Jumat, 18 September 2009

Tantangan Penerapan Hukum Pidana Islam Dilihat Dari Aspek Sosiologi Hukum

Oleh: Herti Setiawati
Dosen Pembina Matakuliah: Prof Dr H Zainuddin Ali MA

A. Latar Belakang

Hukum yang secara literal berarti menempatkan/meletakan sesuatu pada tempatnya adalah “Khittah Allah yang berhubungan dengan orang – orang dewasa (af al al-mukallafin), baik itu dalam bentuk iqtidha (tuntutan) maupun takhyir (pilihan) dan wadha (ketetapan).
Hukum Pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah. Fiqh Jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Alquran dan hadis. Tindakan kriminal dimaksud, adalah tindakan-tindakan kejahatan yang mengganggu ketentraman umum serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan yang bersumber dari Alquran dan hadis.

Negara-negara berkembang biasanya mewarisi tata hukum yang bersifat pluralistis dimana sistem hukum tradisional berlaku berdampingan dengan sistem hukum modern. Keadaan demikian juga berlaku di Indonesia Melalui Pasal Peralihan UUD 1945 sistem hukum yang pluralistis dari jaman penjajahan masih berlaku untuk Negara Indonesia yang sudah merdeka.

Republik Indonesia yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, maka sudah sewajarnya bila hukum-hukum yang berlaku atau yang diberlakukan di Indonesia hukum yang mengacu kepada hukum yang sesuai dengan rasa keadilan penduduk Indonesia itu sendiri. Paling tidak bertentangan dengan hukum agama yang dianut, dan bahkan seyogianya saling melengkapi antara hukum nasional Indonesia dengan Hukum Pidana Islam.

Hukum Islam yang menyatu dengan agama Islam, karena berdasarkan Alquran dan hadis. Sedangkan hukum nasional kita yang pada dasarnya bersumber dari hukum adat, hukum agama khususnya hukum Islam dan hukum internasional khususnya hukum barat. Sehingga apabila ingin diberlakukan hukum pidana Islam secara menyeluruh akan terjadi kesulitan dalam penerapanya, karena masyarakat kita berbeda-beda terdiri dari bermacam-macam suku, bangsa dan agama. Hal inilah yang menjadi masalah yang timbul dan menarik untuk diketahui secara ilmiah.



B. Iidentifikasi Masalah

1. Penerapan hukum pidana Islam apakah seluruhnya dapat dilaksanakan pada masyarakat Indonesia ?
2. Apakah masyarakat kita dapat menerima hukum pidana Islam secara menyeluruh?.

BAB II

TEORI TENTANG HUKUM PIDANA ISLAM DAN ASPEK SOSIOLOGI HUKUM

A. HUKUM PIDANA ISLAM : Asas-asas Hukum Islam, Ruang Lingkup Hukum Pidana Islam dan Jenis Hukuman.
Di atas telah dikemukakan , bahwa pengertian hukum pidana Islam (Fiqh Jinayah) adalah segala ketentuan hukum mengenai tidak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Alquran dan hadis.

Asas hukum Islam bersumber dari Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad saw.,baik yang bersifat rinci maupun yang bersifat umum. Sifat asas hukum itu dikembangkan oleh akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk itu.hal demikian dapat diketahui bahwa asas-asas hukum islam meliputi :
1.Asas-asas Umum hukum Islam adalah asas-asas hukum yang meliputi semua bidang dan lapangan hukum Islam seperti asas keadilan, asas kepastian hukum dan asas manfaat.
2. Asas Hukum Pidana Islam, adalah asas-asas hukum yang mendasari pelaksanaan hukum pidana Islam, diantaranya asas legalitas, asas larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain, asas praduga tak bersalah.

Ruang lingkup hukum pidana Islam meliputi pencurian, perzinaan (termasuk homoseksual dan lesbian), menuduh orang yang baik-baikberuat zina, minum minuman memabukkan (khamar), membunuh dan/atau melukai seseorang, pencurian merusak harta seseorang, melakukan gerakan-gerakan kekacauan dan semacamnya berkaitan dengan hukum kepidanaan.
Jenis hukuman yang termasuk tindak pidana kriminal dalam hukum pidana Islam, dibagi menjadi
a)Ketentuan hukuman yang pasti mengenai berat ringannya hukuman ter masuk qishash dan diat yang tercantum dalam Alquran dan hadis.(disebut hudud)
b)Ketentuan hukuman yang dibuat oleh hakim melalui putusannya yang disebut dengan ta’zir

