Jumat, 18 September 2009

POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA DILIHAT DARI SEGI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM

oleh: Achmad Syaukani Wizedan
Dosen Pembina Matakuliah Prof Dr H Zainuddin Ali MA
Pendakuluan
Siklus kehidupan manusia dimulai sejak dari dalam kandungan, kemudian lahir kedunia menjadi seorang manusia dengan jenis kelamin laki – laki atau wanita yang tidak dapat berbicara, melainkan hanyalah menangis atau yang biasa orang menyebutnya seorang bayi, kemudian tumbuh menjadi dewasa[1], dan adanya hasrat ingin menikah dalam rangka menyalurkan seksualitas pada tempatnya, sehingga pernikahan adalah kewajiban bagi yang sudah mampu.
Pernikahan dilakukan antara dua insan yang berbeda jenis kelamin dengan dasar sama – sama cinta atau pun “terpaksa”. Pernikahan dapat dikatakan sah apabila telah tercatat pada UU dan agama, sehingga pernikahan bersifat sakral yang merupakan sarana untuk menciptakan sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah.
Pada dewasa ini sebuah makna keluarga yang bahagia telah hilang, hal ini dapat terbukti misalnya sebagian laki – laki melakukan sebuah perselingkuhan, yang pada akhirnya melangsungkan perkawinan untuk yang kedua kalinya atau bisa jadi perkawinan yang kesekian kalinya tanpa sepengetahuan atau dengan sepengetahuan istrinya, inilah yang disebut dengan poligami.
Poligami menjadi polemik dalam kehidupan keluarga, sehingga ada yang pro dan kontra, khususnya bagi kaum wanita yang sangat kontra terhadap poligami. Hal ini karena, mereka merasa telah disakiti dengan cara dimadu, padahal seorang istri masih dapat melaksanakan kewajibannya sebagai istri, baik secara lahir maupun bathin.
Permasalahan poligami pun menjadi sebuah permasalahan dalam ranah hukum, karena, bila dikaji ulang telah ditegaskan dalam UU No. 1 tahun 1974 pada pasal 3 yang menyatakan bahwa seorang suami hanya boleh memiliki seorang istiri, begitupun sebaliknya seorang istri hanya boleh memiliki seorang suami. Artinya secara tegas bahwa UU tersebut menyatakan setiap suami atau istri hanyalah menganut asas monogami. Akan tetapi dalam UU Perkawinan pasal 2 ayat 2 dijelaskan, dimana pengadilan dapat memberikan ijin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan. Pemakalah menganalisa dari UU Perkawinan ini, pada dasarnya poligami dapat terjadi apabila ada ijin dari istri pertama, sehingga tidak adanya pihak yang dirugikan, dengan demikian UU No 1 tahun 1974 pada pasal 3 menjadi batal.
Poligami yang ada pada saat ini berbeda dengan poligami yang telah dilakukan pada zaman Nabi, karena Nabi melakukan poligami bukan berdasarkan nafsu dan Nabi dapat berbuat adil. Akan tetapi poligami yang ada pada saat ini berdasarkan nafsu semata, sehingga niat berpoligami itu bukan untuk menolong atau lain hal sebagainya yang bersifat positif, yang ada mengenyampingkan nilai – nilai keadilan.
Dengan demikian poligami mengakibatkan dampak psikologis dan sosiologis, bahwa tidak ada satupun wanita yang ingin dimadu, dan poligami ini menimbulkan efek sosial seperti hubungan rumah tangga yang menjadi rapuh, sehingga kemitraan suami – istri ini pun bisa mengakibatkan perceraian, yang pada akhirnya dampak negatif yang terjadi adalah anak yang menjadi korban, atau pun dampak lainnya adalah menjadi sebuah pembicaraan bagi masyarakat sekitarnya.

II. Permasalahan
Adapun pokok permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu :
a. Apakah yang dimaksud dengan poligami ?
b. Bagaimanakah hukum positif memandang poligami ?

