan  berseanyaman  dengan  kultur  hukum  masyarakat. Mengapa hukum pidana korupsi di Indonesia khususnya dan di beberapa negara lain terlihat seakan tidak berfungsi. Padahal menurut Barda Nawawi Arief, dilihat dari kebijakan hukum pidana, sasaran adressat dari hukum pidana tidak hanya perbuatan  jahat  dari  warga   masyarakat  tetapi  juga  perbuatan  (dalam  arti kewenangan/kekuasaan) penguasa/aparat  penegak  hukum.  Lebih  dari  itu, fenomena  korupsi  ekonomi  dan  korupsi  politik  terkait  dengan  tingkah  laku kekuasaan,  dalam  arti  pula  faktor  kebijaksanaan  politik  yang  di  dalamnya menyangkut hukum dan institusi penegak hukum sudah tidak berfungsi atau kehilangan integritasnya. Lazim terjadi adanya komisi-komisi independen untuk menyelidiki korupsi pejabat tingkat tinggi dan korupsi politik. Misalnya komisi antikorupsi pada awal Orde Baru, begitu  pula pada era Reformasi tahun 1998 muncul banyak komisi pemberantasan  KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) termasuk yang berkaitan dengan bisnis keluarga mantan Presiden Soeharto dan sejenisnya.
Dalam merespon fenomena sosial yang perkembangan masyarakat pada era  globalisasi  saat  ini,  termasuk  berbagai  corak  ekses  pembangunan  dan perilaku asosial dan korupsi, hukum Indonesia (dapat) menunjukkan keberadaan dan wataknya sesuai dengan perkembangan dan kompleksitas interaksi nasional maupun internasional. Hukum yang berakar  filsafat utilitarian banyak mewarnai hukum   suatu   negara   dan   norma   internasional.   Hukum   yang   beraliran utilitarianisme   mengagungkan   kebebasan   maksimal   bagi   setiap   individu sebagaimana   yang   digagas   oleh   Jeremy   Bentham   (1748-1832).   Seperti dikemukakan Satjipto Rahardjo, pemidanaan, menurut Bentham harus bersifat spesifik untuk setiap kejahatan dan seberapa kerasnya pidana itu tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan- penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya dapat diterima apabila ia memberikan harapan  bagi  tercegahnya  kejahatan  yang   lebih  besar.  Tujuan  akhir  dari perundang-undangan adalah untuk melayani kebahagiaan yang paling besar dari sejumlah terbesar rakyat.  Dengan demikian, kajian tentang keberadaan fungsi dan visi hukum Indonesia terutama tentang korupsi menjadi sangat relevan, agar keberadaan   hukum   sesuai   dengan   hakikat   keberadaannya.   Tersedianya integritas  peradilan  dan  hukum  yang  visioner  dalam  suatu  pemerintahan, merupakan  salah  satu  indikator  adanya  komitmen  bangsa  dalam  upaya menanggulangi korupsi. Kualitas komitmen pemerintahan Indonesia baik pada masa Orde Lama (1959-1965) maupun Orde  Baru (1966-1998) terlihat sangat rendah dalam upaya penanggulangan korupsi, khususnya korupsi politik. Begitu pula pemerintahan setelah Soeharto tetap tidak berdaya dan belum memiliki kemampuan dan kemauan politik  yang tegas untuk memberantas korupsi.
Dalam  era  globalisasi  korupsi  telah  menjadi  fenomena  kejahatan  yang menyangkut hubungan multilateral dan internasional. Apalagi yang berkualifikasi korupsi  politik  modus  operandi  dan  implikasinya  lebih  komplek  dibandingkan dengan korupsi yang dilakukan oleh orang biasa yang tidak memiliki kekuasaan politik. Korupsi politik yang dilakukan  oleh pejabat tinggi di suatu negara juga terjadi  di  berbagai  negara  di  semua  benua.  Korupsi  politik  memiliki  dampak negatif yang merusak tata kehidupan negara dan melanggar hak dasar rakyat di negara yang bersangkutan.
B.  Rumusan Masalah
1. Bagaimana korelasi korupsi dan paradigma hukumnya di Indonesia, dibeberapa negara modern, dan era globalisasi?
2. Bagaimana korelasi korupsi dengan dimensi sosio-kultural?
3. Bagaimana Dugaan Tindak pidana korupsi yang terjadi di Departemen Hukum dan HAM dilihat dari aspek Sosiologi Hukum?
4. Bagaimana upaya (kebijakan/strategi) penanggulangan dugaan korupsi yang berada di Departemen Hukum dan HAM dilihat dari aspek Sosiologi Hukum?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penggunaan Teori. 