Sumber hukum pidana Islam bertujuan untuk memahami sumber nilai ajaran agama Islam yang dijadikan petunjuk kehidupan manusia yang harus ditaati.
Sumber Hukum Islam ini sesungguhnya adalah Al-Qur’an dan al-Hadis . Sejak di jaman nabi Muhammad saw hingga sekarang, dan bahkan insya Allah sampai di masa-masa mendatang selama dunia fana ini tetap dihuni oleh orang-orang yang mengaku beriman. Sebab, dari al-Qur’an dan al-Hadits lah norma-norma hukum Islam digali dan dikembangkan oleh fuqaha(juris-juris Islam) serta kepada al-Qur’an dan al-Hadits pulalah umamatan muslimatan mengembalikan setiap persoalan yang pemecahannya memerlukan campur tangan atau keterlibatan hukum.
Seiring dengan perkembangan jaman saat ini kita temui banyak permasalahan yang belum diatur oleh al-Qur’an dan al-Hadits, manusia dengan menggunakan akal (penalaran) dapat menginterprestasikan Ayat-Ayat Al-Qur’an dan Hadits untuk menyelesaikan permasalahan itu.

B. ASPEK SOSIOLOGI HUKUM DALAM PENYELESAIAN PERSOALAN
Perubahan-perubahan dalam masyarakat dewasa ini merupakan gejala yang normal, yang pengaruhnya dengan cepat dapat tersebar keseluruh penjuru dunia berkat adanya komunikasi modern. Perubahan dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, kaidah-kaidah sosial pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang,interaksi sosial.
Banyak sarjana sosiologi yang mencurahkan perhatiannya pada masalah-masalah sosial di dalam masyarakat, dalam hubungan dengan proses pembangunan yang sedang diusahakan banyak masyarakat. Sebagai pedoman, kiranya dapat dirumuskan bahwa-prubahab-perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan didalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai-nilai didalamnya, sikap dan perilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Dalam permbahasan Max Weber, salah satu pemikirannya yang penting adalah pendapatnya pada segi rasional dari perkembangan-perkembangan lembaga-lembaga hukum terutama pada masyarakat barat. Menurut weber, perkembangan hukum material dan hukum acara mengikuti tahap-tahap perkembangan tertentu mulai dari bentuk sederhana yang didasarkan pada kharisma sampai pada tahap termaju dimana hukum dissusun secara sistematis serta dijalankan oleh orang yang telah mendapatkan pendidikan dan latihan dibidang hukum.
Tahap-tahap perkembangan hukum yang dikemukakan oleh Weber, lebih banyak merupakan bentuk-bentuk hukum yang dicita-citakan dan menonjolkan pada kekuatan sosial tertentu yang berpengaruh pada tahap-tahap pembentukan hukum. Dengan adanya birokrasi pada masyarakat industri modern, maka sistem hukum rasional dan formal timbul dimana faktor kepastian hukum lebih ditekankan daripada keadilan. Perubahan hukum sebagai dinyatakan oleh Weber, adalah sesuai dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem sosial daripada masyarakat yang mendukung sistem hukum yang bersangkutan.
Suatu teori tentang hubungan antara hukum dengan perubahan-perubahan sosial pernah dikemukakan oleh Durkheim yang pada pokoknya menyatakan bahwa hukum merupakan refleksi daripada solidaritas sosial dalam masyarakat.
Solidaritas yang organik terdapat pada masyarakat yang heterogen dimana terdapat pembagian kerja yang komplek, ikatan daripada masyarakat lebih banyak tergantung pada hubungan fungsional antara unsur-unsur yang dihasilkan oleh pembagian kerja. Pada sisem hukumnya adalah hukum pidana yang bersifat represi.Suatu perbuatan merupakan tindak pidana apabila perbuatan tadi menghina keyakinan-keyakinan yang tertanam dengan kuatnya didalam masyarakat atas solidaritas mekanis, para warganya bertindak atas dasar perasaan atas dasar orang-orang yang melanggar kaidah-kaidah hukum, karenanya bila terjadi adanya pelanggaran hukum masyarakat merasa dirinya secara langsung terancam. Akan tetapi ada baiknya, pelanggaran atas kaidah-kaidah hukum tersebut memperkuat solidaritas didalam masyarakat.