III. Pembahasan
A. Pengertian Poligami
Secera etimologis atau lughowi bahwa kata Poligami berasal dari bahasa Yunani gabungan dari dua kata poli atau polus yang berarti banyak, serta gamein dan gamos yang berarti perkawinan. Dengan demikian poligami berarti perkawinan yang banyak[2]. Secara terminologi atau istilah poligami adalah salah satu perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu bersamaan[3].
Dalam Islam poligami didefinisikan perkawinan seorang suami dengan istri lebih dari seorang dengan batasan maksimal empat orang istri dalam waktu bersamaan[4].
Poligami dibagi menjadi tiga bagian[5] :
1.Poligini adalah seorang pria yang memiliki beberapa istri sekaligus
2.Poliandri adalah seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus
3.Pernikahan kelompok dalam bahasa Inggris : Marriage yaitu kombinasi antara poligini dan poliandri. Pada umumnya masyarakat lebih mengenal poligami dibanding dengan poligini, hal ini sejalan dengan Daces dan Trayes yang tidak menggunakan lagi istilah poligini dalam pembagian tipe pemikiran, namun mereka menggunakan istilah poligami.

B. Tinjauan Hukum Positif Terhadap Poligami Dalam Pandangan Sosiologi Hukum
Telah diketahui secara bersama, bahwa hukum yang berada di Negara Indonesia ini adalah civil law, karena KUHP dan KUHPerdata telah diadopsi dari Belanda.Hal ini disebabkan, karena Indonesia merupakan bekas jajahan Belanda, sehingga aturannya mengacu kepada Peraturan Perundang – Undangan. Berbeda halnya dengan Malaysia dan Singapura yang menganut asas Common Law, karena kedua negara tersebut merupakan bekas jajahan Inggris, sehingga semua aturan berdasarkan Yurispedensi atau putusan hakim.
Poligami merupakan sebuah topik yang hangat dibicarakan oleh orang, karena banyak orang yang telah menentang poligami, dengan alasan prinsip keadilan yang tidak akan terarah artinya seorang suami melakukan poligami itu hanyalah berdasarkan sexsualitas semata, sehingga istri yang tertuapun telah dilupakan secara lahir dan bathin, akan tetapi begitu istri yang kedua dan isteri yang lainnya tidak mencintainya lagi atau katakanlah si laki - laki tersebut sudah tidak memiliki harta benda lagi, maka si laki – laki tersebut “ditendang”, mau tidak mau si laki – laki tersebut kembali kepada istri yang pertama.
Abdul Majid Mahmud Mathlub dalam bukunya yang berjudul Panduan Hukum Keluarga Sakinah, bahwa seorang melakukan poligami karena[6] :
1. Besarnya jumlah perempuan dibandingkan dengan jumlah laki – laki.
2. Kehendak untuk menopang umat dengan kaum laki – laki
3. Kekuatan nafsu seksual yang telah menguasai manusia
4. Keadaan atau penyakit khusus yang telah dialami oleh sang istri, sehingga tidak mau memberikan kemauan sang suami, tetapi suami tidak ingin menceraikannya.
Poligami memiliki beberapa dampak khususnya terhadap perempuan Indonesia. Dampak yang umum terjadi terhadap istri yang suaminya berpoligami[7]:
1. Dampak psikologis: perasaan inferior istri dan menyalahkan diri karena merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya.
2. Dampak ekonomi rumah tangga: Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Walaupun ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, tetapi dalam prakteknya lebih sering ditemukan bahwa suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.
3. Kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis. Hal ini umum terjadi pada rumah tangga poligami, walaupun begitu kekerasan juga terjadi pada rumah tangga yang monogami.
4. Dampak hukum: Seringnya terjadi nikah di bawah tangan (perkawinan yang tidak dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama), sehingga perkawinan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Pihak perempuan akan dirugikan karena konsekwensinya suatu perkawinan dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.
5. Dampak kesehatan: Kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami/istri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS), bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS.
Jika dilihat dari permasalahan tersebut, bukan berarti tidak boleh dilaksanakan poligami. Pada dasarnya poligami boleh dilaksanakan, asalkan seorang istri sudah tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan suaminya baik secara lahir dan bathin.