Dengan  mengutip  Johan  Galtung,  ahli  sejarah  Kuntowijoyo  mengatakan bahwa sejarah itu diachronic (menekankan proses), sedangkan ilmu-ilmu sosial (sosiologi, ilmu  politik, antropologi,  ekonomi)  itu synchroni(menekankanstruktur). Dengan menunjuk pada pendapat Sally Falk Moore yang mengatakan bahwa “law is process” menunjukkan bahwa hukum itu terkait dengan hal yang bersifat  diachronic,  tetapi  pada  saat  yang  sama  juga  tidak  lepas  dari  yang bersifat  synchronic,  karena  menyangkut  hubungan  tingkah  laku  manusia  di dalam  masyarakat.  Karakter  bidang  ilmu  itu  penting  untuk  dipahami,  agar mengetahui cara bekerjanya teori ilmu itu secara alamiah.
Dengan  mempergunakan  teori-teori  yang  dikemukakan  dalam  kajian  ini akan dapat dilihat masalah korupsi politik dengan akurat (cermat dan tepat). Pada saat yang sama dengan kacamata  teori akan dapat dilihat faktor-faktor yang terlibat dan hubungan korelasinya dengan faktor yang lain. Sebagaimana yang  dikemukakan  oleh  W.  Lawrence  Neuman  bahwa  teori  memberikan pemikiran    (pertimbangan)    dan    mekanisme    yang    membantu    peneliti menghubungkan variabel-variabel dengan  permasalahan dalam penelitiannya. Suatu hipotesis dapat menjawab permasalahan (pertanyaan) dan proposisi yang tidak terbukti dalam suatu teori.  (Theory provides the reasoning or mechanism that helps researchers connect variables into a research question. A hypothesis can be both an answer to a research question and untested proposition from a theory).
Sebelum  mengkaji  secara  lebih  mendalam  tentang  permasalahan  tindak pidana korupsi tersebut, menurut hemat penulis perlu untuk diangkat mengenai tingkat pemahaman masyarakat Indonesia terhadap hukum. Menurut kami relevan untuk  dikaji  karena  muatan  ini  lebih  bersifat  sebagai  suatu  bentuk  pemahaman kembali mengenai hal mendasar yang disajikan secara terbatas, tetapi diupayakan dapat memberikan suatu khasanah tersendiri bagi para pembacanya.
Sejarah kenegaraan pun menunjukkan bahwa pengertian kegiatan tersebut merupakan salah satu upaya konkrit dalam mewujudkan  demokratise rechtsstaat, yang secara berkesinambungan selalu berkembang sesuai dengan tingkat kecerdasan suatu  bangsa.  Oleh  karenanya  berpangkal  tolak  pada  perumusan  sebagai  yang digariskan oleh pembentuk undang-undang dasar kita Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum dengan anggapan bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari  pengertian  negara  hukum  pada  umumnya,  disesuaikan  dengan  keadaan  di Indonesia. Artinya digunakan dengan ukuran pandangan hidup maupun pandangan bernegara kita.
Hukum  sebagai  agent  of  change  dalam  kehidupan  masyarakat  memang semestinya  dapat  mengatasi  atau  setidaknya  telah  mewaspadai  segala  bentuk perubahan   sosial   maupun   kebudayaan   yang   menggejala   di   masyarakat   yang kompleks sekalipun. Sekalipun konsep-konsep hukum tersebut tidak sepenuhnya dipahami oleh masyarakat, tetapi hukum itu sendiri tetap eksis dalam konteks yang lebih universal. Hal ini tidak lain karena masyarakat umum yang menghendaki atau menciptakan suatu perubahan, meskipun tidak diiringi dengan pemahaman konsep yang  menyeluruh.  Akibat  yang  terjadi  adalah  implementasi  hukum  didalam masyarakat menjadi tidak optimal, tidak jarang perangkat hukum tersebut justru disalahgunakan untuk maksud-maksud maupun tujuan-tujuan tertentu, yang justru memiliki tendensi untuk keuntungan pribadi atau golongan.
B.Tindak Pidana Korupsi di Depkum HAM
 Fenomena perbuatan   pidana   korupsi   yang terjadi di Departemen Hukum dan HAM berkaitan   dengan   pola perbuatan hokum. Seperti contoh yang terjadi dalam Departemen Hukum dan HAM  yang tejadi pad PT. Sarana Rekatama  Dinamika (SRD) diduga sebagai penikmat dana terbesar dari proyek Sisminbakum Dirjen AHU Depkum HAM. Tak hanya juiga kedapatan menunggak pembayaran tagihan listrik dan air sejak berkantor di departemen tersebut.
 “PT tersebut sekian tahun tak membayar uang listrik, air,”kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidus) Kejagung, Marwan Effendi di Kantornya, Jl. Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan.”Sejak diperiksa sama BPK saja dia baru bayar. Sewanya 10 Juta/tahun”.
 Dugaan korupsi Sisminbakum Depkum HAM bermula pada awal tahun 2001. Saat itu Ditjen AHU Departemen Kehakiman dan HAM (kini Depkum HAM) menerapkan pelayanan permohonan dan perubahan nama perusahaan. Namun dana yang masuk dari proyek itu hanya disetorkan ke kas Negara, melainkan ke Koperai Pegawai Depkum HAM dan SRD. Kerugian negara dalam kasus ini diduga mencapai Rp 400 Miliar. 
 Kejagung menetapkan Romli Atmasasmita, yang pada waktu dimulainya dengan proyek itu menjabat Dirjen AHU, sebagai tersangka. Selain itu, dua pejabat pengganti Romli, yakni Zulkarnaen Yunus dan Syamsudin Manan Sinaga juga bernasib sama. Kejagung juga sudah memeriksa mantan Menkeh HAM Yusril Ihza Mahendra dan Hamid Awaluddin sebagai saksi. Akhirnya Persidangan perkara Syamsuddin Manan Sinaga di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan agenda pemeriksaan saksi dimulai dari Ketua Majelis Hakim Haswandy mengetuk palu sebagai tanda dimulainya persidangan. Penuntut umum rencananya akan menghadirkan empat saksi, ternyata hanya  satu saksi saja yang hadir bernama John Sarojo Saleh. Ia adalah seorang pria berumur 79 tahun adalah konseptor Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) yang pernah diminta Romli Atmasasmita saat itu menjabat sebagai Direktur Jendral Hukum dan Perundang-undangan (Dirjen Administrasi Hukum Umum ) di Departemen Kehakiman.
 Salah satu pengacara Syamsuddin juga menyadari, LM Samosir , salah satu pengacara Syamsuddin mengatakan bahwa saksi tersebut tidak ada kaitannya dengan terdakwa. Korelasinya hanyalah saksi sebagai konseptor Sisminbakum yang masih berjalan sampai Syamsuddin menjabat sebagai Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU). Berarti keterangan saksi belum menyentuh substansi dugaan pidana yang dikenakan pada Sayamsuddin. LAki-laki paruh baya ini dijerat dakwaan alternative antara lain Pasal 12e, 12b, 11,2 ayat (1) dan pasal 3 jo pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Akibat perbuatan Ayamsuddin, penuntut umum dalam menyatakan Negara dirugikan sebesar Rp 197,2 miliar.
 Syamsuddin dianggap telah meneruskan pelanggaran hukum yang dilakukan Dirjen AHU sebelumnya. Sebagaimana diatur dalam PP No. 87 Tahun 2000 jo PP No. 75 Tahun 2005, biaya pelayanan jasa hukum pengesahan akta pendirian, persetujuan, atau laporan perubahan anggaran dasar perseroan terbatas, yakni sebesar Rp 200 ribu per akta. Namun, pada kenyataannya biaya pengurusan jasa administrasi hukum umum untuk pelanggan notaries pada kenyataannya membengkak.
 Lalu proses hukum pihak-pihak yang diduga terlibat kasus dugaan korupsi proyek Sisminbakum Depkumham terus berjalan. Kini giliran Direktur Utama PT. SRD Yohanes Woworuntu yang diperiksa Kejaksaan Agung RI.  Selang beberapa jam kemudian Kejagung akan kembali melakukan ekspose setelah Direktur Utama PT. Sarana Rekatama Dinamika (SRD) Yohanes Waworuntu ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi access fee Sistem Administrasi Badan Hukum di Depkumham. Sisminbakum adalah layanan untuk notaries guna mengecek atau mendaftarkan perusahaan. Fee jasa ini tidak masuk Negara melainkan masuk penyedia aplikasi Sisminbakum yaitu PT. SRD dan Pejabat Depkum. Kejagung yakin sekali kalo dalang dari korupsi dan suap proyek ini adalah Yohanes Waworuntu.
 Tim penyidik Kejagung kembali memeriksa 4 saksi dalam kasus dugaan korupsi pemungutan Acces fee sistem administrasi badan hukum (Sisminbakum) Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Depkumham. Salah satunya adalah Ketua Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen tersebut. SRD ini merupakan penyedia jasa system adminisrasi badan hukum. Kerugian Negara dalam kasus ini diduga mencapai Rp 400 miliar. Dan tiga mantan dirjen AHU yang telah ditetapkan sebagai tersangka, yakni Romli Atmasasmita, Zulkarnaen Yunus, dan Syamsuddin mana Sinaga.  Kejagung juga sudah memeriksa mantan Menkeh HAM Yusril Ihza MAhendra dan Hamid Awaluddin.
C.Tindak Pidana Korupsi dan Peraturan yang Mengaturnya.