Dengan meningkatnya deferensiasi dalam masyarakat, reaksi yang kolektif terhadap pelanggaran-pelanggaran kaidah-kaidah hukum menjadi berkurang sehingga hukum yang bersifat represif berubah menjadi hukum yang bersifat restitutif. Didalam hukum yang restitutif , tekanan diletakkan pada orang yang menjadi korban atau yang dirugikan.
Berikut Pitirim Sorokin, yang mengemukakan teori tentang perkembangan hukum dan gejala-gejala sosial lainnya yang disesuaikan dengan tahapan-tahapan tertentu yang dilalui oleh masyarakat. Masyarakat berkembang sesuai dengan nilai-nilai tertentu yang sedang menonjol didalam masyarakat yang bersangkutan. Nilai-nilai tersebut adalah yang ideational (kebenaran absolut sebagaimana diwahyukan oleh Tuhan), sensate(yaitu nilai-nilai yang didasarkan pada pengalaman), dan yang idealistic (yang merupakan campura. Hukum dan gejala-gejala sosial lainya terbentuk sesuai dengan nilai-nilai yang sedang berlaku dalam masyarakat.
Hubungan antara Perubahan Sosial dengan Hukum
Perubahan-perubahan sosial dapat terjadi didalam suatu masyarakat karena bermacam-macam sebab. Sebab-sebab tersebut dapat berasal dari masyarakat itu sendiri, seperti bertambahnya pendudukatau berkurangnya penduduk, adanya penemuan-penemuan baru, pertentangan atau mungin karena terjadinya revolusi. Sedangkan sebab-sebab eksteren dapat mencakup sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik, pengaruh kebudayaan masyarakat lain, peperangan. Suatu perubahan sosial lebih mudah terjadi apabila suatu masyarakat sering mengadakan kontak dengan masyarakat lain. Sistem lapisan sosial yang terbuka, penduduk yang hiterogen serta ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang kehidupan tertentu, dapat pula memperlancar proses perubahan sosial.
Saluran-saluran yang dilalui oleh suatu proses perubahan sosial pada umumnya adalah lembaga-lembaga kemasyarakatan dibidang pemerintahan, ekonomi, agama dan seterusnya.
Didalam proses perubahan hukum pada umumnya dikenal adanya tiga badan yang dapat merubah hukum, yaitu badan-badan pembentuk hukum, badan –badan penegak hukum dan badan-badan pelaksana hukum. Adanya badan-badan pembentuk hukum yang khusus, adanya badan-badan peradilan yang menegakkan hukum serta badan-badan pelaksana yang menjalankan hukum, merupakan ciri-ciri yang terdapat dalam negara modern.
Perubahan-perubahan sosial dan perubahan-perubahan badan hukum tidak selalu berlangsung bersama-sama. Artinya, pada keadaan-keadaan tertentu perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur lainnya dari masyarakat serta kebudayan, atau mungkin hal yang sebaliknya terjadi. Apabila terjadi yang demikian, maka terjadilah suatu sosial, yaitu suatu keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan dalam perkembangan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mengakibatkan terjadinya kepincangan-kepincangan.. Tertinggalnya perkembangan hukum oleh unsur-unsur sosial lainnya, atau sebaliknya, terjadi oleh karena pada hakikatnya merupakan suatu gejala wajar didalam suatu masyarakat.
Hukum pada hakekatnya disusun oleh sebagian kecil masyarakat yang pada suatu ketika mempunyai kewenangan dan kekuasaan. Hukum yang bekerja dalam masyarakat itu untuk keadilan masyarakat luas, tidak untuk keadilan hukum itu sendiri atau orang-orang tertentu saja. Untuk mengetahui sampai sejauh mana rasa keadilan yang dicapai oleh masyarakat,tentu memerelukan pengamatan secara efektif,dan hal itu dapat diusahakan melalui bagian-bagian studi sosiologi hukum dan antropologi hukum . Bila menggunakan pendekatan sosiologi hukum, tampak yang menjadi obyek kajian adalahyuridis empiris atau kenyataan norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa hukum yang berlaku di negara Kesatuan Republik Indonesiaadalah hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Penerapan hukm itu ada yang bersifat normatif dan yuridis empiris sehingga dapat terayomi penduduk yang mendiami negara RI. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan sosiologi hukum dalam melihat kasus-kasus tertentu .