Dengan demikian asas monogami tidak bersifat limitatif saja, karena dalam UU Perkawinan pasal 2 ayat 2 disebutkan, dimana pengadilan dapat memberikan ijin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan. Ketentuan ini dapat membuka kemungkinan bagi seorang suami untuk melakukan poligami dengan ijin pengadilan. Bagi yang beragama Islam harus mendapatkan ijin dari Pengadilan Agama[8], sedangkan yang diluar agama Islam harus mendapatkan ijin dari Pengadilan Negeri.
Pengadilan Agama dapat memberikan ijin poligami apabila ada alasan yang tercantum dalam Pasal 4 ayat 2 UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 :[9]
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Dengan demikian yang menjadi perhatian dalam pengajuan permohonan berpoligami adalah menyangkut [10]:
1. Sah atau tidaknya alasan yang memungkinkan seseorang suami kawin lagi. Dalam hal ini menyangkut :
a. Apakah isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri ?
b.Apakah benar bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan ?
c. Apakah benar bahwa isterinya tidak dapat melahirkan keturunan ?
2. Adanya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan atau tulisan, khusus untuk persetujuan lisan harus diucapkan dimuka pengadilan
3. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri – isteri dan anak – anak. Untuk mengecek kemampuan suami tersebut dilakukan dengan memperhatikan.
a. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat dia bekerja
b.Surat keterangan pajak penghasilan
c. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
4. Ada atau tidaknya jaminan suami akan berlaku adil terhadap isteri – isteri dan akan – anak mereka dengan pernyataan janji dari suami.
Yang menjadi sebuah pertanyaan mendasar bahwa dalam poligami harus adanya sebuah rasa keadilan dari pihak suami. Untuk memeriksa kemampuan suami apakah dapat bersikap adil atau tidak terhadap isteri – isteri dan anak – anaknya, maka pengadilan harus memanggil dan mendengarkan isteri yang bersangkutan. Dalam Pasal 42 PPP No. 9 Tahun 1975 dikatakan pemeriksaan tersebut dilakukan oleh hakim selambat – lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran – lampirannya. Pegawai pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seseorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan.
Jika ditinjau dari sudut pandang sosiologi hukum, bahwa Undang – Undang tersebut belum sepenuhnya efektif, karena sangat jelas sekali bagi suami yang ingin berpoligami harus adanya persetujuan dari isteri, serta suami dapat menanggung kehidupan isteri – isteri dan anak – anaknya secara adil, akan tetapi semuanya berada diluar garis kenyataan yang telah ditentukan, yang ada pada saat ini adalah bahwa para isteri dan anaknya telah dirugikan secara moral maupun materil.
Menurut Prof. Zainuddin Ali dalam bukunya Sosiologi hukum, bahwa hukum tidak dapat berjalan efektif, disebabkan karena empat hal :
1. Kaidah Hukum
2. Penegak Hukum
3. Sarana / Fasilitas Hukum
4. Kesadaran Hukum.
Pemakalah berpendapat bahwa kasus poligami, bila dikaitkan dari pendapat Prof. Zainuddin Ali, pada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai materi atau kaidah hukum, bahwa faktor yang paling mendominan UU tersebut tidak berjalan dengan efektif adalah kesadaran hukum dari suami yang akan berpoligami.

IV. Penutup
A. Kesimpulan
Pemakalah menyimpulkan bahwa pada dasarnya poligami di Negara Republik Indonesia berdasarkan tinjauan hukum positif itu dibolehkan, sebagaimana yang telah dijelaskan pada UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, dijelaskan bahwa seorang laki – laki boleh memiliki istri lebih dari satu.
Permasalahannya adalah, jika seorang suami ingin berpoligami, maka harus memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditentukan pada Pasal 4 ayat 2 UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 :
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Bila ditinjau dari sudut pandang sosiologi hukum, masalah poligami ini tidak berjalan dengan efektif, karena salah satu penyebab utamanya adalah kurangnya kesadaran dari masyarakat dalam hal ini laki – laki yang ingin berpoligami yang telah mengacuhkan UU tersebut.

B. Saran
Pemakalah memberikan saran, khususnya kepada para suami yang ada di Negara Indonesia sebaiknya :
1. Janganlah melakukan poligami, jika isteri masih dapat memenuhi kebutuhan baik secara lahir dan bathin.
2. Disamping itu pula jika ingin melakukan poligami, maka bersikaplah adil terhadap isteri dan anak – anak, dan juga harus mendapatkan persetujuan dari isteri baik secara lisan maupun tulisan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
3. Jangan melakukan pernikahan siri meskipun sah secara agama, tetapi Indonesia adalah negara hukum, maka pernikahan dapat dikatakan sah apabila dilakukan secara agama dan dicatat oleh Pemerintah melalui KUA.

DAFTAR PUSTAKA

Ariyani, Mira Faktor Yang Berperan dan Terjadi Dalam Keputusan Perempuan Dewasa Untuk Menjadi Istri Kedua Pada Pernikahan Poligami Depok : Fakultas Psikologi UI, 2004
Ayu Rahmi, Ratu Inefektifitas Poligami dalam Tinjauan UU No. 1 Tahun 1974, www.badilag.net/index.php+option=com_content&task?view&id??2908&itemid?54&limit?1&limitstart? 3htm, diakses tanggal 20 Juni 2009
Departemen Agama, Al Quran : Surat An Nisaa ayat 3
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20090410105226AAMqRCq,
Jehani, Libertus, Perkawinan Apa Resiko Hukumnya ?, Jakarta :Forum Sahabat, 2008
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Kompilasi Hukum Islam Pasal 51 ayat 1
Majid Mahmud Mathlub, Abdul, Panduan Keluarga Sakinah, Solo : Era Intermedia, 2005.
Nasution, Khairuddin, Riba dan Poligami : Sebuah Studi Atas Pemikiran, Jakarta : Grafika Insan Permata, 1996
Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang – Undang Nomor. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta : Visimedia, 2009





________________________________________
[1]Pengertian dewasa ini sangat beraneka ragam seperti halnya dalam UU No 1 Tahun 1974 http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20090410105226AAMqRCq, sedangkan dalam Agama Islam pengertian dewasa bagi laki – laki sudah mengalami mimpi basah atau bagi wanita yang sudah haid, agar lebih jelas lihat kitab fiqh seperti safinatunnajah.
[2]Khairuddin Nasution, Riba dan Poligami : Sebuah Studi Atas Pemikiran, (Jakarta : Grafika Insan Permata, 1996), hal 84
[3]Kamus Besar Bahasa Indonesia
[4]Departemen Agama, Al Quran : Surat An Nisaa ayat 3
[5]Mira Ariyani, Faktor Yang Berperan dan Terjadi Dalam Keputusan Perempuan Dewasa Untuk Menjadi Istri Kedua Pada Pernikahan Poligami (Depok : Fakultas Psikologi UI, 2004), hal 88
[6]Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Keluarga Sakinah, (Solo : Era Intermedia, 2005), Cet. Ke I, hal. 127.
[7]Ratu Ayu Rahmi, Inefektifitas Poligami dalam Tinjauan UU No. 1 Tahun 1974, www.badilag.net/index.php+option=com_content&task?view&id??2908&itemid?54&limit?1&limitstart? 3htm, diakses tanggal 20 Juni 2009
[8]Untuk lebih jelasnya lihat Pasal 51 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam
[9]Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang – Undang Nomor. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Jakarta : Visimedia, 2009), Cet. Ke II, hal 3.
[10]Libertus Jehani, Perkawinan Apa Resiko Hukumnya ?, (Jakarta :Forum Sahabat, 2008), Cet Ke I, hal.35 – 36.

1 komentar:

  1. Tidak terdapat dalil dlm Alquran atau hadis yg secara tegas membolehkan seseorang laki-laki untuk melakukan poligami apalagi atas alasan pembenaran dalam UU No. 1/74 psl4(2) atau karena alasan yg dikemukakan oleh Abdul Majid Mahmud Mathlub

    BalasHapus