 Setelah memahami betapa besarnya pengaruh hokum sebagai pranata sosial bagi masyarakat, maka kita untuk melihat salah satu contoh dari perbuatan manusia yang melatarbelakangi pentingnya peranan akan hokum dalam menciptakan kedamaian dan ketertiban di masyarakat. Tindak pidana korupsi atau untuk selanjutnya kita sebut dengan korupsi, merupakan jenis tindak pidana yang berkembang pesat sejalan dengan gencarnya pelaksanaan.
Tindak pidana korupsi atau untuk selanjutnya kita sebut saja dengan korupsi, merupakan  jenis  tindak  pidana  yang  berkembang  pesat  sejalan  dengan  semakin gencarnya pelaksanaan transaksi ekonomi baik dalam tatanan mikro maupun makro, yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi. Siapakah yang termasuk dalam kategori pelaku  ekonomi  itu?  Pada  dasarnya  pelaku  ekonomi  itu  adalah  semua  lapisan masyarakat  dan  tidak  menutup  kemungkinan  bahwa  kita  sendiri  termasuk  di dalamnya. Setiap transaksi ekonomi yang melibatkan pemindahan atau penyerahan kepemilikan  atau  kegunaan  atas  barang  baik  bergerak  maupun  tidak  bergerak umumnya rentan akan korupsi. Korupsi terkadang muncul sebagai “raksasa dengan seribu wajah”.
Karakteristik yang begitu beragam disertai dengan dampak yang ditimbulkan oleh korupsi itu sendiri bagi masyarakat, menjadikan korupsi tercatat sebagai sa;ah satu agenda hukum utama. Koridor negara hukum (rechstaat) yang diamanatkan dalam Mukadimah Undang- Undang Dasar  1945 membuat kita tidak dapat secara serta merta memberantas korupsi tanpa adanya suatu landasan hukum yang berlaku dan mengikat. Oleh karena itu, sebagai pedoman dalam upaya menegakkan hukum maka berdasarkan ketentuan hukum pidana  nasional, maka pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional menegaskan bahwa:
“Tidak  ada  perbuatan  yang  boleh  dihukum,  selain  atas  kekuatan aturan  pidana  dalam  undang-undang,  yang  diadakan  pada  waktu sebelumnya perbuatan itu terjadi.”
Pemberantasan korupsi lebih teraktualisasi dengan diterbitkannya undang- undang  tentang  pemberantasan  tindak  pidana  korupsi.  Namun,  sesungguhnya upaya-upaya pemberantasan korupsi telah dilakukan jauh sejak masa kemerdekaan Republik  Indonesia.  Hal  ini  terbukti  dengan  adanya  dua  ketentuan  peraturan perundang-undangan  yang  secara  khusus  mengatur  tindak  pidana  korupsi  yag dihasilkan dalam kurun waktu tahun 1960 sampai dengan tahun 1998 yaitu:
1. Undang-Undang No.24/Prp/1960 tentang  Pengusutan,Penuntutan dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi; dan
2. Undang-Undang  No.3  Tahun  1971  tentang  Pemberantasan  Tindak  Pidana
Korupsi.
Sejak dikeluarkannya TAP MPR No. IX/1998, Dewan Perwakilan Rakyat telah   menetapkan   serangkaian   undang-undang   pemberantasan   tindak   pidana korupsi yaitu:
1. Undang-Undang  No.  31  Tahun  1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, dan
2. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. UU No. 31 Tahun 1999  juncto UU No. 20 Tahun 2001 merupakan hukum positif dan dipergunakan sebagai dasar dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di RI. 
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
 Dari pembahasan diatas maka kesimpulan yang dapat diambil adalah :
1.Bahwa setiap manusia haruslah mempunya kesadaran atas hukum dan sangsi-sangsinya apabila melakuka perbuatan melanggar hukum.
2.Dalam kehidupan bernegara tindak pidana korupsi sebenarnya bukan merupakan masalah yang merupakan tanggung jawab dari pemerintah dan sekelompok  lembaga  ataupun  orang  tertentu  saja,  melainkan  juga  merupakan kewajiban dari masyarakat untuk mengatasinya. Pola-pola pemberantasan korupsi.
B. Saran
 Agar lebih dipertegas lagi tentang peraturan tindak pidana korupsi yang tercantum dalam :
1. TAP MPR No. IX/1998
 2. Undang-Undang No.24/Prp/1960 tentang  Pengusutan,Penuntutan dan
  Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi; dan
 3. Undang-Undang  No.3  Tahun  1971  tentang  Pemberantasan  Tindak  Pidana
  Korupsi.
4 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-                                Undang  Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
1.Johnson, Alvin S, Sosiologi Hukum, Rineka Cipta Jakarta, 2004, hal 191 - 192
2. Podgorecki, Adam, Pendekatan Sosiologi terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1987
3. Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal. 289.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
 

saya mahasiswa dari Jurusan Hukum
BalasHapusArtikel yang sangat menarik, bisa buat referensi ni ..
terimakasih ya infonya :)