BAB III
TANTANGAN PENERAPAN HUKUM PIDANA ISLAM DI IDONESIA.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang pluralistis, terdiri dari bermacam-macam suku, bangsa dan agama. Sejak jaman kolonial Belanda, di Indonesia hanya berlaku satu hukum pidana untuk semua golongan penduduk Indonesia (unifikasi hukum pidana), yaitu Kitab Undang –undang Hukum Pidana Indonesia (Wet Boek Van Strafrecht) yang berlaku sejak 1918. Jadi KUH Pidana dibuat pada zaman Hindia Belanda, tapi itu tidak berarti, bahwa KUH Pidana kita yang sekarang, masih dalam keadaan asli atau telah diambil alih langsung oleh negara kita, tetapi bahkan isi dan jiwanya telah banyak diubah dan diganti, sehingga telah sesuai dengan keperluan dan keadaan nasional kita dewasa ini.
Dalam perkembangannya KUH Pidana tertingal dari perkembangan konflik yang terjadi pada masyarakat, sehingga aturan yang ada hurus diatur lagi dengan peraturan non kodifikasi. Sebagai contoh UU tentang Pornografi, UU tentang Tindak Pidana Korupsi, UU tentang Subversi dan lain sebagainya.

Kenyataan menunjukkan bahwa penerapan hukum Islam bukanlah hal baru dalam khasanah hukum di Indonesia. Dengan perkembangan hukum yang sedemikian rupa setelah Indonesia merdeka, penerapan hukum Islam menjadi aneh dan menimbulkan perdebatan yang luas.
Sejak Negara Kesatuan Republik Indonesia didirikan pada 17 Agustus 1945, pasti sebelumnya telah dilakukan berbagai pendekatan dan kesepakatan yang melibatkan sebagian besar penduduk atau wakil-wakil yang mengatasnamakan penduduk guna membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Diantara kesepakatan yang dibangun, pasti ada yang terkait dengan kehidupan keagamaan di satu pihak serta kehidupan kebangsaan dan kenegaraan di pihak lain. Terutama dengan pemeluk agama Islam yang secara historis sosiologis maupun faktual empiris yang menjadi mayoritas tunggal.
Diterimanya Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara oleh umat Islam dan penduduk agama-agama yang lain, dapat dipastikan karena Pancasila tidak bertentangan dengan agama-agama yang ada di Indonesia khususnya Islam. Sebab dalam keyakinan umat Islam, hukum hanya merupakan bagian yang terpisah dari sistem ajaran agama Islam secara keseluruhan. Pencantuman anak kalimat “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya” pada Piagam Jakarta yang kemudian menjadi “Pembukaan UUD 1945”. Pemasukan tujuh kata pada Piagam Jakarta tampak bukan dalam konteks tuntunan umat Islam untuk mendirikan “Negara Islam”seperti yang sering disuarakan, melainkan lebih menghendaki adanya jaminan konstitusional bagi penerapan atau pemberlakuan hukum agamanya yang lasim dikenal dengan sebutan syariat Islam. Sebab, umat Islam sejak dahulu sampai sekarang sadar bahwa negara yang hendak dibangun oleh bangsa Indonesia ialah negara bangsa (nation state). Dengan segala kemajemukannya. Termasuk kemajemukan dalam hal agama.
Penerapan hukum pidana Islam di Indonesia selalu mendapat tantangan dari sebagian masyarakat Indonesia yang beranggapan bahwa hukum pidana Islam tidak adil bahkan kejam dan ketinggalan jaman serta tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional kita.

BAB IV
PENUTUP

SIMPULAN
Pada hakekatnya dalam penerapan Hukum Pidana Islam di Indonesia dilihat dari aspek sosiologi hukumnya, tidak dapat diterapkan seluruhnya dan masyarakat Indonesia juga tidak dapat menerimanya secara menyeluruh, karena menyangkut integritasnya kedalam hukum nasional, yaitu: kemajemukan bangsa Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas, masyarakat-masyarakat memiliki kondisi sosial kultur yang berbeda, sehingga tidak mudah untuk mendekatkannya satu sama lain. Adanya tuduhan, tindakan hukumannya dirasa tidak adil dan bahkan kejam serta tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional kita.

SARAN
Berdasarkan simpulan tersebut, maka pemakalah memberikan saran penerapan hukum pidana Islam hanya dapat dilaksanakan hukumnya khusus dalam wilayah yang memiliki kekhasan sosial dan permintaan dari masyarakatnya seperti pada masyarakat Aceh yang memberlakukan syariat Islam.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin, Hukum Pidana Islam, Cet.1, Jakarta: Sinar Grafika,2007.
Ali, Zainuddin, Sosiologi Hukum, Cet.4, Jakarta: Sinar Grafika,2008.
Hendrojono, Sosiologi Hukum,,Cet.1, Surabaya: Dieta Persada, 2005.
Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet.6, Jakarta:
Balai Pustaka, 1984.

Majalah Hukum Nasional Nomor 1 Tahun 2007, BPHN, hal.48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar