Minggu, 20 September 2009

KEBIJAKAN KONSUMEN

Oleh Muhammad Anwar Zainuddin

A. Pendahuluan

Ajaran Islam terdiri atas tiga komponen, yaitu aqidah, syariah dan akhlaq. Syariah dalam bentuk shalat adalah menjauhi perbuatan keji dan munkar, hasil menunaikan zakat adalah mensucikan dan menentramkan jiwa, hasil melaksanakan puasa dengan ikhlas dan karena Allah SWT menjadikan manusia muslim taqwa, sedangkan hasil mengerjakan ibadah hajji adalah Allah SWT menerima ketakwaan dari yang melaksanakannya. Jika seluruh aktivitas ibadah itu tidak menjadikan manusia Muslim berakhlak mulia, maka hilanglah nilai-nilai ibadah itu di sisi Allah SWT.
Kebijakan Konsumen membicarakan persoalan kehalalan, baik berupa sumber maupun pemanfaatan harta termasuk persoalan makanan. Karena itu, setiap warga masyarakat Islam yang mencari rejeki harus selalu berpedoman kepada Sumber hukum, yaitu Alqur’an dan Al Hadis mengenai penghasilannya yang halalan Tayyiban
Setiap warga masyarakat yang berusaha untuk mencapai tugas produksinya yang rumit, akan tetapi respon islam dalam menyelesaikan tugas ini dasar ideologinya, pasti mempunyai perbedaan dari respon ekonomi pasar, atau ekonomi ”komando”.walaupun seseorang merasa benar dengan berkata bahwa suatu masyarakat pertama-tama harus melakukan tugas-tugas produksi dahulu sebelum memulai persoalan distribusi, tetapi dalam ekonomi islam, distribusilah yang harus menggiatkan produksi dan konsumsi. Dengan demikian, proses konsumsi, produksi dan distribusi sebenarnya terpadu sedemikian rupa, maka kemungkinan perbaikan simultan dalam suatu kehidupan material maupun spiritual menjadi nyata.
B. Pengertian Konsumen
Manusia dalam mempertahankan kehidupannya, ia harus memenuhi kebutuhannya, baik berupa kebutuhan primer maupun sekunder dan lainnya.. Dari kebutuhan dimaksud, maka manusia disebut sebagai konsumen, bahkan semua yang hidup di dunia ini adalah konsumen.
Setiap konsumen membutuhkan makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal (merupakan kebutuhan biologis untuk hidup).di samping itu konsumen juga memiliki kebutuhan akan kesehatan, pendidikan yang tinggi, rasa aman, dan tentram, serta banyak lagi kebutuhan yang lain.

C. Prinsip konsumsi dalam Islam

Konsumsi adalah permintaan; sedangkan produksi adalah penyediaan. Hal ini mengandung arti bahwa pembicaraan mengenai konsumsi adalah primer, dan hanya para ahli ekonomi mempertunjukkan kemampuannya untuk memahami dan menjelaskan prinsip produksi maupun konsumsi sajalah mereka dapat dianggap kompeten untuk mengembangkan hokum-hukum nilai dan distribusi atau hamper setiap cabang lain dari subyek tersebut. Perbedaan antara ilmu ekonomi modern dan ekonomi Islam dalam hal konsumsi terletak pada cara pendekatannya dalam memenuhi kebutuhannya. Orang.yang beragama Islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata-mata dari pola konsumsi modern, melainkan memperhatikan kehalalan yang sesuatu berdasarkan ajaran Islam.
Sikap hemat, membatasi diri kepada barang yang halal, dan prioritas terhadap kebutuhan pokok tidak ditemukan pada konsep utility, melainkan hanya pada konsep maslahah.ini menunjukan bahwa tampaknya sulit mencari titik temu dua konsep tersebut. Karena itu, sulit dipertemukan hal dimaksud, maka tidak mungkin mentransformasikan sifat persepsi konsumsi secara Islami ke dalam konsep utitity.
D. Etika Konsumsi dalam Islam
Menurut islam, anugrah-anugrah allah itu milik semua manusia dan suasana yang menyebabkan sebagaian diantara anugrah-anugrah itu berada diantara Orang-orang tertentu tidak berarti bahwa mereka dapat memanfaatkan anugrah-anugrah itu untuk mereka sendiri; sedangkan orang lain tidak memiliki bagiannya sehingga banyak diantara anugrah-anugrah yang diberikan allah kepada umat manusia itu masih berhak mereka miliki walaupun mereka tidak memperolehnya. Dalam Al-Qur’an Allah SWT mengutuk dan membantalkan argumen yang dikemukakan oleh orang kaya yang kikir karena tidak kesediaan mereka memberikan bagian atau miliknya ini.
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ قَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنُطْعِمُ مَنْ لَوْ يَشَاءُ اللَّهُ أَطْعَمَهُ إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
Terjemahnya:
“Bila dikatakan kepada mereka, “belanjakanlah sebagaian rizki Allah yang diberikannya kepadamu” ,orang-orang kafir itu berkata, “ apakah kami harus memberi makan orang-orang yang jika allah menghendaki akan diberinya makan? Sebenarnya kamu benar-benar tersesat”. (QS.Yaasin: 47)
Setiap orang mu’min berusaha mencari kenikmatan dengan cara mematuhi perintah-perintahnya dan memuaskan dirinya sendiri dengan barang-barang dan anugrah-anugrah yang diciptakan (Allah) untuk umat manusia demi kemaslahatan umat. Konsumsi berlebih-lebihan, yang merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal tuhan, dikutuk dalam islam dan disebut israf (pemborosan) atau tazbir (menghambur-hamburkan harta tanpa guna). Tazbir berarti mempergunakan harta dengan cara yang salah, yakni, menuju menuju tujuan-tujuan yang terlarangseperti penyuapan, hal-hal yang melanggar hukum atau dengan cara yang tanpa aturan. Setiap kategori ini mencakup berapa jenis pengguna harta yang hampir sudah menggejela pada masyarakat yang berorientasi konsumerisme. Pemborosan berarti pengguna harta secara berlebih-lebihan untuk hal-hal yang melanggar hukum dalam hal seperti makanan, pakaian, tempat tinggalatau bahkan sedekah. Ajaran-ajaran islam mengajurkan pola konsumsi dan pengguna harta secara wajar dan berimbang.yakni pola terletak diantara kekikiran dan pemborosan. Konsunsi diatas dan melampui tingkat moderat (wajar) dianggap israf dan tidak disenangi islam .

1.Tauhid (Unity / kesatuan)
Dalam perspektif Islam, kegiatan konsumsi dilakukan dalam rangka beribadah kepada allah SWT, sehingga senantiasa berada dalam hukum hukum allah (syariah).
2. Adil (equilibrium/keadilan)
Islam memperbolehkan manusia untuk menikmati berbagai karunia dalam kehidupan dunia yang disediakan oleh Allah Swt:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Terjemahnya :
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu (Q:S: Al Baqarah: 168)
3. Kehendak bebas
Alam semesta adalah milik Allah Swt, yang memiliki Kemahakuasaan, kedaulatan sepenuhnya dan kesempurnaan atas makhluk-makhluknya. Karema itu manusia diberikan oleh Allah Swt kekuasaan untuk mengambil manfaat sebanyak-banyaknya sesuai dengan kemampuannya.
4. Amanah/Pertanggungjawaban
Manusia adalah khalifah atau pengembang amanah dari Allah Swt. Hal dimaksud, manusia diberi kekuasaan untuk melaksanakan tugas kekhalifaan di muka Bumi ini, dan tentu untuk memakmurkan bumi dengan segala isinya.
5. Halal
Dalam kerangka acuan ajaran Islam, barang-barang yang dapat dikonsumsi adalah barang-barang yang menimbulkan kebaikan, kemaslahatan, baik secara material maupun spiritual.
6. Sederhana
Islam menganjurkan hidup sederhana dan melarang perbuatan yang melampaui batas atau berlebih-lebihan termasuk pemborosan, memanfaatkan harta yang tidak berguna.
E. Mashlahah dalam konsumsi
Mashlahah dalam konsumsi mempunyai ruang sebagai berikut.
1. Kebutuhan dan keinginan
2. Mashlahah dan Kepuasan
3. Maslahah dan Nilai-nilai Ekonomi Islam
4. Penentuan dan Pengukuran Mashlahah bagi Konsumen.
a. Formulasi Mashlahah
b. Pengukuran Mashlahah Konsumen
c. Karakteristik Manfaat dan berkah dalam konsumsi
d. Ketentuan Islam Mengenai Makanan
Ajaran Islam mengenai hal dimaksud, dikendalikan oleh lima prinsip sebagai berikut.
1. prinsip keadilan
2. prinsip kebersihan
3. prinsip kesederhanaan
4. prinsip kemurahan hati
5. prinsip moralitas

Kebutuhan dan keinginan mengenai konsumsi terdapat dalam ayat suci Al Qur`an sebagai berikut.
إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi…..”(Q.S,Al-Baqarah, 2:169)

Dalam soal makanan dan minuman yang terlarang adalah darah,daging binatang yang telah mati sendiri,daging babi,daging binatang yang diserukan nama selain nama Allah dengan maksud dipersembahkan sebagai kurban untuk memuja berhala atau tuhan-tuhan lain dan persembahan bagi orang-orang yang dianggap suci atau siapa pun selain allah.tiga golongan pertama dilarang karena hewan-hewan ini berbahaya bagi tubuh,yang berbahaya bagi tubuh tentu berbahaya pula bagi jiwa.Tercantum dalam kitab suci Al-Qur`an maupun sunnah tentang makanan ialah harus baik atau cocok untuk dimakan,tidak kotor ataupun menjijikan sehingga merusak selera.Karena itu,tidak semua yang diperkenankan boleh dimakan dan diminum dalam semua keadaan.dari semua yang diperbolehkan makan dan minumlah yang bersih dan bermanfaat.Perilaku manusia mengenai makanan dan minuman adalah sikap tidak berlebih-lebihan yang berarti janganlah makan secara berlebihan.

Dalam Al-Qur`an dikatakan:

يَابَنِي ءَادَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

”….makan dan minumlah tetapi jangan berlebih-lebihan;sesungguhnya allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”(Q.S, Al A`raaf,7:31)

selanjutnya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ



“Hai orang-orang yang beriman. janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas….” (Q.S,Al Maidah,5:87)

Arti penting ayat-ayat Al-Qur’an di atas, adalah kenyataan bahwa kurang makan dapat mempengaruhi pembangunan jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut terisi secara berlebih-lebihan tentu akan ada pengaruhnya pada perut. Jadi, dengan mentaati perintah islam tidak ada bahaya maupun dosa ketika makanan dan minuman halal yang disediakan tuhan karena kemurahan hatinya.Selama maksudnya adalah untuk kelangsungan hidup dan kesehatan yang lebih baik dengan tujuan menunaikan perintah tuhan dengan keimanan yang kuat dalam tuntunannya dan perbuatan adil sesuai dengan itu yang menjamin persesuaian bagi semua perintahnya(Q.S,Al Maidah 5:96).
Makanan dan minuman berbahaya sekali seperti minuman yang memabukkan karena itu tidak bisa diminum sekalipun dalam jumlah kecil kecuali kalau digunakan sebagai obat untuk menyelamatkan jiwa.Untuk maksud demikian kitab suci Al Qur`an dengan tegas memperbolehkan penggunaan makanan-makanan terlarang:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

”….tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya),sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas,maka tidak ada dosa baginya….”(Q.S Al Baqarah 2:173).

Semua minuman yang memabukan (minuman keras) juga dilarang. Namun, diakui oleh Al-Qur’an bahwa minuman dimaksud, mempunyai manfaat, kenikmatan atau keuntungan dengan minum-minuman keras dan makanan-makanan terlarang lainnya tetapi hal itu lebih besar kemudharatannya dari manfaatnya (Q.S Al-Baqarah 2:219). Larangan dimaksud, jelas dan menyeluruh (Al Maidah 5:91). Al Qur`an menjelaskan bahwa kegemaran minum-minuman keras cenderung menimbulkan perselisihan dan permusuhan dan bagi mereka yang menyukainya besar kemungkinan akan mengabaikan shalat dan tidak ingat kepada Allah Swt (Q.S. Al Maidah 5: 94).
F. Kebutuhan dan urutan prioritas dalam Islam

Adalah biasa untuk menggolongkan kebutuhan-kebutuhan manusia dalam 3 judul: Keperluan, Kesenangan dan Kemewahan. Hal itu dikemukakan sebagai berikut.
1. “Keperluan”biasanya meliputi semua hal yang diperlukan untuk memenuhi segala kebutuhan yang harus dipenuhi.
2. “Kesenangan”boleh didefinisikan sebagai komoditi yang penggunaannya menambah efisiensi pekerja,akan tetepi tidak seimbang dengan biaya komoditi semacam itu.
3. “Kemewahan”menunjuk kepada komoditi serta jasa yang penggunaannya tidak menambah efisiensi seseorang bahkan mungkin menguranginya. Pakaian, perhiasan, mobil, mebel mahal, gedung-gedung yang menyerupai istana,barisan panjang pembantu-pembantu rumah tangga,kesemuanya itu merupakan kemewahan bagi kebanyakan orang.

G. Perilaku konsumen muslim.
Sesungguhnya islam dalam ajarannya di bidang konsumsi tidak mempersulit jalan hidup seorang konsumen.Jika sesorang mendapatkan penghasilan dan setelah dihitung secara cermat hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga saja,tidak ada keharusan baginya untuk mengeluarkan konsumsi social.orang ini termasuk dalam kategori kelas pendapatan rendah yang pas-pasan.akan tetapi bagi yang pendapatannya lebih banyak dari itu,dan rupanya melebihi dari kebutuhan pokoknya,maka tak ada alas an baginya untuk tidak mengeluarkan konsumsi sosialnya.
Dalam islam perilaku seorang konsumen harus mencerminkan hubungan dirinya dengan Allah Swt. Inilah yang kita tidak dapati dalam ilmu perilaku konsumsi konvesional.
Kemudian yang tidak kita dapati pada kajian perilaku konsumsi dalam perspektif ilmu ekonomi konvesional adalah kehadiran saluran penyeimbang dari saluran kebutuhan individual yang disebut dengan saluran konsumsi sosial.Al Quran mengajarkan umat islam agar menyalurkan sebagian hartanya dalam bentuk zakat,sedekah dan infaq.hal ini menegaskan bahwa umat islam merupakan mata rantai yang kokoh yang saling menguatkan bagi umat islam lainnya.
Perbedaan prilaku konsumen muslim dengan perilaku konsumen konvesional adalah konsumen muslim memiliki keunggulan bahwa mereka dalam memenuhi kebutuhannya tidak sekadar memenuhi kebutuhan individual (materi),tetapi juga memenuhi kebutuhan sosial (spiritual).konsumen muslim ketika mendapatkan penghasilan rutinnya,baik mingguan,bulanan,atau tahunan,ia tidak berpikir pendapatan yang sudah di raihnya itu harus di habiskan untuk dirinya sendiri,tetapi karena kesadarannya bahwa ia hidup untuk mencari ridha allah,sebagian pendapatannya dibelanjakan di jalan allah (fi sabilillah).Dalam islam.perilaku seorang konsumen muslim harus mencerminkan hubungan dirinya dengan allah (hablu mina allah) dan manusia (hablu mina an-nas).konsep inilah yang tidak kita dapati dalam ilmu perilaku konsumen konvesional.
Kebutuhan-kebutuhan di atas merupakan stimulus terciptanya kegiatan ekonomi yang dinamis.Masing-masing konsumen adalah merupakan pribadi yang unik,dimana diantara konsumen yang satu dengan yang lain memiliki kebutuhan yang berbeda juga perilaku yang berbeda dalam memenuhi kebutuhannya.Namun,dari perbedaan-perbedaan yang unik tersebut ada satu persamaan,yakni setiap konsumen akan berusaha untuk memaksimalkan kepuasannya pada saat mengkonsumsi suatu barang ataupun jasa.
H. Amar ma’ruf nahi mungkar”
Ekonomi Islam yang merupakan bagian dari sistem perekonomian Syariah, memiliki karakteristik dan nilai-nilai yang berfokus kepada “amar ma’ruf nahi mungkar” yang berarti mengerjakan yang benar dan meninggalkan yang dilarang. Hal dimaksud, ekonomi syariah dapat dilihat dari 4 (empat) sudut pandang sebagai berikut.
1. Ekonomi Illahiyah (Ke-Tuhan-an)
Ekonomi Ke-Tuhan-an mengandung arti bahwa manusia diciptakan oleh Allah untuk memenuhi perintah-Nya, yakni beribadah, dan dalam mencari kebutuhan hidupnya, manusia harus berdasarkan aturan-aturan (Syariah) dengan tujuan utama untuk mendapatkan Ridho Allah.
2. Ekonomi Akhlaq
Ekonomi akhlaq mengandung arti bahwa kesatuan antara ekonomi dan akhlaq harus berkaitan dengan sektor produksi, distribusi, dan konsumsi. Dengan demikian seorang Muslim tidak bebas mengerjakan apa saja yang diinginkan atau yang menguntungkan tanpa mempedulikan orang lain.
3. Ekonomi Kemanusiaan
Ekonomi kemanusiaan mengandung arti bahwa Allah memberikan predikat “Khalifah” hanya kepada manusia, karena manusia diberi kemampuan dan perasaan yang memungkinkan ia melaksanakan tugasnya. Melalui perannya sebagai “Khalifah” manusia wajib beramal, bekerja keras, berkreasi, dan berinovasi.
4. Ekonomi Keseimbangan
Ekonomi Keseimbangan adalah pandangan Islam terhadap hak individu dan masyarakat diletakkan dalam neraca keseim-bangan yang adil tentang dunia dan akhirat, jiwa dan raga, akal dan hati, perumpamaan dan kenyataan, iman dan kekuasaan. Ekonomi yang moderat tidak menzalimi masyarakat, khususnya kaum lemah sebagaimana yang terjadi pada masyarakat kapitalis. Di samping itu, Islam juga tidak menzalimi hak individu sebagaimana yang dilakukan oleh kaum sosialis, tetapi Islam mengakui hak individu dan masyarakat secara berimbang. Karena itu, dapat dilihat bahwa Sistem Ekonomi Syariah mempunyai konsep yang lengkap dan seimbang dalam segala hal kehidupan, namun penganut ajaran Islam sendiri, seringkali tidak menyadari hal dimaksud. Hal itu terjadi karena masih berpikir dengan kerangka ekonomi kapitalis, karena berabad-abad dijajah oleh bangsa Barat, dan juga bahwa pandangan dari Barat selalu dianggap lebih hebat. Padahal tanpa disadari ternyata di dunia Barat sendiri telah banyak negara mulai mendalami sistem perekonomian yang berbasiskan Syariah.













DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penterjemah Al-Qur’an, Jakarta, 1995
Ali, Zainuddin, Hukum Ekonomi Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008
Amalia, Euis, Modul Teori Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional,
Asy-Syirbini, Muhammad al-Khathîb. Mughni al-Muhtâj., Dar al-Fikr, tt..
Az-Zuhaily, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Damaskus: Dar al-Fikr, 1989
Az-Zuhaily, Muhammad. An-Nazhariyyât al-Fiqhiyyah. Damas-kus: Dar al-Qalam, 1993
Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam:teori dan praktek, Jogyakarta.
Muhammad muflih, M.A. Prilaku konsumen,
Tri kunawangsihpracoyo, Aspek dasar ekonomi mikro,

Peranan Moralitas Agama dan etika dalam Lembaga Keuangan Syariah

Peranan moralitas agama dalam mengurus keuangan syariah (baik bank syariah maupun lembaga keuangan syariah lainnya) untuk mewujudkan cita-cita kesejahteraan masyarakat sebagai manusia yang saling bersaudara, menurut sebagian pihak saat ini, hanyalah sebuah impian. Hal dimaksud, terjadi karena adanya penolakan menggunakan mekanisme filter yang disediakan oleh penilaian berbasis moral, di samping makin melemahnya perasaan sosial yang diserukan oleh para tokoh agama. Peningkatan moral dan solidaritas sosial tidak mungkin dapat dilakukan tanpa adanya kesakralan nilai moral yang bersumber dari ajaran agama. Para ahli mengakui, bahwa agama-agama cenderung memperkuat rasa kewajiban sosial dalam diri pemeluknya dari pada menghancurkan. Sepanjang sejarah kehidupan umat manusia tidak ditemukan contoh signifikan yang menunjukkan bahwa suatu masyarakat yang berhasil memeli-hara kehidupan moral tanpa bantuan dari nilai agama.
Ajaran ekonomi yang berdasarkan nilai-nilai agama akan menjadikan tujuan kesejahteraan kehidupan yang meningkatkan jiwa dan ruhani manusia menuju kepada Tuhannya. Menurut Yusuf Qardhawi (1994) seperti yang dikutip oleh rizki bahwa sesungguhnya manusia jika kebutuhan hidup pribadi dan keluarganya telah terpenuhi serta merasa aman terhadap diri dan rezekinya, maka mereka akan hidup dengan penuh ketenangan, beribadah dengan khusyu’ kepada Tuhannya yang telah memberi mereka makan, sehingga terbebas dari kelaparan dan memberi keamanan kepada mereka dari rasa takut. Karena itu, dibutuhkan sebuah kesadaran, bahwa manusia diciptakan oleh Allah swt bukan untuk keperluan ekonomi, melainkan sebaliknya, yaitu masalah ekonomi diciptakan untuk kepentingan manusia.16
Agama Islam mempunyai ajaran yang bersifat universal, sesungguhnya ingin mendirikan suatu pasar yang manusiawi, yaitu orang yang kaya memberi zakat kepada orang miskin, orang yang besar mengasihi orang kecil, orang yang kuat membimbing yang lemah, orang yang bodoh belajar dari yang pintar, dan orang-orang bebas menegur orang yang nakal dan dzalim sebagaimana nilai-nilai utama yang diberikan oleh Allah kepada umat manusia berdasarkan Alqur’an Surah al-Anbiya: 107 sebagai berikut.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Berdasarkan ayat tersebut, dapat dipahami bahwa pasar yang tercipta tidak sesuai prinsip syariah berada di bawah naungan peradaban materialisme yang mencerminkan sebuah miniatur hutan rimba, yaitu orang yang kuat memangsa yang lemah, orang yang besar menginjak-injak yang kecil. Orang yang bisa bertahan dan menang hanyalah orang yang paling kuat dan kejam, bukan orang yang paling baik dan ideal. Dengan demikian sulit membayangkan bahwa kesejahteraan akan dapat diperoleh dari sistem pasar dalam peradaban materialisme.
Untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi yang berke-adilan harus ada suatu sistem pasar yang sehat. Pasar itu sebenarnya adalah sebuah mekanisme yang canggih, namun gampang dirusak, untuk menata kehidupan ekonomi, sehingga setiap pribadi memberikan sumbangannya bagi keseluruhan dan juga memenuhi kebutuhannnya sendiri dengan kebebasan penuh untuk melakukan pilihan pribadinya. Pasar yang sehat meng-galakkan keragaman, prakarsa dan kreativitas pribadi, dan upaya-upaya yang produktif dan inovatif.
Selain itu, Pasar yang sehat sangat tergantung pada kesa-daran dari para pesertanya, sehingga harus ada persyaratan agar masyarakat umum menjatuhkan sanksi terhadap orang yang tidak menghormati hak dan kebutuhan orang lain, serta menge-kang secara sukarela dari dorongan pribadi mereka untuk melampaui batas dan/atau melanggar rambu-rambu yang telah disepakati oleh masyarakat sebagai individu-individu pelaku pasar. Karena itu, bila tidak ada suatu budaya etika dan aturan-aturan publik yang memadai, maka pasar gampang sekali dirusak. Pasar yang sehat, tidak berfungsi dengan paham indivi-dualisme ekstrem dan kerakusan kapitalisme yang semena-mena, dan juga tidak berfungsi lewat penindasan oleh hierarki dan yang tidak mementingkan diri sama sekali, seperti dalam komunisme. Kedua faham tersebut merupakan penyakit yang amat parah dalam dunia perekonomian.
Kesejahteraan dalam pembangunan sosial ekonomi, tidak dapat didefinisikan hanya berdasarkan konsep materialis dan hedonis, tetapi juga memasukkan tujuan-tujuan kemanusiaan dan keruhanian. Tujuan-tujuan tersebut, tidak hanya mencakup masalah kesejahteraan ekonomi, melainkan juga mencakup permasalahan persaudaraan manusia dan keadilan sosial-ekonomi, kesucian kehidupan, kehormatan individu, kehormatan harta, kedamaian jiwa dan kebahagiaan, serta keharmonisan kehidupan keluarga dan masyarakat.
Ajaran Islam, sama sekali, tidak pernah melupakan unsur materi dalam kehidupan dunia. Materi penting bagi kemak-muran, kemajuan umat manusia, realisasi kehidupan yang baik bagi setiap manusia, dan membantu manusia melaksanakan kewajibannya kepada Tuhan. Namun demikian, walaupun kehidupan ekonomi yang baik merupakan tujuan Islam yang dicita-citakan, bukan merupakan tujuan akhir. Kehidupan ekonomi yang baik, pada hakikatnya merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih besar dan lebih jauh. Hal ini merupakan perbedaan yang sangat esensial antara ajaran Islam dengan faham materialisme yang dianut oleh kaum Komunis ataupun para Sekuleristik.
Menurut Yusuf Qardhawi seperti yang dikutip oleh Rizki, ideologi-ideologi materialisme tumbuh untuk pemenuhan nafsu yang tidak terlepas dari ruang lingkup kepentingan ekonomi yang rendah. Kesenangan materi menjadi tujuan akhir dan merupakan surga yang dicita-citakan. Berbeda dengan ekonomi yang dilandasi oleh nilai moral agama, kesejahteraan kehidupan menjadikan tujuan untuk meningkatkan jiwa dan ruhani manusia menuju Tuhannya. Materi digunakan untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan yang lebih baik dan lebih kekal.17
Ajaran Islam mengakui kebebasan kepemilikan. Hak milik pribadi menjadi landasan pembangunan ekonomi, namun harus diperoleh dengan jalan yang telah ditentukan oleh Allah Swt. Pemilikan harus melalui jalan halal yang telah disyariatkan oleh Allah SWt dan Rasulnya. Demikian pula mengembangkan kepemilikan harus dengan cara-cara yang dihalalkan dan tidak dilarang dan/atau bertentangan dengan sistem ekonomi syariah. Islam melarang pemilik harta menggunakan kepemilikannya untuk membuat kerusakan di muka bumi atau melakukan sesuatu yang membahayakan manusia. Di samping itu dilarang pula mengembangkan kepemilikan dengan cara merusak nilai dan moral (akhlak), misalnya dengan menjualbelikan benda-benda yang diharamkan dan segala yang merusak kesehatan manusia baik akal, agama maupun akhlaknya. Karena itu, sebuah pasar yang sehat akan memerlukan landasan nilai-nilai moralitas keagamaan yang dalam sebuah sistem distribusi kepemilikan. Hal itu, bedasrkan Firman Allah SWT dalam Alqurán surat An-Nisa’/4:29 sebagai berikut.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلاَ تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’/4:29)
b. Peran Etika dalam Lembaga keuangan syariah
Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan dalam Pasal 4 menjelaskan bahwa perbankan Indonesia bertuju-an menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.
Pasal 4 undang-undang di atas, tidak ada yang berten-tangan dengan etika dan secara otomatis pasal tersebut telah menjadi payung hukum dalam prinsip ekonomi syariah. Karena itu, untuk merealisasikan apa yang diinginkan oleh undang-undang dimaksud, perlu kebijaksanaan yang memiliki unsur-unsur keadilan, sehingga tercapai tujuan perbankan dalam mensejahterahkan rakyat banyak. Kebijaksanaan tersebut tentu dilahirkan oleh para bankir atau pengurus sesuatu bank. Seandainya para pengurus bank tidak mampu melahirkan kebijaksanaan yang berpihak kepada rakyat banyak maka terjadilah malapraktik, ambruknya suatu bank atau dana yang dihimpun dari masyarakat tersebut karena hanya dinikmati oleh orang-orang tertentu. Agar tidak terjadi penyalah gunaan wewenang dalam mengurus perbankan, maka para manajemen bank mesti mempunyai etika yang baik. Setiap tindakannya dalam melahirkan sesuatu kebijaksanaan, akan sangat erat kaitannya dengan moral. Kalau moral mereka baik, maka akan lahir kebijaksanaan yang selalu berpihak kepada masyarakat ramai. Sebaliknya kalau moral mereka rusak, maka bank tersebut akan menjadi malapetaka terhadap perekonomian masyarakat. 18
Perbankan syariah merupakan bagian dari sistem perban-kan yang ada di Indonesia. Namun dalam beroperasi, mesti mengacu kepada aturan moral dan etika Islam. Mereka tidak boleh terpengaruh oleh moral konvensional yang telah mendo-minasi cara kerja perbankan di Indonesia selama ini. Kalau para bankir syariah dihinggapi oleh penyakit moral konvensional, maka jadilah bank-bank syariah di Indonesia seperti bunglon, atau babi cap unta atau bakso celeng. Bisakah dibuktikan kemungkinan terjadinya etika para bankir syariah keluar dari Islam? Secara eksplisit tentu sukar dibuktikan. Namun secara implisit sangat mudah untuk dibuktikan. Misalnya dalam perbankan syariah, agar uang masyarakat yang dihimpun berdaya guna menurut apa yang menjadi filosofi dasar perbankan syariah, uang itu harus digunakan untuk modal dalam sektor riil. Umar Chapra dalam bukunya Towards a just monetary sistem menjelaskan seperti yang dikutip oleh Jafril Khalil bahwa perbankan Islam dapat berkembang kalau produk yang ditawar-kan oleh bank tersebut dalam bentuk mudharabah atau dalam bentuk syirkah. Namun, Bank syariah dalam peraktiknya di Indonesia sangat sedikit yang berani menawarkan produk bentuk mudharabah dan/atau bentuk syirkah. Sebagai contoh dapat diungkapkan bahwa pada tahun 2002 total pembiayaan murabahah (FDR) 69,2 persen, dana yang dikucurkannya dalam bentuk mudharabah hanya 15,7 persen dan musyarakah hanya 2,5 persen. Berarti dana yang dikembalikan kepada masyarakat lebih mengandalkan produk murabahah. Produk ini bersifat konsumtif dan boleh dikatakan tidak punya risiko.19
Produk murabahah dari ekonomi syariah yang ditawarkan kepada masyarakat sangat mirip dengan produk leasing yang ditawarkan oleh bank konvensional, malah equivalent ratenya lebih tinggi dari bank konvensional. Dengan demikian penulis menilai bahwa bank syariah di Indonesia tidak mau mengambil risiko, lalu mereka membuat produk yang aman. Produk yang aman tersebut tidak dapat mencapai tujuan yang diinginkan oleh Pasal 4 UU No 10 tahun 1998 tentang Perbankan atau yang diinginkan oleh perbankan syariah. Sebab, salah satu tugas bank syariah itu ialah untuk menggulirkan dana yang dihimpun dari masyarakat secara adil dan tentu yang mempunyai wewenang dalam membuat kebijaksanaan dalam perbankan syariah adalah para pengurusnya.
Berdasarkan kenyataan yang terjadi di atas, berarti acuan moral yang dipakai oleh pengurus perlu dipertanyakan. Di lain pihak masyarakat juga tahu bahwa pada umumnya para bankir perbankan syariah yang ada berasal dari para bankir konven-sional. Tentu saja mengkonversi moral dari konvensional kepada perbankan syariah memang perlu waktu dan pergulatan batin.
Selain itu, dalam kasus lain dapat dibuktikan salah satu bank syariah yang besar bermasalah dengan Citi Bank. Mengapa bank tersebut punya tuntutan kepada Citi Bank, orang dapat menerka bahwa bank syariah tersebut terlibat dalam penjualan surat berharga secara riba atau bunga. Siapa yang melakukan hal tersebut, jelas saja manajemen bank itu. Seandainya para mana-jemen tidak tergoda oleh uang haram, tentu mereka tidak akan punya masalah dengan Citi Bank. Secara implisit sangat jelas bahwa para pengurus tidak memperhatikan etika dalam ajaran Islam ketika melaksanakan transaksi dengan Citi Bank.20 Khusus masalah riba, Allah dalam banyak ayat telah mengingatkan secara tegas, di antaranya surat al-Baqarah (2): 278-279.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ (279)
Dalam pengucuran dana melalui produk mudharabah dan musyarakah, para bankir syariah tidak jauh berbeda dengan bankir konvensional. Mereka memilih hanya orang kaya saja yang dapat bagian. Artinya uang masyarakat yang dikumpulkan oleh perbankan syariah hanya dinikmati oleh golongan yang berpunya; Sedangkan dalam membina dan menumbuhkan perekonomian rakyat, mestinya rakyat banyaklah yang lebih diutamakan. Sayangnya hal ini tidak dianggap penting oleh para bankir syariah. Akibatnya adalah tujuan perbankan sesuai dengan maqasidu syar’iah tidak tercapai. Alasan yang biasa di dengar dari pengurus perbankan syariah adalah persyaratan tidak terpenuhi baik yang berkenaan dengan jaminan maupun alasan-alasan lainnya.
Dalam membuat produk, kadang-kadang perbankan syariah membuat yang persis sama dengan bank konvensional. Anehnya kadang-kadang bisa melibatkan MUI. Akibatnya, kalau produk tersebut beredar di pasar tentu saja masyarakat Islam seperti disuguhi daging celeng, dan disebut sebagai daging halal yang dipotong secara islami. Biasanya para pemikir Yahudi yang selalu membuat sesuatu yang haram tapi dianggap halal dengan berbagai dalih. Umpamanya, mereka dilarang Allah memakan riba, lalu mereka ubah sedikit. Sesama Yahudi memang dilarang, tetapi dengan bangsa lain tidak dilarang. Atau riba itu mereka namakan dengan usury dan diharamkan, lalu mereka buat riba ringan dengan nama interest, lalu mereka sepakat menghalal-kannya dengan berbagai alasan seperti value of time terhadap uang dan lainnya. Untuk membuat keputusan tersebut mereka selalu melibatkan rahib-rahib mereka.
Etika dan moral sebagai suatu acuan yang amat penting perlu menjadi pedoman utama bagi para bankir syariah. Tanpa kekuatan moral, para bankir dimaksud, akan terjebak ke dalam suatu bisnis islami yang tidak beretika. Akibatnya bukan hanya suatu institusi yang diangap tidak punya integritas di mata masyarakat, mungkin Islam sebagaimana agama yang terbaik dianggap tidak punya sistem yang benar. Sistem ekonomi syariah akan dianggap sebagai suatu utopis dan hayalan orang-orang tertentu. Bagaimana cara Islam bermuamalah yang beretika Islami, sebaiknya selalu menjadi wacana bersama dan kesediaan bersama untuk muhasabah, agar kebesaran agama Islam tetap dapat terpelihara.
Para bankir syariah tidak perlu arogan dan selalu siap ditegur. Sikap rendah hati perlu dianut. Allah menjelaskan “Saling berwasiat untuk mentaati kebenaran dan saling bewasiat dengan cara yang sabar” artinya apapun wasiat tersebut kalau mengandung kebenaran perlu diterima dengan hati yang lapang, tidak diterima dengan nada sinis atau dengan sifat arogan, karena itu akan membuat orang takabur. Allah tidak suka kepada orang yang takabur.

ALQURAN: PENGERTIAN, KARAKTERISTIK DAN BENTUK-BENTUK PENJELASAN HUKUM-HUKUMNYA

Oleh: Muhammad Anwar Zainuddin

A. Pengertian Al-Qur’an Perkataan Alqur’an berasal dari kata kerja qaraa yang artinya dia telah membaca. Kata kerja ini berubah menjadi kata benda qur'an, yang secara harfiah berarti bacaan atau sesuatu yang harus dibaca atau dipelajari. Makna perkataan itu sangat erat hubungannya dengan arti ayat Alqur'an yang pertama diturunkan di gua Hira yang dimulai dengan perkataan iqra'. Artinya bacalah. Membaca adalah salah satu usaha untuk menambah ilmu pengetahuan yang sangat penting bagi hidup dan kehidupan manusia. Dan ilmu pengetahuan itu hanya dapat diperoleh dan dikembangkan dengan jalan membaca dalam arti kata seluas-seluasnya. Nama Al qur'an seperti yang disebutkannya sendiri bermacam-macam, dan masing-masing itu mengandung arti dan makna tertentu, antara lain :
(1) Al Kitab, artinya buku atau tulisan. Pengertian dimaksud, untuk mengi¬ngatkan kaum muslimin supaya membuku-kannya menjadi buku;
(2) Alqur'an, artinya bacaan. Pengertian dimaksud, meng-ingatkan supaya ia dipelihara/dihafal bacaannya di luar kepala;
(3) Al Furqan, artinya pemisah. Pengertian dimaksud, meng-ingatkan supaya dalam mencari garis pemisah antara kebenaran dan kebatilan, yang baik dan buruk haruslah dari padanya atau mempunyai rujukan padanya;
(4) Hudan, yaitu petunjuk. Pengertian dimaksud, mengingat-kan bahwa petunjuk tentang kebenaran hanyalah petunjuk yang diberi¬kan-Nya atau mempunyai rujukan kepada-Nya;
(5) Al Zikr, artinya ingat. Pengertian dimaksud, menunjukkan bahwa ia berisikan peringatan sehingga selalu diingat tuntunannya dalam melakukan setiap tindakan. (Sulaeman Abdullah, 1995).
Alqur'an sebagi sumber hukum yang pertama dan utama sebagaimana yang diungkapkan oleh Allah dalam Alqur’an Surah An-Nisa/4: 105 sebagai berikut.
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلاَ تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
Terjemahnya:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab (Alqur'an kepada engkau (Muhammad) dengan kebenaran, supaya engkau menghukum di antara manusia dengan apa yang Allah telah tunjukkan kepada engkau . . . .
B. Karakteristik Kandungan Alqur'an.
Alqur'an memuat kaidah-kaidah hukum fundamental yang perlu dikaji dengan teliti dan dikembangkan lebih lanjut. Menurut keyakinan umat Islam, yang dibenarkan peneliti ilmiah terakhir Maurice Bucaille, Al qur'an kitab yang memuat wahyu (firman-firman) Allah, Tuhan Yang Esa, asli seperti yang disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya sedikit demi sedikit selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, mula-mula di Mekah kemudian di Madinah untuk menjadi pedoman atau petunjuk bagi ummat manusia kedalam hidup kehidupannya mencapai kesejehteraan di dunia ini dan kebahagiaan di akhirat kelak. Lebih jauh Maurice Bucaille dalam bukunya "Le Bible Le Qor'an Et La Science" telah mebuktikan bahwa banyak sekali ayat-ayat Al qur'an itu yang cocok dengan ilmu pengetahuan modern. Karena itu di dalam Al qur'an, masih banyak teori-teori ilmu pengetahuan modern yang belum diungkapkan oleh manusia. Namun, sangat berguna bagi keselamtan/kesejehteraan manusia di masa mendatang (Syahminan Zaini, 1982 ; 158).
Alqur’an adalah kitab suci yang berisi wahyu Ilahi yang menjadi pedoman hidup kepada manusia yang tidak ada keragu-raguan di dalamnya. Selain itu, Alqur’an menjadi pentunjuk yang dapat menciptakan manusia untuk menjadi bertaqwa (predikat yang tertinggi dihadapan Allah) kepada Allah Swt. Karena itu, Alqur’an banyak mengemukakan prinsip-prinsip umum yang mengatur kehidupan manusia dalam beribadah kepada Allah swt., meskipun kegiatan muamalah terjadi secara interaktif antara sesama makhluk, termasuk alam semesta; namun Alqur’an dan Alhadis tetap menjadi hukum dasar yang harus dipedomani oleh manusia berdasarkan prinsip bahwa semua kegiatan itu berada dalam kegiatan beribadah kepada Allah swt. Dengan demikian, semua perbuatan manusia adalah ibadah kepada Allah sehingga tidak boleh bertentangan dengan hukum Allah swt, dan ditujukan untuk mencapai keridhaanNya (Zainuddin Ali, 2001: 95).
Alqur’an sebagai pedoman yang abadi bagi kehidupan manusia mempunyai tiga jenis petunjuk, yaitu:
Pertama, ajaran yang di dalamnya memberi pengetahuan tentang struktur kenyataan dan posisi manusia. Ajaran dimaksud berisi petunjuk akhlak atau moral serta hukum atau syari’at, yang mengatur kehidupan manusia sehari-hari. Ajaran itu juga mengandung metafisika tentang Tuhan, kosmologi tentang alam semesta serta kedudukan berbagai makluk dan benda di dalamnya, dan membicarakan kehidupan di akhirat. Selain itu, mengandung ajaran tentang kehidupan manusia , tentang sejarah dan eksistensi manusia serta arti dari keduanya. Ia mengandung segala pelajaran yang diperlukan oleh manusia untuk mengetahui siapa dirinya, di mana ia berada dan ke mana ia pergi. Karena itu, Alqur’an adalah dasar dan hukum Tuhan dan pengetahuan metafisika.
Kedua, Alqur’an berisi petunjuk yang menyerupai ring-kasan sejarah manusia baik rakyat biasa, raja, orang-orang suci maupun Nabi dan Rasul Allah Swt. sepanjang zaman yang mereka ditimpa cobaan. Walaupun petunjuk itu dalam bentuk sejarah tetapi ditujukan kepada manusia. Petunjuk dimaksud, diturunkan kepada manusia di masa lalu, kini dan akan datang, meskipun mengambil tempat dan waktu yang telah lalu. Para pendusta yang mendustakan kebenaran Alqur’an dan agama Islam selalu ada pada setiap saat, begitu pula mereka yang mengingkari Tuhan ataupun mereka yang berada di jalan lurus . Mereka yang diberi siksa-Nya dan mereka yang diberi karunia-Nya selalu ada pada setiap ruang dan waktu. Jadi Alqur’an adalah petunjuk tentang kehidupan manusia yang dimulai dengan kelahiran dan diakhiri dengan kematian, dimulai dari-Nya dan kembali kepada-Nya.
Ketiga, Alqur’an berisi sesuatu yang sulit dijelaskan dalam bentuk bahasa biasa. Ayat-ayat Alqur’an berasal dari Firman Allah, mengandung kekuatan yang berbeda dari apa yang kita pelajari dalam Alqur’an secara rasional. Ayat-ayat itu mem-punyai kekuatan untuk melindungi manusia . Itulah sebabnya kehadiran fisik Alqur’an sendiri membawa berkat bagi manusia. Apabila seorang muslim menghadapi kesulitan, ia membaca ayat-ayat tertentu di dalam Alqur’an untuk menenangkan dan menghibur hatinya. Menurut ajaran Islam, membaca Alqur’an, adalah salah satu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan merupakan ibadah (H.Mohammad Daud Ali, 1991: 73).
Alqur’an yang menjadi sumber nilai dan norma ummat Islam itu terbagi ke dalam 30 juz (bagian), 114 surah (bab). Namun, jumlah ayat terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu Alqur’an. Ada ahli yang memandang 3 ayat tertentu sebagai satu ayat, ada pula yang memandang 2 ayat tertentu sebagai satu ayat, karena masalah koma dan titik yang diletakkan di antara ayat-ayat itu, tetapi jumlah kata dan suku kata yang mereka hitung adalah sama, yaitu 74.499 kata atau 325.345 huruf. Di Indonesia, misalnya, yang mengikuti perhitungan Muham-madiyah menyebut jumlah ayat di dalam Alqur’an 6.666, sedang mesjid Agung Al-Azhar menghitung 6.236 ayat sesuai dengan jumlah ayat di dalam Alqur’an yang dicetak di Mesir (H. M. Daud Ali, 1991: 80).
Para ahli ilmu Alqur’an sepakat bahwa surah pertama diturunkan disebut al-Fatihah (pembukaan), surah ke-114 adalah surah an-Nas (manusia). Alqur’an diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad tidak secara kronologis. Lima ayat pertama yang diturunkan di gua Hira` pada malam 17 Ramadhan atau pada malam Nuzulul Qur’an ketika Nabi Muhammad berusia 40 – 41 tahun, saat ini terletak di surah al-‘Alaq (96): 1- 5. Ayat terakhir yang diturunkan di padang Arafah, ketika Nabi Muhammad berusia 63 tahun pada tanggal 9 Zulhijjah tahun ke-10 Hijrah, saat ini terletak di surah al-Maidah (5): 3.
Ayat-ayat Alqur’an yang diturunkan selama lebih kurang 23 tahun itu disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad lebih kurang 13 tahun ketika ia berada di Mekkah (sebelum Hijrah ke Madinah) dan 10 tahun diturunkan Alqur’an itu sesudah ia hijrah ke Madinah. Penurunan Alqur’an itu berangsur-angsur, mungkin beberapa ayat dari sebuah surah, mungkin juga sebuah surah lengkap seperti surah al-Fatihah, misalnya. Ayat-ayat yang diturunkan di Mekah (sebelum hijrah) disebut ayat-ayat Makkiyah, merupakan 19/30 dari ayat Alqur’an, banyaknya 86 surah dan ayatnya pendek-pendek yang mempunyai gaya bahasa yang singkat dan padat. Pada umumnya mengenai ketauhidan atau ketuhanan Yang Maha Esa, akhlak dan hari akhir. Ayat-ayat yang diturunkan di Madinah (sesudah Hijrah) disebut ayat-ayat Madniyah, merupakan 11/30 dari Alqur’an, banyaknya 28 surah. Surah dan ayat-ayatnya panjang-panjang, gaya bahasanya jelas dan tegas. Isinya, pada umumnya adalah norma-norma hukum untuk pembentukan dan pembinaan suatu masyarakat Islam, negara yang baik, adil dan sejahtera yang diridhai oleh Allah.
Abdul Wahab Khallaf mengemukakan bahwa Alqur’an memuat 6.236 ayat (Abdul Wahab Khallaf: 1956: 34-35). Jumlah itu, hanya 5,8 persen dari seluruh ayat Alqur’an yang mempunyai perincian. Hal itu diungkapkan karakteristik ayat-ayat sebagai berikut.
1) Ibadat shalat, puasa, haji, zakat, dan lain-lain 140 ayat.
2) Hidup kekeluargaan, perkawinan, perceraian, hak waris, dan sebagainya 70 ayat.
3) Perdagangan/perekonomian, jual-beli, sewa menyewa, pin-jam meminjam, gadai, perseroan, kontrak, dan sebagainya 70 ayat.
4). Persoalan kriminologi 30 ayat.
5) Hubungan Islam dengan non Islam 25 ayat.
6) Persoalan kehakiman/pengadilan 13 ayat.
7) Hubungan si kaya dan si miskin 10 ayat.
8) Persoalan kenegaraan 10 ayat.
C. Bentuk-Bentuk Penjelasan Hukum-Hukum Al-Qur’an
Jumlah ayat-ayat Alqur’an yang mempunyai perincian secara keseluruhan yang diungkapkan di atas adalah 368 ayat. Dari jumlah 368 ayat tersebut, hanya 228 ayat itu dari seluruh jumlah ayat-ayat Alqur’an amat terperinci yang menyangkut hukum ibadah, hukum kelaurga, dan hukum kewarisan, Kecuali dalam beberapa hal mengenai hukum kepidanaan, dan hukum ekonomi, dan beberapa lagi bidang hukum lainnya yang telah disebutkan perinciannya di atas. Hal itu berarti selain dalam bidang hukum dimaksud, ulil amri (pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat) memperoleh kesempatan untuk membuat peraturan perundang-undangan yang terperinci sesuai tuntutan perkembangan masyarakat (Harun Nasution, 1978: 9).
Berdasarkan perincian dan klasifikasi ayat-ayat Alqur’an dimaksud, menujukkan bahwa ayat-ayat yang mengatur soal hidup kekeluargaan, kepidanaan dan kehidupan ekonomi mempunyai jumlah besar. Angka mengenai hidup kekeluargaan ini besar karena keluargalah yang merupakan unit kemasyarakatan terkecil dalam tiap-tiap masyarakat. Dari keluarga-keluarga yang baik, makmur dan bahagia tercipta masyarakat yang baik, makmur dan bahagia. Keluarga-keluarga yang tidak kuat ikatannya, tidak akan dapat membentuk masyarakat yang baik. Karena itu, keteguhan ikatan kekeluargaan perlu dipelihara dan di sinilah terletak salah satu sebabnya maka ayat-ayat ahkam mementingkan soal hidup kekeluargaan. Dalam hubungan ini perlu diketahui bahwa salah satu tujuan ibadah dalam Islam ialah membentuk individu-individu menjadi baik dan berbudi pekerti luhur. Dari individu-individu yang tidak mempunyai budi pekerti luhur tidak akan dapat terwujud keluarga yang baik (Harun Nasution, 1978: 10)
Selain itu, perlu diungkapkan bahwa ayat-ayat ahkam mengenai hidup kemasyarakatan itu, selain kecil jumlah kese-luruhannya, bersifat umum, dalam pengertian hanya membe-rikan garis-garis besarnya tanpa perincian. Ini berlainan halnya dengan ayat-ayat ahkam mengenai ibadah. Wahyu dalam hal ini lebih tegas dan lebih terperinci. Masyarakat bersifat dinamis mengalami perubahan dari zaman ke zaman, dan kalau diatur dengan hukum-hukum yang berjumlah besar lagi terperinci akan menjadi terikat dan tak dapat berkembang sesuai dengan per-edaran dan perkembangan zaman. Di sini pula terletak hikmah-nya maka ayat-ayat ahkam mengenai hidup kemasyarakatan berjumlah kecil dan hanya membawa pedoman-pedoman dasar tanpa perincian. Karena itu, hanya dasar-dasar inilah yang perlu dan wajib dipegang dalam mengatur hidup kemasyarakatan ummat disegala tempat dan zaman. Dengan kata lain dasar-dasar itulah yang tak dapat diubah oleh manusia, sedang interpretasi, perincian dan pelaksanaannya, itu berubah menurut tuntutan zaman. Di sekitar interpretasi dasar-dasar inilah hukum dalam Islam berkembang seperti yang akan diuraikan lebih rinci pada pembahasan Al-Ra’yu.
Ayat-ayat hukum (ahkam) di dalam Alqur’an yang jumlah-nya disebutkan di atas, mungkin teksnya menunjukkan pengertian yang qath’i, mungkin pula zhanni sifatnya. Yang dimaksud nas qath’i sifatnya adalah kata atau kalimat yang mengandung arti yang jelas sekali sehingga tidak mungkin ditafsirkan lain dari yang tercantum dalam ayat itu. Sebagai contoh dapat diungkapkan dalam surat an-Nisa (4): 12
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ . . . .
Terjemahnya:
Dan bagimu (suami) adalah seperdua dari harta peninggalan isterimu, jika isterimu itu tidak mempunyai anak . . . .
Teks ayat Alqur’an mengenai garis hukum kewarisan tersebut adalah qath’i (jelas sekali pengertiannya sehingga tidak mungkin diartikan lain dari apa yang dimaksud dalam teks ayat itu). Lain halnya teks Alqur’an yang bersifat zdanni, yaitu kata atau kalimat yang menunjukkan arti lebih dari satu, masih mungkin ditafsirkan oleh orang yang berbeda dengan makna yang berbeda pula. Dalam kepustakaan hukum Islam yang sering dijadikan contoh adalah perkataan quru’ yang terdapat dalam surat Al-Baqarah (2): 228.
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوءٍ . . . .
Dalam ayat tersebut, dikatakan bahwa “perempuan yang ditalak (oleh suaminya) harus menunggu tiga masa (quru’). Kata quru’ yang menyangkut masa iddah (masa tunggu) wanita yang diceraikan oleh suaminya, mungkin diartikan tiga kali masa suci atau tiga kali menstruasi (haid). Pengertian kedua-duanya adalah benar. Kalau kata quru’ itu diartikan tiga kali masa suci, lamanya masa tunggu atau iddah wanita itu akan berbeda dengan kalau quru’ itu diartikan tiga kali suci (bersih).
Kandungan Alqur'an dapat diketahui di antaranya: salah satu ayat di dalam Alqur’an menerangkan yang artinya: tidaklah ada satu pun dari binatang di bumi dan tidak pula satu pun yang terbang dengan kedua sayap¬nya, melainkan adalah mereka itu ummat-ummat seperti kamu. Tidak ada yang Kami luputkan di dalam Al Kitab sesuatu pun. Kemudian, kepada Tuhan mereka akan dikumpulkan" (Al-An'am : 38).
Sebagian Ahli tafsir berkata, ayat "tidak ada yang Kami luputkan di dalam Al Kitab sesuatu pun", maksudnya ialah dalam Alqur'an itu telah ada pokok-pokok agama, norma-norma, hukum-hukum, hikmah-hikmah dan pimpinan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat dan kebahagiaan makhluk pada umumnya (Humaidi Tatapangarsa, 1990: 67). Namun perlu diketahui dan dipahami bahwa Alqur'an pada hakekatnya mengandung lima prinsip, tujuan pokok diturunkan Al qur'an kepada Nabi Muhammad untuk diteruskan kepada umat manusia, yaitu untuk menyampaikan lima prinsip yang terdapat di dalam Alqur'an sebagai berikut :
(1) Tauhid (doktrin tentang kepercayaan Ketuhanan Yang Maha Esa);
(2) Janji dan ancaman Tuhan;
(3) Ibadah;
(4) Jalan dan cara mencapai kebahagiaan;
(5) Cerita-cerita/sejarah-sejarah umat manusia sebelum Nabi Muhammad.
Abdul Wahab khallaf menyebut berbagai macam hukum" dalam Alqur'an, yang tidak termasuk ke dalam bidang hukum menurut apa yang biasa kita pelajari baik menurut hukum Adat maupun menurut hukum eks Barat. Menurut pandangan Islam "hukum-hukum" yang terkandung dalam Alqur'an itu adalah :
1. Hukum-hukum i'tiqadiyah, yaitu hukum yang berkitan dengan kewajiban pada subyek hukum untuk mempercayai Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari pembalasan,
2. Hukum-hukum akhlaq, yaitu hukum-hukum Allah yang berhubungan dengan kewajiban seorang subjek hukum untuk "menghiasi" dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang tercela.
3. Hukum-hukum amaliyah, yakni hukum-hukum yang bersang-kutan dengan perkataan, perbuatan, perjanjian dan hubungan kerjasama antar sesama manusia.
Ke tiga jenis hukum di atas, dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu (a) hukum-hukum ibadat, yaitu hukum yang mengatur hubungan antar manusia dengan Allah dalam mendirikan shalat, melaksanakan ibadah puasa, mengeluarkan zakat dan melakukan ibadah haji dan (b) hukum-hukum muamalat yakni semua hukum yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik hubungan antar pribadi maupun hubungan antar orang per-orangan dengan masyarakat.
Bila dilihat dari isi hukum-hukum muamalat dalam kategori di atas, hukum-hukum muamalat itu tidak hanya menge¬nai hukum perdata, menurut konsep dan pengertian hukum eks Barat, tetapi termasuk juga ke dalamnya apa yang disebut hukum pidana. Menurut pengertian hukum Alqur'an, semua hukum dalam kategori hukum-hukum amaliah tersebut di atas, selain dari hukum-hukum yang berkenaan dengan ibadah, adalah hukum muamalat. Hukum muamalat dalam pengertian ini, menurut Abdul Wahab Khallaf seperti yang dikutip oleh H. Mohammad Daud Ali, meliputi juga, selain dari hukum perdata, juga hukum pidana, hukum tata negara, hukum internasional, hukum ekonomi dan keuangan bahkan juga hukum acara (Mohammad Daud Ali, 1993:44-46).
Menurut Syaminan Zaini (1982: 80), Alqur'an mengandung dua macam hukum, yaitu :
1. Sunnatullah (hukum alam). Hukum ini berlaku untuk benda pisik. Benda-benda pisik ini sangat patuh kepada hukum tersbut. Allah berfirman yang artinya: Dan kepada Allahlah menyerah diri di bumi secara taat dan terpaksa (S. Ali Imran: 83); "Dan kepada Allahlah bersujud apa yang ada di langit dan di bumi secara taat dan terpaksa (S. ar-Ra'du: 15). Karena itu benda-benda pisik ini menjadi sangat teratur dan harmonis;
2. Dinullah (hukum agama). Hukum ini berlaku bagi manusia sebagai makhluk rohani. Hukum ini terbagi kepada tiga bagian, yaitu: aqidah (kepercayaan), syari'ah (hukum ibadah dan muamalah) dan akhlak (hukum budi pekerti). Dalam Islam hukum ini telah diperinci sedemikian rupa, yang mencakup keseluruhan aspek kemanusiaan dan kehidu¬pan-nya.
Bila penulis membandingkan antara hukum-hukum yang ada di dalam Alqur'an dengan hukum-hukum yang dibuat oleh manusia dalam segala seginya maka ditemukan bahwa hukum Alqur'an lebih mencakup dan lebih sempurna serta serasi bagi keseluruhan aspek kemanusiaan dan kehidupannya. Sebagai contoh dapat diungkapkan bahwa dalam ajaran Islam ditemukan pembagian kategori hukum itu kepada lima bagian, yaitu wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah yang sesuai dengan tindakan manusia di dalam hidup bermasyarakat. Islam mendahulukan kewajiban dari pada hak. Sebab, apabila kewajiban telah dibayarkan berarti hak orang telah diberikan. Dengan demikian tidak akan menuntut haknya lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, H. Mohammad Daud. Asas-Asas Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 1991
Ali, Zainuddin. Ilmu Hukum dalam Masyarakat Indonesia. Palu: Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, 2001
----------. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Jakaarta: Sinar Grafika, 2006
--------------. Hukum Pidana Islam. Jakaarta: Sinar Grafika, 2007
Furqan, H. Arif, dkk. Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum, Jakarta: Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2002.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jilid 1 & 2. Jakarta: UI Press, 1985.
----------. Akal dan Wahyu Dalam Islam. Jakarta: UI Press, 1986.
----------- & Bahtiar Effendy. (penyunting). Hak-hak Azasi Manusia. Jakarta: Obor, 1987
Wahab Khallaf, Abdul. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Diterje-mahkan oleh Noer Iskandar. Jakarta: Rajawali Press, 1996.
Zuhri, Muh. Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah. Cetakan kedua; Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1997

Kebijakan fiskal dan moneter

Oleh Muhammad Anwar Zainuddin

1. Definisi dan pengertian
Kebijakan fiskal adalah kebijaka ekonomi yang digunakan pemerintah untuk mengelola/mengarhkan pereekonomian kekondisi yang lebih baik atu diinginkan dengan cara mengubah-ubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Jadi, kebijakan fiskal mempunyai tujuan yang sama persis persis dengan kebijakan moneter. Perbedaanya terletak padaintrumen kebijakannya. Jika dalam kebijakan moneter pemerintah mengendalihkan penerimaan dan pengeluaranya.
a. Pajak
Tujuan pajak adalah untuk memperdalam pemahaman tentang kebijakan fiskal dan pengaruhnya terhadap keseimbangan perekonomian. Sebab, berbeda dengan pengeluaran pemerintah yang dapat diasumsikan otonomus, maka pajak tidaklah demikian; Besarnya pajak yang diterima pemerintah dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, sebaliknya pajak dapat memengaruhi pola laku produksi dan atau konsumsi.
Secara hukum, pajak dapat didefinisikan sebagai iuran wajib kepada pemerintah yang bersifat memaksa dan legal [berdasarkan undang-undang], sehingga pemerintah mempunyai kekuatan hukum [misalnya denda atau kurungan penjara] untuk menindak wajib pajak yang tidak memenuhi kewajibannya. Walaupun pajak sifatnya memaksa, pemerintah tidak mempunyai kewajiban untuk membalas jasa secara langsung kepada para membayar pajak.pajak dipungut untuk menjalankan roda pemerintahan.
Secara ekonomi, pajak dapat didefinisikan sebagai pemindahan sumber daya yang ada di sektor rumah tangga dan perusahaan [dunia usaha] kesektor pemerintah melalui mekanisme pemungutan tanpa wajib memberi balas jasa langsung. Jika pungutan pemerintah siftnya memberikan balas jasa langsung, maka pungutan tersebut disebut retribusi.
1) Klasifikasi pajak
Ada beberapa pengklasikan pajak yang umumnya digunakan, yaitu pajak objektif dan pajak subjektif serta pajak langsung dan pajak tidak langsung.
a) Pajak objektif
pajak objektif adalah pajak yang dikenakan berdasarkan aktifitas ekonomi para wajib pajak. Misalnya, pajak pertambahan nilai [PPN] dikenakan kepada mereka yang membeli barang dan jasa kena pajak.
b) Pajak subjektif
Pajak subjektif adalah pajak yang dipungut dengan melihat kemampuan wajib pajak.biasanya bila kemampuan wajib pajak makin besar, beban pajaknya makin besar. Salah satu indikator yang digunakan adalah pendapatan. Bila pendapatan [lebih tepatnya pendapatan kena pajak] makin besar, beban pajaknya makin besar. Tetapi bila pendapatan seseorang masih dibawah pendapatan tidak dikena pajak [PTKP], orang tersebut tidak perlu membayar pajak pendapatan atau pajak penghasilan [PPh].
c) Pajak langsung
Pajak langsung adalah pajak yang beban pajaknya tidak dapat digeser kepada wajib pajak yang lain [no tax incidince]. Jadi pembayar pajak langsung adalah pembayar pajak terakhir [last tax payer]. Contoh pajak langsung di indonesia adalah pajak penghasilan [PPh] serta pajak bumi dan bangunan [PPB]. Karena pajak langsung mempunyai pajak kesamaan dengan pajak subjektif,umumnya pajak langsung adalah pajak subjektif.
d) Pajak tidak langsung
Pajak tidak langsung adalah pajak yang beban pajaknya dapat digeser kapada wajib pajak yang lain [tax incidence].contoh paling terkenal dari pajak tidak langsung adalah pajak penjualan, yang dalam konteks indonesia dikenal sebagai PPn dan PPnBM. Pajak ini disebut sebagai pajak tidak langsung, sebab jika yang dikenakan pajak adalah produsen, maka produsen dapat menggeser sebagaian atau seluruh beban pajaknya kepada konsumen.
2) Tarif pajak
Dua jenis tarif pajak yang paling terkenal adalah pajak nominal dan pajak presentase.
a) Pajak nominal
Pajak nominal adalah pajak yang pengenaanya berdasar sejumlah nilai nominal tertentu. Notasi untuk pajak nominal adalah T [huruf besar]. Misalnya, bila pengenaan pajak pendapatan sebesar 50, maka ditulis T =50.
b) Pajak persentase
Pada pajak presentase, beban pajaknya ditetapkan berdasarkan presentase tertentu dari dasar pengenaan pajak. Notasi untuk pajak persentase adalah t [huruf kecil].pajak preentase dapat dibedakan menjadi pajak proporsional,progresif dan regresif.
Pajak proposional, tarif persentasenya tetap, misalnya pajak penghasilan dikatakan proposional bila beberapapun besarnya penghasilan, tarif pajaknya tetap 20%
Pajak progresif, tarifnya makin tinggi bila dasar pengenaan pajaknya makin tinggi.pajak penghasilan dikatakan progresif bila tarifnyamakin tinggi pada saat pendapatan meningkat. Diindonesia berdasarkan UU No;17/2000 mengenai pajak penghasilan [yang mulai berlaku tahun 2001],tarif pajak penghasilan kena pajak [PKP] untuk pribadi Rp 25 juta per tahun, tarif pajaknya 5%, PKP diatas Rp 25 juta – Rp 50 juta per tahun, tarif pajaknya 10% PKP diatas Rp 50 juta – Rp 100 juta per tahun, tarifnya 15%, diatas Rp 100 juta – 200 juta per tahun, tarifnya 25% dan PKP diatas Rp 200 juta, tarifnya 35%.
Pajak regresif adalah kebalikan dari pajak progresif; tarif pajak justru makin rendah pada saat penghasilan meningkat.

2. Pengaruh Pajak Terhadap Pendapatan Dan Konsumsi.
Dengan tetap mempertahankan asumsi bahwa pengeluaran investasi [I] dan pengeluaran pemerintah [G] bersifat otonomus, maka pajak akan memengaruhi pengeluaran konsumsi melalui pengaruhnya terhadap fungsi konsumsi.
a. Pajak nominal
Pajak nominal, pertama kali memengaruhi pendapatan disposabel. Jika pendapatan adalah Y dan pajak nominal adalah T, maka pendapatan disponsabel:
Ya = Y – T

Funsi konsumsi menurut model keynes adalah:

C = Co + bYd

Dengan adanya pajak nominal, maka Yd = Y –T, sehingga fungsi konsumsi menjadi:

C = Co + bYd
= Co + b [Y – T]
= Co + bY – bT
= Co + bT + bY

Bahwa pajak nominal tidak mengubah nilai MPC. Artinya pajak nominal tidak mengubah sensitivitas konsumsi akibat perubahan pendapatan.Yang berubah adalah konsumsi otonomus, dimana pajak nominal menyebabkan konsumsi otonomus menjadi lebih kecil sebesar bT.

Dampak pajak pendapatan nominal
Terhadap perilaku konsumsi [Fungsi konsumsi].

Diagram 14.1
Dampak pajak Pendapatan Nominal
Terhadap Perilaku Konsumsi (Fungsi Konsumsi)












b. Pajak proporsional
Jika pajak penghasilan yangdikenakan adalah proporsional [t], maka pendapatan disposabelmenjadi:

Yd = Y – tY = Y [I – t]

Akibatnya fungsi konsumsi berubah menjadi:

C = Co + bYd = Co + b [Y[I –t]
=Co + b Y – btY = Co + [b-bt]Y

Teryata pajak proporsional menyebabkan MPC menjadi

C2 = 100 + 0,8(1-0,25)Y
= 100 + 0,8(0,75)Y
= 100 + 0,6 Y
Pajak porposional telah menyebabkan MPC berubah menjadi 0,6 atau lebih kecil 0,2 dari MPC sebelum ada pajak porposional. Perubahan MPC tersebut.

KEBIJAKAN KONSUMEN

Oleh: Muhammad Anwar Zainuddin

A. Pendahuluan

Ajaran Islam terdiri atas tiga komponen, yaitu aqidah, syariah dan akhlaq. Syariah dalam bentuk shalat adalah menjauhi perbuatan keji dan munkar, hasil menunaikan zakat adalah mensucikan dan menentramkan jiwa, hasil melaksanakan puasa dengan ikhlas dan karena Allah SWT menjadikan manusia muslim taqwa, sedangkan hasil mengerjakan ibadah hajji adalah Allah SWT menerima ketakwaan dari yang melaksanakannya. Jika seluruh aktivitas ibadah itu tidak menjadikan manusia Muslim berakhlak mulia, maka hilanglah nilai-nilai ibadah itu di sisi Allah SWT.
Kebijakan Konsumen membicarakan persoalan kehalalan, baik berupa sumber maupun pemanfaatan harta termasuk persoalan makanan. Karena itu, setiap warga masyarakat Islam yang mencari rejeki harus selalu berpedoman kepada Sumber hukum, yaitu Alqur’an dan Al Hadis mengenai penghasilannya yang halalan Tayyiban
Setiap warga masyarakat yang berusaha untuk mencapai tugas produksinya yang rumit, akan tetapi respon islam dalam menyelesaikan tugas ini dasar ideologinya, pasti mempunyai perbedaan dari respon ekonomi pasar, atau ekonomi ”komando”.walaupun seseorang merasa benar dengan berkata bahwa suatu masyarakat pertama-tama harus melakukan tugas-tugas produksi dahulu sebelum memulai persoalan distribusi, tetapi dalam ekonomi islam, distribusilah yang harus menggiatkan produksi dan konsumsi. Dengan demikian, proses konsumsi, produksi dan distribusi sebenarnya terpadu sedemikian rupa, maka kemungkinan perbaikan simultan dalam suatu kehidupan material maupun spiritual menjadi nyata.
B. Pengertian Konsumen
Manusia dalam mempertahankan kehidupannya, ia harus memenuhi kebutuhannya, baik berupa kebutuhan primer maupun sekunder dan lainnya.. Dari kebutuhan dimaksud, maka manusia disebut sebagai konsumen, bahkan semua yang hidup di dunia ini adalah konsumen.
Setiap konsumen membutuhkan makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal (merupakan kebutuhan biologis untuk hidup).di samping itu konsumen juga memiliki kebutuhan akan kesehatan, pendidikan yang tinggi, rasa aman, dan tentram, serta banyak lagi kebutuhan yang lain.

C. Prinsip konsumsi dalam Islam

Konsumsi adalah permintaan; sedangkan produksi adalah penyediaan. Hal ini mengandung arti bahwa pembicaraan mengenai konsumsi adalah primer, dan hanya para ahli ekonomi mempertunjukkan kemampuannya untuk memahami dan menjelaskan prinsip produksi maupun konsumsi sajalah mereka dapat dianggap kompeten untuk mengembangkan hokum-hukum nilai dan distribusi atau hamper setiap cabang lain dari subyek tersebut. Perbedaan antara ilmu ekonomi modern dan ekonomi Islam dalam hal konsumsi terletak pada cara pendekatannya dalam memenuhi kebutuhannya. Orang.yang beragama Islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata-mata dari pola konsumsi modern, melainkan memperhatikan kehalalan yang sesuatu berdasarkan ajaran Islam.
Sikap hemat, membatasi diri kepada barang yang halal, dan prioritas terhadap kebutuhan pokok tidak ditemukan pada konsep utility, melainkan hanya pada konsep maslahah.ini menunjukan bahwa tampaknya sulit mencari titik temu dua konsep tersebut. Karena itu, sulit dipertemukan hal dimaksud, maka tidak mungkin mentransformasikan sifat persepsi konsumsi secara Islami ke dalam konsep utitity.
D. Etika Konsumsi dalam Islam
Menurut islam, anugrah-anugrah allah itu milik semua manusia dan suasana yang menyebabkan sebagaian diantara anugrah-anugrah itu berada diantara Orang-orang tertentu tidak berarti bahwa mereka dapat memanfaatkan anugrah-anugrah itu untuk mereka sendiri; sedangkan orang lain tidak memiliki bagiannya sehingga banyak diantara anugrah-anugrah yang diberikan allah kepada umat manusia itu masih berhak mereka miliki walaupun mereka tidak memperolehnya. Dalam Al-Qur’an Allah SWT mengutuk dan membantalkan argumen yang dikemukakan oleh orang kaya yang kikir karena tidak kesediaan mereka memberikan bagian atau miliknya ini.
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ قَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنُطْعِمُ مَنْ لَوْ يَشَاءُ اللَّهُ أَطْعَمَهُ إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
Terjemahnya:
“Bila dikatakan kepada mereka, “belanjakanlah sebagaian rizki Allah yang diberikannya kepadamu” ,orang-orang kafir itu berkata, “ apakah kami harus memberi makan orang-orang yang jika allah menghendaki akan diberinya makan? Sebenarnya kamu benar-benar tersesat”. (QS.Yaasin: 47)
Setiap orang mu’min berusaha mencari kenikmatan dengan cara mematuhi perintah-perintahnya dan memuaskan dirinya sendiri dengan barang-barang dan anugrah-anugrah yang diciptakan (Allah) untuk umat manusia demi kemaslahatan umat. Konsumsi berlebih-lebihan, yang merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal tuhan, dikutuk dalam islam dan disebut israf (pemborosan) atau tazbir (menghambur-hamburkan harta tanpa guna). Tazbir berarti mempergunakan harta dengan cara yang salah, yakni, menuju menuju tujuan-tujuan yang terlarangseperti penyuapan, hal-hal yang melanggar hukum atau dengan cara yang tanpa aturan. Setiap kategori ini mencakup berapa jenis pengguna harta yang hampir sudah menggejela pada masyarakat yang berorientasi konsumerisme. Pemborosan berarti pengguna harta secara berlebih-lebihan untuk hal-hal yang melanggar hukum dalam hal seperti makanan, pakaian, tempat tinggalatau bahkan sedekah. Ajaran-ajaran islam mengajurkan pola konsumsi dan pengguna harta secara wajar dan berimbang.yakni pola terletak diantara kekikiran dan pemborosan. Konsunsi diatas dan melampui tingkat moderat (wajar) dianggap israf dan tidak disenangi islam .

1.Tauhid (Unity / kesatuan)
Dalam perspektif Islam, kegiatan konsumsi dilakukan dalam rangka beribadah kepada allah SWT, sehingga senantiasa berada dalam hukum hukum allah (syariah).
2. Adil (equilibrium/keadilan)
Islam memperbolehkan manusia untuk menikmati berbagai karunia dalam kehidupan dunia yang disediakan oleh Allah Swt:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Terjemahnya :
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu (Q:S: Al Baqarah: 168)
3. Kehendak bebas
Alam semesta adalah milik Allah Swt, yang memiliki Kemahakuasaan, kedaulatan sepenuhnya dan kesempurnaan atas makhluk-makhluknya. Karema itu manusia diberikan oleh Allah Swt kekuasaan untuk mengambil manfaat sebanyak-banyaknya sesuai dengan kemampuannya.
4. Amanah/Pertanggungjawaban
Manusia adalah khalifah atau pengembang amanah dari Allah Swt. Hal dimaksud, manusia diberi kekuasaan untuk melaksanakan tugas kekhalifaan di muka Bumi ini, dan tentu untuk memakmurkan bumi dengan segala isinya.
5. Halal
Dalam kerangka acuan ajaran Islam, barang-barang yang dapat dikonsumsi adalah barang-barang yang menimbulkan kebaikan, kemaslahatan, baik secara material maupun spiritual.
6. Sederhana
Islam menganjurkan hidup sederhana dan melarang perbuatan yang melampaui batas atau berlebih-lebihan termasuk pemborosan, memanfaatkan harta yang tidak berguna.
E. Mashlahah dalam konsumsi
Mashlahah dalam konsumsi mempunyai ruang sebagai berikut.
1. Kebutuhan dan keinginan
2. Mashlahah dan Kepuasan
3. Maslahah dan Nilai-nilai Ekonomi Islam
4. Penentuan dan Pengukuran Mashlahah bagi Konsumen.
a. Formulasi Mashlahah
b. Pengukuran Mashlahah Konsumen
c. Karakteristik Manfaat dan berkah dalam konsumsi
d. Ketentuan Islam Mengenai Makanan
Ajaran Islam mengenai hal dimaksud, dikendalikan oleh lima prinsip sebagai berikut.
1. prinsip keadilan
2. prinsip kebersihan
3. prinsip kesederhanaan
4. prinsip kemurahan hati
5. prinsip moralitas

Kebutuhan dan keinginan mengenai konsumsi terdapat dalam ayat suci Al Qur`an sebagai berikut.
إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi…..”(Q.S,Al-Baqarah, 2:169)

Dalam soal makanan dan minuman yang terlarang adalah darah,daging binatang yang telah mati sendiri,daging babi,daging binatang yang diserukan nama selain nama Allah dengan maksud dipersembahkan sebagai kurban untuk memuja berhala atau tuhan-tuhan lain dan persembahan bagi orang-orang yang dianggap suci atau siapa pun selain allah.tiga golongan pertama dilarang karena hewan-hewan ini berbahaya bagi tubuh,yang berbahaya bagi tubuh tentu berbahaya pula bagi jiwa.Tercantum dalam kitab suci Al-Qur`an maupun sunnah tentang makanan ialah harus baik atau cocok untuk dimakan,tidak kotor ataupun menjijikan sehingga merusak selera.Karena itu,tidak semua yang diperkenankan boleh dimakan dan diminum dalam semua keadaan.dari semua yang diperbolehkan makan dan minumlah yang bersih dan bermanfaat.Perilaku manusia mengenai makanan dan minuman adalah sikap tidak berlebih-lebihan yang berarti janganlah makan secara berlebihan.

Dalam Al-Qur`an dikatakan:

يَابَنِي ءَادَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

”….makan dan minumlah tetapi jangan berlebih-lebihan;sesungguhnya allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”(Q.S, Al A`raaf,7:31)

selanjutnya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ



“Hai orang-orang yang beriman. janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas….” (Q.S,Al Maidah,5:87)

Arti penting ayat-ayat Al-Qur’an di atas, adalah kenyataan bahwa kurang makan dapat mempengaruhi pembangunan jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut terisi secara berlebih-lebihan tentu akan ada pengaruhnya pada perut. Jadi, dengan mentaati perintah islam tidak ada bahaya maupun dosa ketika makanan dan minuman halal yang disediakan tuhan karena kemurahan hatinya.Selama maksudnya adalah untuk kelangsungan hidup dan kesehatan yang lebih baik dengan tujuan menunaikan perintah tuhan dengan keimanan yang kuat dalam tuntunannya dan perbuatan adil sesuai dengan itu yang menjamin persesuaian bagi semua perintahnya(Q.S,Al Maidah 5:96).
Makanan dan minuman berbahaya sekali seperti minuman yang memabukkan karena itu tidak bisa diminum sekalipun dalam jumlah kecil kecuali kalau digunakan sebagai obat untuk menyelamatkan jiwa.Untuk maksud demikian kitab suci Al Qur`an dengan tegas memperbolehkan penggunaan makanan-makanan terlarang:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

”….tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya),sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas,maka tidak ada dosa baginya….”(Q.S Al Baqarah 2:173).

Semua minuman yang memabukan (minuman keras) juga dilarang. Namun, diakui oleh Al-Qur’an bahwa minuman dimaksud, mempunyai manfaat, kenikmatan atau keuntungan dengan minum-minuman keras dan makanan-makanan terlarang lainnya tetapi hal itu lebih besar kemudharatannya dari manfaatnya (Q.S Al-Baqarah 2:219). Larangan dimaksud, jelas dan menyeluruh (Al Maidah 5:91). Al Qur`an menjelaskan bahwa kegemaran minum-minuman keras cenderung menimbulkan perselisihan dan permusuhan dan bagi mereka yang menyukainya besar kemungkinan akan mengabaikan shalat dan tidak ingat kepada Allah Swt (Q.S. Al Maidah 5: 94).
F. Kebutuhan dan urutan prioritas dalam Islam

Adalah biasa untuk menggolongkan kebutuhan-kebutuhan manusia dalam 3 judul: Keperluan, Kesenangan dan Kemewahan. Hal itu dikemukakan sebagai berikut.
1. “Keperluan”biasanya meliputi semua hal yang diperlukan untuk memenuhi segala kebutuhan yang harus dipenuhi.
2. “Kesenangan”boleh didefinisikan sebagai komoditi yang penggunaannya menambah efisiensi pekerja,akan tetepi tidak seimbang dengan biaya komoditi semacam itu.
3. “Kemewahan”menunjuk kepada komoditi serta jasa yang penggunaannya tidak menambah efisiensi seseorang bahkan mungkin menguranginya. Pakaian, perhiasan, mobil, mebel mahal, gedung-gedung yang menyerupai istana,barisan panjang pembantu-pembantu rumah tangga,kesemuanya itu merupakan kemewahan bagi kebanyakan orang.

G. Perilaku konsumen muslim.
Sesungguhnya islam dalam ajarannya di bidang konsumsi tidak mempersulit jalan hidup seorang konsumen.Jika sesorang mendapatkan penghasilan dan setelah dihitung secara cermat hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga saja,tidak ada keharusan baginya untuk mengeluarkan konsumsi social.orang ini termasuk dalam kategori kelas pendapatan rendah yang pas-pasan.akan tetapi bagi yang pendapatannya lebih banyak dari itu,dan rupanya melebihi dari kebutuhan pokoknya,maka tak ada alas an baginya untuk tidak mengeluarkan konsumsi sosialnya.
Dalam islam perilaku seorang konsumen harus mencerminkan hubungan dirinya dengan Allah Swt. Inilah yang kita tidak dapati dalam ilmu perilaku konsumsi konvesional.
Kemudian yang tidak kita dapati pada kajian perilaku konsumsi dalam perspektif ilmu ekonomi konvesional adalah kehadiran saluran penyeimbang dari saluran kebutuhan individual yang disebut dengan saluran konsumsi sosial.Al Quran mengajarkan umat islam agar menyalurkan sebagian hartanya dalam bentuk zakat,sedekah dan infaq.hal ini menegaskan bahwa umat islam merupakan mata rantai yang kokoh yang saling menguatkan bagi umat islam lainnya.
Perbedaan prilaku konsumen muslim dengan perilaku konsumen konvesional adalah konsumen muslim memiliki keunggulan bahwa mereka dalam memenuhi kebutuhannya tidak sekadar memenuhi kebutuhan individual (materi),tetapi juga memenuhi kebutuhan sosial (spiritual).konsumen muslim ketika mendapatkan penghasilan rutinnya,baik mingguan,bulanan,atau tahunan,ia tidak berpikir pendapatan yang sudah di raihnya itu harus di habiskan untuk dirinya sendiri,tetapi karena kesadarannya bahwa ia hidup untuk mencari ridha allah,sebagian pendapatannya dibelanjakan di jalan allah (fi sabilillah).Dalam islam.perilaku seorang konsumen muslim harus mencerminkan hubungan dirinya dengan allah (hablu mina allah) dan manusia (hablu mina an-nas).konsep inilah yang tidak kita dapati dalam ilmu perilaku konsumen konvesional.
Kebutuhan-kebutuhan di atas merupakan stimulus terciptanya kegiatan ekonomi yang dinamis.Masing-masing konsumen adalah merupakan pribadi yang unik,dimana diantara konsumen yang satu dengan yang lain memiliki kebutuhan yang berbeda juga perilaku yang berbeda dalam memenuhi kebutuhannya.Namun,dari perbedaan-perbedaan yang unik tersebut ada satu persamaan,yakni setiap konsumen akan berusaha untuk memaksimalkan kepuasannya pada saat mengkonsumsi suatu barang ataupun jasa.
H. Amar ma’ruf nahi mungkar”
Ekonomi Islam yang merupakan bagian dari sistem perekonomian Syariah, memiliki karakteristik dan nilai-nilai yang berfokus kepada “amar ma’ruf nahi mungkar” yang berarti mengerjakan yang benar dan meninggalkan yang dilarang. Hal dimaksud, ekonomi syariah dapat dilihat dari 4 (empat) sudut pandang sebagai berikut.
1. Ekonomi Illahiyah (Ke-Tuhan-an)
Ekonomi Ke-Tuhan-an mengandung arti bahwa manusia diciptakan oleh Allah untuk memenuhi perintah-Nya, yakni beribadah, dan dalam mencari kebutuhan hidupnya, manusia harus berdasarkan aturan-aturan (Syariah) dengan tujuan utama untuk mendapatkan Ridho Allah.
2. Ekonomi Akhlaq
Ekonomi akhlaq mengandung arti bahwa kesatuan antara ekonomi dan akhlaq harus berkaitan dengan sektor produksi, distribusi, dan konsumsi. Dengan demikian seorang Muslim tidak bebas mengerjakan apa saja yang diinginkan atau yang menguntungkan tanpa mempedulikan orang lain.
3. Ekonomi Kemanusiaan
Ekonomi kemanusiaan mengandung arti bahwa Allah memberikan predikat “Khalifah” hanya kepada manusia, karena manusia diberi kemampuan dan perasaan yang memungkinkan ia melaksanakan tugasnya. Melalui perannya sebagai “Khalifah” manusia wajib beramal, bekerja keras, berkreasi, dan berinovasi.
4. Ekonomi Keseimbangan
Ekonomi Keseimbangan adalah pandangan Islam terhadap hak individu dan masyarakat diletakkan dalam neraca keseim-bangan yang adil tentang dunia dan akhirat, jiwa dan raga, akal dan hati, perumpamaan dan kenyataan, iman dan kekuasaan. Ekonomi yang moderat tidak menzalimi masyarakat, khususnya kaum lemah sebagaimana yang terjadi pada masyarakat kapitalis. Di samping itu, Islam juga tidak menzalimi hak individu sebagaimana yang dilakukan oleh kaum sosialis, tetapi Islam mengakui hak individu dan masyarakat secara berimbang. Karena itu, dapat dilihat bahwa Sistem Ekonomi Syariah mempunyai konsep yang lengkap dan seimbang dalam segala hal kehidupan, namun penganut ajaran Islam sendiri, seringkali tidak menyadari hal dimaksud. Hal itu terjadi karena masih berpikir dengan kerangka ekonomi kapitalis, karena berabad-abad dijajah oleh bangsa Barat, dan juga bahwa pandangan dari Barat selalu dianggap lebih hebat. Padahal tanpa disadari ternyata di dunia Barat sendiri telah banyak negara mulai mendalami sistem perekonomian yang berbasiskan Syariah.













DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penterjemah Al-Qur’an, Jakarta, 1995
Ali, Zainuddin, Hukum Ekonomi Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008
Amalia, Euis, Modul Teori Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional,
Asy-Syirbini, Muhammad al-Khathîb. Mughni al-Muhtâj., Dar al-Fikr, tt..
Az-Zuhaily, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Damaskus: Dar al-Fikr, 1989
Az-Zuhaily, Muhammad. An-Nazhariyyât al-Fiqhiyyah. Damas-kus: Dar al-Qalam, 1993
Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam:teori dan praktek, Jogyakarta.
Muhammad muflih, M.A. Prilaku konsumen,
Tri kunawangsihpracoyo, Aspek dasar ekonomi mikro,

EKONOMI ISLAM DILIHAT DARI ASPEK FIKIH Ekonomi Syari’ah

I. Pendahuluan
Sepanjang sejarah keilmuan umat Islam, pembahasan mengenai hukum dalam kaitannya dengan berbagai perilaku manusia dikenal dengan istilah fikih (fiqh]. Untuk hal-hal yang terkait dengan hubungan manusia dengan Allah dikenal dengan fiqh al-Ibâdah, sementara hubungan antar manusia dikenal dengan fiqh al-Mu’âmalat. Tetapi fiqh al-Mu’âmalat kemudian dibatasi lagi cakupannya untuk hal-hal yang terkait dengan transaksi ekonomi saja, karena untuk persoalan politik dikenal dengan fiqh as-siyâsah atau fiqh ad-dawlah, persoalan hukum pidana adalah fiqh al-jinâyah dan persoalan keluarga adalah fiqh az-zawâj atau al-ahwâl asy-syakhshiyyah. Sekarang, banyak penulis yang lebih memilih kata ‘Islam’ daripada ‘fiqh’ untuk persoalan-persoalan parsial yang dijadikan bahan kajiannya. Karena itu, kita mengenal istilah ekonomi Islam, bank Islam, asuransi Islam, multi level marketing Islam dan terakhir mata uang Islam. Beberapa penulis memilih kata ‘syari’ah’ untuk menggantikan kata ‘Islam’. Persoalan-persoalan parsial ini, kalau mengikuti disiplin ilmu yang dikembangkan ulama masa lalu, masuk dalam kategori fiqh. Istilah ‘syari’ah’ –kecuali dalam penelusuran dan pendalaman- tidak banyak digunakan oleh mereka, apalagi istilah ‘Islam’. Mereka lebih memilih kata ‘fiqh’ (baca: pemahaman), bahkan mereka sering menyatakan: ini fiqh orang-orang Madinah, fiqh orang-orang Kufah, atau fiqh orang-orang Maghrib. Istilah ‘syari’ah’ lebih luas dari ‘fiqh’ dan istilah ‘Islam’ lebih luas lagi dari syari’ah dan fiqh. Memilih istilah ‘Islam’ atau ‘syari’ah’ untuk persoalan-persoalan parsial yang sebenarnya masuk dalam wilayah ‘fiqh’, adalah pereduksian terhadap ‘Islam’ itu sendiri.
Dari pemilihan istilah ini, sudah bisa diidentifikasi beberapa kelemahan dasar dari pola dan kecenderungan –yang dilakukan oleh beberapa penulis- ‘ekonomi syari’ah’ atau ‘ekonomi Islam’. Seperti idiologisasi ‘ekonomi syari’ah’ sebagai kebenaran tunggal di atas pandangan atau praktek ekonomi di luar dirinya, tidak membuka diri terhadap kritik atas konsep-konsep yang dikembangkan melalui pengujian materiil yang empirik, tidak ada interaksi aktif dengan praktek-praktek ekonomi sejenis yang berada di luar dirinya dan yang paling parah pengembangan yang cukup dilakukan dengan ‘labelisasi’ terhadap temuan-temuan orang lain dengan klaim ‘itu barang kami yang dicuri mereka’. Hampir setiap kritik atas kapabilitas ‘ekonomi syari’ah’ dijawab dengan kritik yang menyerang balik bahwa persoalan tidak terletak pada konsep, karena ini syari’ah, ini Islam, atau ini dari Allah dan Rasul-Nya; persoalan ada pada realitas, pada masyarakat, atau karena Islam tidak dilaksanakan dengan kaffah. Jawaban seperti ini menunjukkan betapa tertutupnya ‘ekonomi syari’ah’ terhadap kritik dan pengujian empirik-materiil, disamping mengindikasikan egosentrisme pandangan yang sebenarnya jauh lebih luas dan lebih beragam.
Tulisan ini bermaksud memberikan masukan kritis terhadap pola penulisan dan penyampaian ‘ekonomi syari’ah’ yang eklektis dan tertutup, yang menurut pendapat saya tidak sejalan dengan karakteristik fikih yang dinamis, plural dan selalu berinteraksi dengan realitas yang berkembang. Fikih yang saya kenal, memiliki ragam pandangan dan pendapat karena interaksinya dengan realitasnya masing-masing, dan akan selalu banyak menimba dari realitas-realitas yang terus bermunculan dalam sejarah manusia. Dalam interaksi ini, dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip Qur’an dan Hadits, ia mencari formula yang paling tepat yang bisa mendatangkan maslahat langsung (maqâshid asy-syari’ah) kepada masyarakat, dengan tetap menyatakannya sebagai fikih, atau pemahaman, yang dinamis dan terbuka, bukan suatu ‘Islam’ yang final dan tertutup. Interaksi ini tentu harus didasarkan pada prinsip-prinsip utama yang mengikat fikih untuk tetap berjalan pada tujuan mulia syari’ah tersebut.
Memang cukup sulit untuk mengarahkan kritik terhadap tulisan-tulisan ‘Ekonomi Syari’ah’, karena ia juga beragam dan memiliki perbedaan pandangan yang juga cukup tajam, tetapi setidaknya seperti yang dinyatakan oleh Mohamed Aslam Haneef ada pandangan mainstreem dalam disiplin ini. Yaitu pandangan yang menyatakan bahwa Ekonomi Syari’ah adalah sesuatu yang sangat berbeda dari ekonomi konvensional, bersumber dari al-Qur’an dan Hadits, memiliki konsep tersendiri dan orisinil dalam hal kepemilikan, kebijakan fiskal, moneter, perbankan, transaksi perekonomian, pola produksi, konsumsi dan distribusi, bahkan memiliki mata uang sendiri yaitu dinar emas dan dirham perak Islami. Ada karakter umum dalam setiap penulisan mengenai topik-topik ini, yaitu idiologisasi dan egosentrisme bahwa hanya pandangannya yang benar, orisinal, Islami dan menjadi alternatif satu-satunya bagi masyarakat muslim, bahkan bagi kemanusiaan.
Misalnya tulisan-tulisan ‘Ekonomi Syari’ah’ mengenai dinar emas dan dirham perak. Mata uang ini diyakini sebagai mata uang yang Islami, telah memperoleh legitimasi dari Rasulullah dan seluruh khalifah sepanjang zaman, wajib diikuti oleh seluruh muslim, harus ditegakkan oleh pemerintahan yang mengaku Islami, memiliki kekuatan nilai yang stabil, bisa menjadi alat tukar dan simpan harta, dan yang paling penting adalah dipastikan bisa menjadi solusi moneter satu-satunya agar terhindar dari krisis dan inflasi[1]. Ini berbeda jauh dengan yang dinyatakan oleh Syekh Ibn Taymiyyah, atau lengkapnya Sykeh Ahmad ‘Abd al-Halim bin Taymiyyah al-Hurrani (661-728 H) dalam kitab Kutub wa Rasa’il wa Fatâwa Ibn Taymiyyah, yang diedit oleh ‘Abdurrahman Muhammad al-‘Ashimi. Beliau menyatakan:
“Satu Uqiyyah dalam bahasa Nabi adalah 40 dirham, tetapi beliau tidak memberikan batasan secara definitf terhadap dirham maupun dinar. Beliau juga tidak mencetak mata uang dirham, tidak juga dicetak di negeri beliau. Baik dirham maupun dinar didatangkan dari luar, dicetak orang-orang kafir. Ada yang berukuran besar dan ada yang kecil. Pada saat itu, masyarakat menggunakannya terkadang dengan satuan jumlah (‘adad), terkadang satuan berat (wazn). Seperti yang dikatakan: “Timbanglah dan lebihkan, sebaik-baik orang adalah yang paling baik dalam pembayaran”. Saat itu, ada yang berprofesi ‘penimbang’ dengan upah. Tentu, ini memerlukan alat timbangan khusus (shanjah) yang pasti mereka miliki. Tetapi untuk ukuran maupun bentuk alat ini, Nabi tidak memberikan batasan dan ketentuan. Dikatakan bahwa dirham saat itu ada tiga jenis; yang 8 daniq, 6 dan 4 daniq. Sekalipun demikian, Nabi membiarkan lafal dirham dan dinar tidak definitif (mutlaq), sama sekali tidak menentukan atau memberikan batasan. Masyarakat harus dibiarkan sesuai dengan kebiasaan masing-masing dalam hal mata uang dirham, sekalipun berbeda berat dan ukurannya dari apa yang ada pada masa Nabi. Karena dirham yang terkait dengan hukum syara’ itu tidak definitif, tanpa batasan dan pengertian, sama dengan lafal masjid, rumah, kamar, kota dan lafal desa, yang tentu budaya dan tradisi orang berbeda-beda; kecil dan besarnya, dan hukum syari’ah menyentuh semua perbedaan ini. Masyarakat dalam hal ukuran satuan dirham dan dinar dikembalikan pada kebiasaan masing-masing, apa yang mereka sepakati sebagai dirham maka itulah dirham, dan apa yang mereka sepakati sebagai dinar juga demikian”. (al-‘Ashimi, 1398H: 19/248-249)
Nilai sebuah benda dalam fikih adalah merupakan ‘kebenaran yang dibiasakan’(haqiqah ‘urfiyyah) bukan kebenaran dari syari’at (haqiqah syar’iyyah). Termasuk dalam hal ini apa yang paling layak, bernilai dan stabil untuk dijadikan mata uang oleh masyarakat muslim. Mata uang merupakan hasil kesepakatan dalam perekonomian, yang diciptakan untuk tujuan melancarkan kegiatan tukar menukar dan perdagangan. Mereka dengan sendirinya akan mencari benda-benda yang bisa efektif melakukan fungsi-fungsi; alat tukar, alat penyimpan nilai dan alat pengukur bayaran tertunda, yang aman, stabil dan tidak mudah dipalsukan. Apapun yang diputuskan dari kesepakatan ini adalah sah dan Islami, selama dalam penggunaannya tidak merusak prinsip-prinsip; kerelaan, keterbukaan dan saling menguntungkan. Syari’at tidak berkepentingan untuk memastikan jenis mata uang. Karena ia memiliki logika dan realitasnya sendiri, seperti kemungkinan untuk mengalami inflasi sehingga sebagai mata uang ia ditinggalkan masyarakat.
Nilai emas dan perak adalah bukan sesuatu yang abadi, karena walau bagaimanapun ia adalah ‘kebenaran yang dibiasakan’ (haqîqah ‘urfiyyah). Fikih sendiri tidak memastikan ada benda yang selamanya memiliki niali yang kuat dan stabil. Baik emas maupun perak, dalam catatan buku-buku fikih klasik, juga mengalami inflasi. Dalam dunia kontemporer, seperti yang diberitakan oleh BAPPEBTI (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi-CIDES), emas sering mengalami fluktuasi, gonjang-ganjing dan inflasi yang bisa terjadi karena persoalan politik, peperangan, penemuan emas, kebutuhan yang meningkat dan ketersediaan dalam suatu negara yang berlebihan. Syekh al-Qaradhawi juga menyatakan bahwa perak telah mengalami inflasi besar-besaran, karena itu ia telah ditinggalkan oleh ulama fikih kontemporer sebagai rujukan penilaian ‘batas minimal kekayaan’ (nishâb) dalam zakat. Pada masa Nabi, masa-masa awal Islam dan beberapa abad setelahnya, perak selalu menjadi rujukan penghitungan zakat. Tetapi kemudian nilai perak mengalami penurunan yang cukup berarti. Pada saat itu, Syekh Abu Zahrah menyerukan untuk meninggalkan penghitungan zakat dengan rujukan perak, yang kemudian diikuti oleh mayoritas ulama kontemporer. Padahal sebelumnya, perujukan kepada dirham perak sempat diyakini sebagai sesuatu yang disepakati oleh ulama fikih (ijmâ’). Inflasi yang terjadi pada dirham perak ini, sangat mungkin juga terjadi pada dinar emas, karena nilai kedua benda ini tergantung pada kekuatannya yang diciptakan oleh masyarakat sendiri[2].
Fikih tentu saja berbicara mengenai mata uang, nilai tukar, alat transaksi, inflasi uang dan barang dan hal-hal lain. Tetapi semua pembicaraan adalah pemahaman terhadap teks dan realitas, yang tentu akan beragam dan berbeda dari satu masa ke masa lain, dan dari satu orang ke orang yang lain.
II. Metodologi Fikih
Fikih secara sederhana merupakan pemahaman[3]. Pemahaman seorang mujtahid terhadap teks-teks agama (Al-Qur’an dan Hadits) dalam interaksinya dengan realitas-realitas yang berkembang. Pemahaman ini diperlukan sebelum muatan teks tersebut dilaksanakan. Tujuannya, untuk mempertegas kesesuaian antara maksud yang diinginkan oleh sang ‘Pembicara’ teks (al-mutakallim), makna menurut sang penerima teks (al-mutalaqqî) dan konstruksi bahasa yang digunakannya (al-uslûb al-lughawî). Karena itu, Ibn al-Qayyim (w. 751H) menyatakan: “Fikih itu lebih dalam dari sekedar pemahaman terhadap makna, ia pemahaman terhadap keinginan sang ‘Pembicara’ dari susunan kalimatnya. Ini tentu memiliki kadar yang lebih dari sekedar konstruksi lafal dalam ilmu bahasa. Perbedaan manusia dalam mencerna hal ini, akan mengakibatkan perbedaan mereka dalam hal fikih dan pemahaman terhadap agama”[4].
Karena itu, sekalipun ulama sepakat bahwa rujukan utama fikih adalah teks-teks, tetapi dalam tataran nalar kognitif (ijtihâd istinbâthi) dan nalar implementatif (ijtihâd tathbîqiy) mereka berbeda pendapat. Perbedaan ini secara jujur diakui oleh mereka, sehingga klaim kebenaran tidak mendominasi perdebatan-perdebatan yang terjadi di antara mereka.[5] Dari perbedaan-perbedaan mereka ini bisa dikatakan fikih adalah pilihan pandangan-pandangan, yang dalam satu persoalan bisa terjadi kontradiksi antara satu pandangan dengan pandangan yang lain. Kontradiksi ini tentu saja tidak terjadi pada (substansi) teks,[6] tetapi pada pemahaman-pemahaman terhadap teks, yang bisa karena literal teks dan bisa ini yang terbanyak karena perbedaan kondisi realitas-realitas, baik yang melatari teks, maupun yang mengitari pembaca teks itu sendiri.
Dalam persoalan ibadah, yang dalam fiqh dianggap sesuatu yang harus diterima apa adanya [tawaqquf], tidak perlu dirasionalisasikan [ghair ma’qûl al-ma’na], semestinya tidak diperdebatkan apalagi diperselisihkan, tetapi ulama berbeda pendapat bahkan bisa sangat tajam. Karena setelah al-Qur’an selesai turun dan Nabi Muhammad SAW wafat, semua itu hanya berkisar pada fiqh, atau pemahaman, yang memiliki keterbatasan-keterbatasan, baik pada realitas pembaca, masyarakat maupun teks itu sendiri. Mazhab Hanafi misalnya menyatakan bahwa wudhu itu hanyalah media untuk ibadah, sehingga bisa sah dengan cara bagaimana saja asal seluruh anggota wudhu itu terkena air. Tetapi mazhab Syafi’i menganggap wuhlu itu ibadah sendiri, sehingga harus dilakukan persis seperti yang dilakukan Nabi; berkumur, istinsyaq, membasuh muka dan seterusnya.
Para ulama sepakat bahwa shalat wajib itu lima dengan jumlah raka’at yang telah ditentukan, tetapi pada prakteknya terjadi banyak perbedaan; mengenai meletakkan tangan ketika berdiri shalat, membaca doa iftitah, membaca basmalah, membaca surat al-Fatihah, menertibkan surat-surat al-Qur’an, batasan ruku’, batasan berdiri setelah ruku’, anggota badan yang harus ikut sujud, meletakkan kening di atas tanah, bacaan tasyahhud, menggerakkan telunjuk ketika tasyahhud, dan lain-lain. Begitupun tentang puasa, zakat dan haji. Apapun yang dikatakan oleh mazhab atau ulama manapun, yang paling lantang membawa panji ‘kembali kepada al-Qur’an dan Hadis’ sekalipun, ia adalah fiqh, pemahaman. Karena bukan al-Qur’an sendiri yang berbicara kepada kita, atau Nabi Muhammad SAW yang menyatakan langsung kepada kita, tetapi mereka membaca al-Qur’an dan Hadits kemudian menceritakan bacaan mereka kepada kita Inilah fikih. Dan sejauh perbedaan orang dalam memahami teks al-Qur’an dan Hadits, seperti yang dinyatakan Ibn al-Qayyim- sebanyak itulah perbedaan fikih.
Tentu saja untuk tema-tema yang terkait dengan persoalan kemasyarakatan (fiqh al-mu’âmalat) akan lebih terbuka kepada perdebatan dan perbedaan. Pertama, karena teks yang ada tidak lebih banyak dari teks yang terkait dengan fikih ibadah. Kedua, karena ia selalu bersentuhan dengan realitas kemanusiaan yang selalu berkembang dan jauh lebih kompleks daripada persoalan ibadah. Fikih mu’amalat banyak bergumul bersama realitas[7], yang dari pergumulan ini lahir berbagai pandangan yang bisa menjadi alternatif di kemudian hari, sekaligus menandakan fleksibilitas fikih sehingga tidak hanya terhenti pada pandangan masa sebelumnya semata. Setiap generasi dituntut untuk melahirkan gagasan dan pandangan yang sesuai dan bisa menyelesaika persoalan zamannya.
Misalnya, ulama berselisih pendapat tentang jenis produksi ekonomi apa yang paling dianjurkan oleh Islam; bercocok tanam (falâhah), perdagangan (tijârah), atau produksi barang (shun’ah). Kebanyakan ulama menyatakan yang pertama, dengan alasan pertanian langsung dikerjakan oleh tangan (sesuai hadis), berhubungan dengan hajat orang banyak dan mengandalkan keyakinan kepada Allah. Beberapa ulama ada yang memilih kedua dan ada yang ketiga. Tetapi Ibn Hajar al-‘Asqallani (w. 852H) mengajukan, bahwa pekerjaan untuk memperoleh pertambahan ekonomi (makâsib) yang paling baik dan paling mulia adalah dengan jalan berperang merebut harta dari orang-orang kafir[8]. Tentu saja, ini warisan dari kondisi sosial masa lalu yang tidak bisa diterapkan begitu saja. Kita tidak bisa mengambil satu atau dua pandangan untuk dinyatakan ini atau itu yang paling sah dan harus diterapkan pada masa sekarang. Pemilihan atau pemilahan tidak bisa didasarkan pada argumentasi literal dan tekstual semata, bahkan mungkin sudah tidak bisa digunakan lagi, karena sudah selesai dan sudah menghasilkan beberapa pandangan tertentu yang tertulis dalam literatur klasik. Kita harus menangkap lebih jauh terhadap latar belakang dan kondisi sosial yang melatari kelahiran pandangan-pandangan tersebut. Begitu pula pandangan-pandangan fikih ekonomi yang lain.
Ulama juga berbeda pendapat apakah tanah pertanian boleh disewakan dengan uang (ijârah); disewa mengikuti bagi hasil panen (mukhâbarah dan muzâra’ah); atau tidak boleh keduanya[9]. Apakah tiga hal yang harus dimiliki bersama (sosial/musyâ’) oleh umat Islam –yaitu air, rumput dan api/gas adalah hanya terbatas pada tiga hal ini atau terhadap seluruh benda yang menguasai hidup orang banyak, atau tergantung keputusan imam/pemerintah termasuk untuk menguasai secara pribadi terhadap tiga hal tersebut[10]. Apakah kesejahteraan sosial hanya dibebankan melalui kewajiban zakat saja, atau ada kewajiban lain selain zakat. Apakah zakat hanya dilaksanakan terhadap harta benda yang telah ditetapkan saja, atau terhadap segala harta benda yang memiliki nilai kekayaan, apa dan bagaimana ukurannya. Apakah zakat merupakan kewajiban individu saja, atau melalui pemimpin agama, atau pemimpin pemerintah.
Apakah pemerintah punya wewenang menentukan harga suatu barang, pembagian dan pemanfaatan sumber daya alam terhadap penduduk, memungut retribusi dari aktifitas ekonomi mereka, dan persoalan-persoalan besar lain yang tentu perbedaan cara pandang, kondisi dan realitas akan melahirkan berbagai pandangan yang berbeda satu dengan yang lain.
Termasuk untuk hal-hal yang terkesan memperoleh pandangan ‘bulat’ dalam kajian-kajian ‘ekonomi syari’ah’, di dalam fikih terjadi perbedaan dan perebatan. Apakah istishnâ’ (pesan buat) diperkenankan; apa dan bagaimana modelnya, begitu pula al-bai’ bi ats-tsaman al-âjil, al-wadî’ah, at-ta’mîn, al-bai’ bi at-taqsîth, al-intifâ’ bi al-‘ain al-marhûnah dan yang lain, bahkan tentang al-mudharabah dan al-murâbahah. Ulama memang sepakat bahwa riba itu haram, tetapi apakah riba itu, apa saja harta benda yang bisa dikatakan riba, apakah riba bisa terjadi juga pada mata uang selain emas dan perak, apakah riba bisa terjadi juga antara orang Islam dan orang kafir, antara orang tua dan anak, suami dan isteri, pemerintah dan rakyat.
Pandangan-pandangan ini sepanjang sejarah peradaban Islam adalah kekayaan tersendiri yang harus diapresiasi dan dijadikan rujukan awal dalam menyusun kembali pandangan yang tepat bagi kondisi kita sekarang. Tetapi tentu saja tidak bisa satu atau dua pandangan diambil begitu saja, atau dipilah-pilah sesuai kehendak kita, untuk kemudian diterapkan dalam masyarakat kita apalagi lalu diklaim satu-satunya yang islami. Karena setiap pandangan yang muncul adalah refleksi dari kondisi dan realitas yang ada. Pada saat yang sama, keragaman pandangan mereka menunjukkan intensitas fikih mereka melakukan interaksi dengan realitas yang berkembang[11]. Untuk itu, saat ini interaksi dengan realitas kontemporer harus dilakukan secara intens terlebih dahulu untuk menyusun penyelesaian ekonomi seperti apa yang diperlukan dan dibenarkan oleh syari’at[12]. Tentu saja, upaya ini akan memunculkan keragaman dan perbedaan. Inilah fikih seperti yang ulama terdahulu lakukan, inilah fikih Islam yang saya kenal, yang kaya, dinamis, terbuka dan plural.
Kita mewarisi ragam pandangan dan perbedaan dalam persoalan-persoalan fikih. Berbagai pandangan dalam suatu persoalan tentu adalah kekayaan, tetapi tidak bisa diambil begitu saja tanpa metodologi yang jelas. Jika tidak, kita akan terjebak pada eklektisisme yang tidak bertanggung jawab (at-talfiq). Kita, oleh al-Qur’an tidak diperkenankan untuk mengambil, mencontoh, atau meniru pengalaman masa lalu apa adanya[13]. Karena itu, pandangan-pandangan tersebut harus diletakkan sebagai contoh-contoh bagaimana teks-teks didialogkan dengan berbagai realitas yang beragam dan terus berkembang. Sehingga, ia harus tetap diletakkan pada bingkai realitasnya di mana ia lahir dan berkembang. Argumentasi tekstual dan literal sudah dilakukan oleh mereka yang terdahulu, sehingga pemilahan tidak lagi hanya didasarkan pada argumentasi ini. Pandangan-pandangan mereka harus dilihat sebagai contoh-contoh dan pengalaman-pengalaman, yang ketika ingin dirujuk harus berikut latar realitasnya, sehingga substansi persoalan bisa ditemukan dan diterapkan pada realitas yang lain. Substansi ini yang selamanya harus disesuaikan dengan cita sosial Islam, yang terangkum dalam apa yang disebut dengan tujuan-tujuan syari’ah [al-maqâshid asy-syar’iyyah][14]. Kita hanya terikat dengan mereka, dengan substansi syari’ah yang telah disusun oleh mereka dalam prinsip-prinsip fakultatif (al-mabadi al-kulliyah) dan prinsip-prinsip implementatif (al-qawa’id al-‘ammah) dari syari’ah. Selebihnya adalah contoh-contoh, pengalaman dan pandangan (shuwar tathbîqiyyah) yang sesuai dengan zaman dan kondisinya, untuk zaman dan kondisi lain bisa sesuai, tetapi bisa juga tidak.
Ketika Nabi Muhammad SAW menolak sama sekali untuk menentukan/menyesuaikan harga barang-barang pasar di Madinah yang cukup melambung[15], sementara di kalangan ulama ada berbagai pandangan; mayoritas ulama terutama dari mazhab Zhahiri, beberapa ulama Syafi’i, Hanbali dan Maliki, termasuk Syawkani mengharamkan secara mutlak intervensi pemerintah terhadap harga barang di pasar, ulama Hanafiah menyatakan makrûh tahrim[16], sementara beberapa ulama Mu’tazilah, beberapa dari Hanafiah, Imam Ibn Taymiyyah dan Ibn al-Qayyim menyatakan bahwa intervensi pemerintah terhadap pasar bisa dibenarkan ketika dilakukan untuk melawan para spekulan harga (muqawamât al-ihtikâr), maupun untuk menstabilkan harga pasar. Bahkan sebagian ulama, ada yang menyatakan bahwa peran pemerintah bisa menjadi wajib untuk keadilan ekonomi masyarakat.
Semua pandangan tersebut di atas, mulai dari Nabi Muhammad SAW sampai pendapat Ibn al-Qayyim adalah contoh-contoh interaksi dengan realitas masing-masing. Ia menjadi rujukan, tetapi tidak bisa diambil dan diterapkan begitu saja, sehingga kita lalu menyatakan intervensi pemerintah adalah haram seperti kata mayoritas ulama, atau makruh tahrim seperti kata Hanafiah, atau bisa wajib seperti kata Ibn al-Qayyim. Semua pandangan harus dikembalikan pada latar realitasnya, lalu memahaminya melalui substansi persoalan seperti yang diisyaratkan oleh Nabi dalam kaitannya dengan intervensi harga, yaitu menghindari kezaliman (al-mazhlamah), yang persis merupakan cita sosial Islam/kemanusiaan.
Cita sosial ini (al-maslahah) pada akhirnya adalah merupakan prinsip dasar fikih dalam interaksinya dengan realitas, sehingga ia tidak terjebak dalam pragmatisme atau positivisme,[17] yang bisa menghalalkan segala hal yang terjadi dan berlaku pada aras realitas. Cita dasar ini penting ditekankan karena dari landasan keadilan dan kemaslahatan itulah hukum-hukum syari’at dibangun dan diletakkan dalam bingkai kehidupan.[18] Interaksi fikih dengan realitas, dengan sendirinya meniscayakan rekonstruksi fikih (baca: kontekstualisasi) secara sungguh-sungguh. Jika tidak, fikih dikhawatirkan akan menjadi bagian dari sejarah peradaban di masa lalu, yang tidak lagi hidup (baca: menjadi hukum positif) dalam realitas umatnya sendiri. Dalam upaya rekonstruksi ini, fikih ekonomi harus menjadi inter-disiplin yang mengakomodasi semua ilmu pengetahuan sosial untuk menyusun konsep perekonomian yang menjamin kesejahteraan dan keadilan ekonomi masyarakat, sesuai dengan prinsip-prinsip Qur’an dan Hadits[19].
Dengan demikian, kita tetap menghormati dan berpegang pada tradisi (turâts) tetapi tidak mengambilnya secara membabi buta, kita memilah akar persoalannya dan memilih substansi masalahnya untuk mengemasnya kembali sesuai dengan realitas persoalan kontemporer yang kita hadapi. Orisinilitas (al-ashâlah) berarti meniscayakan keterkaitan dengan akar masa lalu di satu pihak, dan di lain pihak harus selalu dinamis dengan persoalan kontemporer (al-mu’âsharah), hidup bersama, berinteraksi dan mendatangkan manfaat kepada kehidupan sekarang dan berikutnya. Fikih ekonomi berangkat dari akar-akar orisinilitas khazanah (turâts) masa lalu, ia berinteraksi dengan persoalan-persoalan kontemporer dan membuka diri terhadap semua masukan dari peradaban lain dengan penuh kesadaran dan kewaspadaan, untuk membangun konsep perekonomian yang menjamin kesejahteraan masyarakat dunia. Sebagai konsep dan praktek ekonomi, ia harus terbuka untuk dikritik dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan diuji secara empirik-materiil, untuk menemukan kesejatian dan orisinalitas konsep perekonomian yang ditawarkan kepada kemanusiaan.
Metode ini dengan sendirinya akan melahirkan berbagai pandangan, pendapat dan pengalaman yang beragam. Semua keragaman ini adalah fikih seperti yang dulu dikenalkan oleh para ulama, yang semua sebagai kajian akademik harus dihormati dan diapresiasi. Pada prakteknya nanti akan memerlukan pilihan dari berbagai pandangan, pilihan ini semestinya didasarkan pada ujian empirik-materiil yang memberikan manfaat dan maslahat langsung pada kehidupan masyarakat, seperti yang dinyatakan oleh al-Ghazali dan Ibn al-Qayyim al-Jawzi.
III. Konsep Mudharabah
Mudharabah, seperti dikatakan oleh Ibn Hazm al-Zhâhirî (Ali bin Ahmad w.456H/1064M) tidak terdapat dalam al-Qur’an maupun Hadits Nabi SAW, tetapi banyak ulama yang meyakini bahwa praktek mudharabah sudah terjadi sejak awal dan dilakukan oleh beberapa sahabat[20]. Al-Mawardi (‘Ali bin Muhammad bin Habib, 364-540H/974-1058M), salah seorang ulama mazhab Syafi’i, mempercayai bahwa kontrak bekerja antara Khadijah ra dan Nabi Muhammad SAW dalam perjalanan dagang beliau ke Syria adalah kontrak mudharabah, karena itu mudharabah diperkenankan dalam syari’at Islam[21]. Sebelumnya, Ibn Ishâq (w.153H) penulis sîrah pertama, juga menyatakan bahwa Khadijah ra biasa mempekerjakan laki-laki untuk perdagangannya dengan kontrak mudharabah. Tetapi Nabi Muhammad SAW ditawari kontrak sebagai pekerja yang dibayar lebih besar dari kebiasaan, untuk membawa dan menjual barang dagangan ke Syria, lalu membeli beberapa barang dari Syria ke Mekkah[22]. Praktek Nabi seperti ini, tentu saja bukan praktek mudharabah seperti yang diilustrasikan oleh fiqh.
Tidak ada satu catatanpun yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW atau sahabat pada masa Nabi hidup- telah melakukan kontrak mudharabah, baik di Mekkah maupun di Madinah. Semua hadits yang menyebutkan hal tersebut, menurut para pakar hadits, adalah tidak dapat dipertanggungjawabkan dan lemah untuk menjadi dasar argumentasi[23]. Hal in secara tegas dinyatakan oleh Ibn Hazm, seseorang yang paling tekstualis dalam fikih, tetapi hampir kebanyakan ulama percaya bahwa praktek mudharabah sudah terjadi dan dilakukan di semenanjung Arabia pada pra-Islam, dan tidak ada larangan terhadap kontrak tersebut, baik dari al-Qur’an maupun Hadits. Dengan alasan ini, mereka berpendapat bahwa kontrak mudharabah adalah boleh.
Ada satu catatan tentang dialog antara Khalifah Umar bin Khattab ra dan kedua anaknya mengenai praktek mudharabah. Catatan ini selalu menjadi dasar hukum paling populer untuk mudharabah. Dikisahkan bahwa kedua anak Umar bin Khattab ra; Abdullah dan Ubaidillah ra ikut keluar dalam rombongan tentara ke Irak. Ketika mereka hendak pulang ke Madinah, mereka bertemu dengan Abu Musa al-Asy’ari ra; Gubernur Kufah untuk Umar, mereka disambut dengan baik. Sang Gubernur berkata: “Aku ingin berbuat baik untuk kalian berdua; di tanganku ada sebagain harta Allah yang ingin kukirim ke Khalifah, aku bisa menghutangkan kepada kalian berdua; kalian bisa membelikannya barang dagangan dari Irak, kemudian kalian jual sesampai di Madinah. Kalian nanti kembalikan seluruh modalnya utuh kepada Khalifah dan kalian bisa mengambil untungnya”. Mereka menjawab: “Ya, kami terima”. Kemudian sang Gubernur menulis surat bahwa ada uang negara yang nanti bisa diambil dari mereka berdua. Ketika mereka tiba di Madinah, mereka menjual barang dagangan yang mereka bawa dari Irak dan memperoleh untung. Umar bertanya: “Apakah tentara lain juga diberi hutang? “Tidak”, jawab mereka. “Ini pasti karena kalian putra Khalifah, kembalikan semua harta; modal dan untungnya”. Abdullah terdiam, sementara Ubaidillah berkata: “Wahai Amir al-Mu’minin, bukankah kalau merugi, kami harus menanggung”. Umar tetap bersikeras: “Kembalikan semua”. Abdullah hanya bisa terdiam, sementara Ubaidillah tetap menyatakan hal sama dengan harapan bisa diterima oleh Khalifah. Ada salah seorang yang hadir menyarankan: “Wahai Amir al-Mu’minin, lebih baik kalau dijadikan kontrak qiradh (mudharabah; untuk mereka berdua separoh dari untung penjualan dan untuk bait al-mal separohnya lagi)”. Umar menerima tawaran ini, ia mengambil modal dan laba penjualan dibagi menjadi dua; satu untuk bait al-mal dan satu lagi untuk Abdullah dan Ubaidillah.
Beberapa hal yang mungkin bisa disimpulkan dari kisah ini adalah; pertama bahwa kontrak hutang bisa berubah menjadi kontrak mudharabah ketika salah seorang pemilik/penanggung jawab harta menginginkannya, kedua bahwa kontrak mudharabah adalah pilihan untuk menyelesaikan konflik dari dua pendapat yang satu menyatakan laba milik modal sementara yang lain menyatakan laba milik pekerja, ketiga dari pernyataan Ubaidillah tersebut bahwa harta yang dikelola pekerja dalam kontrak mudharabah adalah harta tanggungan (yad adh-dhamân), yang jika merugi ia harus menggantikannya, bukan harta amanat (yad al-amanah) yang jika merugi ia tidak dimintai pertanggung jawaban. Semua ini berbeda dengan apa yang disepakati ulama fikih, dan berbeda lagi dari apa yang dipraktekkan dalam ekonomi syari’ah.
Al-Khathib Asy-Syirbini (Muhammad bin Ahmad, w.977H/1570H) dari mazhab Syafi’i menyatakan, bahwa mudharabah itu diperkenankan untuk memenuhi kebutuhan manusia, sama persis seperti kontrak musâqah, yang satu punya uang atau tanaman kurma tetapi tidak bisa mengelolanya, sementara yang lain tidak memiliki keduanya tetapi bisa mengelolanya[24]. Kedua orang tersebut bisa dipertemukan untuk sama-sama memperoleh manfaat, dengan kontrak mudhârabah atau musâqah. Dalam bahasa mazhab Hanafi, mudharabah itu dibolehkan karena sebuah kebutuhan (istihsân), yang pada awalnya tidak diperkenankan karena menyalahi logika umum syari’at tentang harta pokok/utama. Harta pokok seperti uang dirham, tidak boleh disewakan atau diperjualbelikan, ia hanya boleh dikelola sendiri, atau dihutangkan kepada orang lain untuk dikelola. Mudharabah, mirip dengan penyewaan uang, yang semestinya tidak diperkenankan, tetapi diperbolehkan karena kebutuhan masyarakat [istihsân][25]. Sementara dalam pernyataan Ibn Hazm:
“Hampir seluruh persoalan fikih itu ada dasarnya, kecuali mudharabah, hanya saja ulama sepakat memperkenankannya, kalau saja tidak ada kesepakatan ini, niscaya ia haram hukumnya”[26]. Pernyataan-pernyataan ini mengisyaratkan bahwa mudharabah adalah persoalan interaksi fikih dengan realitas dengan bahasa keringanan, keperluan, kebutuhan dan kesepakatan, atau mengambil dari kebiasaan pra-Islam, bukan persoalan wahyu yang sudah jelas, tuntutan Islam, atau anjuran agama. Fikih hanya menggunakan kata boleh, halal, atau bisa dibenarkan oleh syara’.
Dalam detail persoalannya, ulama berbeda pendapat mengenai mudharabah. Misalnya, mudharabah bagi mazhab Syafi’i hanya diperbolehkan bagi perniagaan yang mengandung pemindahan (perjalanan) barang dari suatu tempat ke tempat yang lain. Karena mudharabah itu suatu pengecualian (rukhshah) yang harus mengikuti seperti yang diperkenankan pada awalnya. Pada masa awal Islam, mudharabah hanya untuk perniagaan, maka ia harus seperti itu, dan tidak bisa diperluas untuk perindustrian, pembuatan kerajinan, apalagi untuk pengolahan tanah pertanian. Sementara mazhab lain, seperti Hanafi memperkenankan mudharabah untuk perniagaan dan perindustrian, karena pada prinsipnya mudharabah adalah pengelolaan uang untuk memperoleh keuntungan. Menurut Abu Hanîfah (Nu’mân bin Tsâbit w. 150H/767M), Abu Yusuf (Ya’qub bin Ibrahim, 113-182H/731-798M) dan Imam Malik (w. 179H/795M), modal pada mudharabah tidak boleh kecuali berupa dinar emas dan dirham perak murni, tidak boleh berupa uang kertas karena ia tidak memiliki nilai pada dirinya (intrinsik), yang memungkinkan terjadinya inflasi spekulatif. Modal juga menurut mayoritas ulama, tidak boleh berupa barang dagangan. Pelarangan-pelarangan ini biasanya dengan alasan; karena mudharabah adalah keringanan, sehingga harus seperti apa adanya, tidak diperluas.
Mudharabah menurut mayoritas ulama fikih, seperti yang dijelaskan oleh Wahbah az-Zuhaili, adalah kontrak kerja sama antara dua pihak, yang satu memiliki dan menyerahkan modal sementara yang lain mengelolanya (untuk perniagaan), dengan ketentuan laba dibagi sesuai kesepakatan kedua pihak. Hanya laba yang dibagi di antara kedua pihak, sementara kerugian hanya ditanggung oleh pemilik modal. Sehingga mudharabah dalam penjelasan ini, hanya ‘bagi hasil’ tidak ‘bagi rugi’, jadi bukan lost and profit sharing, tetapi profit sharing only. Pihak ketiga, dalam hal yang tidak termasuk pemilik modal, apalagi pekerja, ia tidak berhak ikut terlibat dalam penentuan syarat-syarat, apalagi pembagian hasil[27].
Berarti, mudharabah hanyalah kebiasaan para saudagar Arab sebelum Islam, yang didiamkan Nabi, sempat diprotes oleh Umar, diperbolehkan oleh mayoritas ulama, dianggap suatu keriangan (rukhshah) yang memudahkan urusan perekonomian masyarakat, kemudian dalam pemikiran ‘ekonomi syari’ah’ yang mainstream menjadi sesuatu yang teramat penting, bahkan pondasi utama jasa perbankan Islam, di samping jasa-jasa lain yang berkaitan dengan pembiayaan. Pada prakteknya, mudharabah baik di tangan para ulama fikih, maupun para pakar dan pelaku ‘ekonomi syari’ah’ merupakan konsep yang lahir dari interaksi dengan realitas yang berkembang pada masanya masing-masing. Dalam konsep yang dikembangkan ‘ekonomi syari’ah’, mudharabah telah mengalami perkembangan yang cukup jauh, yang kalau menggunakan ‘logika literal-tekstual’ masa lalu bisa diharamkan atau dilarang. Mudharabah dalam konsep ini, telah menjadi kontrak segi tiga, antara bank, pemilik modal dan pengusaha. Bahkan sering bank berdiri sebagai pihak pemiliki modal (rabb al-mâl) ketika berhadapan dengan pengusaha atau pelaksana proyek [mudhârib], pada saat yang sama sebagai pengusaha (mudhârib) ketika berhadapan dengan penabung pemilik modal atau investor (rabb al-mâl). Bank, sebagai pihak ketiga, lebih banyak berkuasa untuk menentukan syarat-syarat bagi kontrak mudharabah. Mudharabah juga dalam prakteknya telah berubah dari kontrak kepercayaan (yad al-amânah) dalam fikih, menjadi kontrak pertanggungjawaban (yad adh-dhamân) yang meniscayakan jaminan, pengawasan, pengujian dan penentuan persyaratan-persyaratan untuk mengamankan modal dan usaha. Mudharabah, yang awalnya merupakan ‘kontrak bagi hasil’ dengan kerugian yang hanya ditanggung oleh pemilik modal, sekarang diupayakan sedemikian rupa agar kerugian tidak sama sekali dibebankan kepada pemilik modal untuk menjaga kepercayaannya terhadap bank, sehingga persyaratan sedemikian rupa dibebankan kepada peminjam atau pengusaha.
Mudharabah dalam ‘ekonomi syari’ah’ dengan berbagai modifikasi dan penyesuain terhadap realitas ekonomi sekarang, bisa saja dibenarkan, tetapi secara akademis harus diletakkan pada persoalan yang sebenarnya. Karena sesungguhnya, ia adalah pemahaman terhadap syari’ah, bahkan pemahaman terhadap fikih yang telah mengalami berbagai penyesuaian, bukan kebenaran (Islami) yang tunggal atau alternatif satu-satunya. Sebagai pemahaman, ia bisa benar dan bisa salah, dan sebagai strategi/praktek ekonomi, ia bisa mendatangkan keuntungan dan bisa sebaliknya. Dengan demikian, ia harus dilakukan pengujian-pengujian secara terbuka dan terus menerus, tidak bersembunyi di balik ‘kebenaran Islami’ untuk dipaksakan kepada semua orang. Karena walau bagaimanapun, ia adalah fikih, atau pemahaman, yang harus juga membuka diri pada pemahaman-pemahaman lain dan pada pengujian-pengujian empirik-materiil. Sebagai sebuah proses pencarian terhadap konsep pembiyaan, mudharabah patut diapresiasi, setidaknya karena ia mengaitkan sektor moneter dengan sektor ekonomi riil, sehingga bisa menekan sedemikian rupa penggelembungan moneter yang berakibat pada inflasi. Tetapi juga harus disadari, bahwa ia adalah fikih, pemahaman terhadap syari’ah, bahkan penyesuaian dengan realitas ‘perekonomian dan perbankan’ kontemporer yang kapitalis.
Dalam fikih, sebagai wilayah pemahaman dan akademis, bisa saja mudharabah berubah menjadi sesuatu yang diharamkan ketika ia pada tataran empirik-riil tetap melingkarkan kekayaan pada orang-orang tertentu saja yang secara tegas dan jelas diharamkan oleh al-Qur’an[28], sehingga daya tawar masyarakat luas menjadi sangat lemah. Pengharaman bisa didasarkan pada pendapat Imam Thawus (w.106H/724M), Hasan al-Basri (w. 110H/728M) dan Ibn Hazm (w. 450H), yang mengharamkan mudharabah [muzâra’ah dan mukhâbarah] pada tanah pertanian. Tanah, adalah merupakan alat produksi yang cukup vital pada masyarakat agraris, sehingga tidak diperkenankan perolehan nilai tambah kecuali melalui pengolahan langsung, bukan dengan jalan dihutangkan, disewakan atau dibagi-hasilkan. Uang juga menjadi hal yang sama, karena ia adalah alat produksi yang utama pada masyarakat bisnis dan industrialis. Ditambah argumentasi bahwa dalam Islam, yang perolehan nilai tambah hanya bisa dilakukan melalui kerja, seperti yang dinyatakan al-Qur’an; wa an laysa li al-insâni illâ mâ sa’â. Dan tidak seorang manusiapun berhak memperoleh kecuali dari yang dikerjakannya][29].

IV. Riba dan Bunga Bank
Produk-produk pembiayaan perbankan syari’ah, baik berupa bagi hasil (mudhârabah), mark up pembelian (murâbahah), beli bayar-tangguh (bai’ bi ats-tsaman âjil), serikat bisnis (musyârakah), sewa beli (bai’ ta’jîri), pesan beli (salaf), titip-tabungan (wadî’ah), semua dilahirkan sebagai tandingan/penolakan terhadap produk-produk sejenis yang ditawarkan perbankan konvensional dengan basis bunga (interest). Dalam berbagai tulisan para pakar ekonomi syari’ah dan para ulama fikih kontemporer, bunga bank adalah riba yang diharamkan oleh al-Qur’an dan Hadits.
Logika ekonomi syari’ah mengenai pelarangan bunga bank, adalah bahwa uang dalam Islam merupakan alat tukar dan modal dasar, bukan komoditas yang bisa diperjualbelikan, disewakan, apalagi memperoleh nilai tambah hanya karena dipinjamkan[30]. Pertambahan nilai dalam uang, hanya diperkenankan ketika ia diinvestasikan dalam bentuk aktifitas perniagaan, perindustrian, pertanian atau kerajinan, sehingga pertambahan yang diperoleh adalah laba dari aktifitas tersebut, bukan bunga melalui pertambahan unsur waktu[31].
Diskusi mengenai riba dan bunga bank dalam ‘ekonomi syari’ah’ hanya menegaskan satu pandangan saja, padahal 50 tahun yang lalu di dunia Islam persoalan bunga bank masih merupakan persoalan yang kontroversial di kalangan para pakar fikih sendiri. Syekh Muhammad ‘Abduh, Syekh Rasyid Ridla, Dr. Ma’ruf ad-Dawalibi adalah diantara mereka yang membedakan bunga bank dari riba yang diharamkan. Pada tahun 1951, Mingguan Fikih Islam mengadakan diskusi yang cukup lama dengan berbagai pakar fikih dunia, dengan mendatangkan ad-Dawalibi yang mempertahankan bahwa bunga bank bukanlah riba yang diharamkan[32]. Di Indonesia, yang lantang menyuarakan perbedaan bunga bank dengan riba adalah A. Hassan, pendiri PERSIS, Muhammad Hatta, Syafruddin Prawiranegara dan DR. Syaikhulhadi Purnomo dan beberapa yang lain[33]. Beberapa argumentasi yang diajukan biasanya berkisar pada beberapa hal; bahwa riba yang diharamkan hanya pada riba yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy pada saat turunnya al-Qur’an, bahwa riba diharamkan karena menjerat orang-orang miskin yang ingin meminjam untuk konsumsi sementara bunga bank kebanyakan untuk kepentingan produksi, bahwa obyek riba adalah emas dan perak yang memiliki nilai intrinsik sehingga relatif tidak mengalami inflasi sementara uang kertas memerlukan bunga atas tambahnya waktu untuk mengganti margin inflasi yang terjadi pada dirinya, disamping argumentasi lain; bahwa penerimaan bunga sebagai kondisi darurat karena umat Islam tidak bisa lepas dari interaksinya dengan perbankan konvensional.
Pengharaman riba (tahrîm ar-riba) dalam fikih ekonomi adalah suatu hal yang prinsip dan sudah mutlak, karena riba secara jelas dan tegas diharamkan al-Qur’an. Tetapi orang yang membaca al-Qur’an saja, tidak akan bisa mengerti langsung secara pasti; apa itu riba. Mungkin bisa menduga kuat (dzann) apa itu riba, tetapi tidak bisa memastikan. Ada empat kelompok ayat dalam al-Qur’an yang berbicara mengenai riba; pertama bahwa riba yang dilakukan oleh orang tidak akan mendapat nilai tambah di sisi Allah, berbeda dengan zakat yang akan mendapat nilai tambah dari-Nya (QS. Ar-Rum, 39). Kedua, bahwa orang-orang Yahudi telah dilarang melakukan transaksi dengan riba, tetapi mereka tetap melakukannya, mereka layak untuk mendapat siksaan yang pedih (QS. An-Nisa, 159-160). Ketiga, larangan terhadap orang-orang beriman untuk memakan riba yang berlipat-lipat (QS. Ali ‘Imran, 130). Keempat, ayat yang paling panjang memebicarakan tentang riba; orang yang makan riba sama seperti orang yang kerasukan syetan, riba itu haram, riba yang telah lalu bisa dimaafkan, Allah tidak memberkati riba, perintah untuk meninggalkan praktek riba, kalau tidak maka sama saja ia berperang dengan Allah dan pernyataan bahwa praktek riba terkait dengan kezaliman yang niscaya ditinggalkan (QS. Al-Baqarah, 275-280).
Dengan membaca ayat saja, tidak memperoleh penjelasan yang tegas mengenai; apa itu riba yang diharamkan di dalam al-Qur’an. Karena itu, para mufassir menyandingkan dengan fakta-fakta riba yang dipraktekkan oleh orang-orang Arab pada saat ayat-ayat itu turun. Beberapa praktek riba yang terjadi pada saat itu adalah; (1) Pertambahan nilai pokok dalam transaksi hutang, atau pertambahan karena unsur waktu. Gambarannya, kalau mereka menghutangkan dirham atau dinar, mereka akan mengambil sejumlah uang tertentu setiap bulan, tetapi nilai hutang tetap seperti semula tanpa kurang. Apabila tiba masa pembayaran hutang, mereka akan meminta nilai hutang tersebut sejumlah yang ada pada transaksi, jika penghutang tidak sanggup bayar, maka mereka berhak melipatgandakan jumlah hutang, dari jumlah semula. (2) Kalau tiba masa pembayaran hutang, mereka akan menagih sejumlah uang sesuai hutang, jika tidak sanggup bayar, maka pembayaran bisa ditunda tahun depan dengan syarat dilipatkan 100 persen. Kalau tidak sanggup pada tahun berikutnya, akan dilipatkan 200 persen. Begitu juga tahun-tahun berikutnya, setiap tahun dilipatkan 100 persen, ketika tidak sanggup bayar. (3) Utsman bin Affan dan Abbas bin Abd al-Muthallib biasa membeli kurma ke petani sebelum waktu panen/petik (salam, salaf). Pada saat memetik, ketika petani tidak sanggup menyerahkan sejumlah yang sesuai degan kontrak karena untuk penyediaan makanannya, ia akan menyerahkan separoh dari jumlah kontrak dan meminta yang separohnya akan dibayar pada musim panen berikutnya, dengan perjanjian dibayar dua kali lipat.
Kalau yang dimaksud oleh ayat Qur’an adalah riba orang-orang Arab, maka demikianlah seperti yang digambarkan oleh para mufassir. Kalau yang dimaksud adalah apa yang juga dijelaskan oleh Nabi, maka riba juga mencakup; (1) pertambahan nilai dari pertukaran barang-barang tertentu yang tidak seimbang (riba al-fadhl), (2) pertambahan nilai yang penangguhan pertukaran (riba an-nasi’ah) dalam pertukaran barang-barang ribawi: emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, dan (3) pertambahan nilai sekecil apapun yang diterima oleh pemberi hutang dari penerima hutang dalam transaksi hutang-piutang (riba al-qardh), termasuk pemanfaatan barang milik penerima hutang (muqtaridh). (kullu qardhin jarra manfa’atan fahuwa riba).
Dalam realisasinya, ada beberapa perbedaan di antara ulama fiqh dalam membahas mengenai persoalan-persoalan riba; apakah pengharaman riba hanya berlaku pada barang-barang yang telah disebutkan dalam teks hadis saja, atau bisa memasukkan barang-barang yang lain? Kalau bisa, apa tolok ukurnya; nilai tukar, makanan pokok, sesuatu yang bisa ditimbang dan ditakar, atau yang lain? Dalam kaitannya dengan mata uang, apakah riba berlaku untuk mata uang emas dan perak saja, atau juga semua jenis mata uang? Apakah betul semua jenis pertambahan dari modal hutang adalah riba? Pertambahan kadar (al-mitsli) atau pertambahan nilai (al-qîmi); misal untuk kasus orang yang menghutang, ketika jatuh tempo nilai tukar ‘barang atau uang’ yang dipinjam jatuh merosot? Apakah betul semua jenis pemanfaatan yang diterima oleh pemberi hutang (muqridh) adalah riba, termasuk makanan yang diterima, minuman, atau bahkan jasa menaikai kendaraan? Apakah riba juga diharamkan dalam transaksi yang terjadi di negara kafir? Apakah juga haram yang terjadi antara tuan dengan hamba? Antara anak dan orang tua? Antara suami dan isteri? Dan antara pemerintah dan rakyat? Boleh tidak melakukan hîlah [bay’ al-‘aynah] untuk menghindarkan diri dari prakek riba, yaitu praktek jual beli yang pada intinya adalah peminjaman sejumlah uang dengan pengembalian lebih dari waktu meminjam seperti murabahah dalam praktek bank syari’a
Dalam pembahasan mengenai ‘bunga bank’ mestinya lebih beragam, karena ‘uang kertas’ seperti yang ada sekarang, tidak sama persis dan tidak pernah ada dalam kehidupan Rasulullah, apalagi kondisi sosial ekonomi antara masa beliau dengan masa sekarang adalah jauh berbeda. Memang dalam kajian yang lebih kritis terhadap fenomena sosial ekonomi, bahwa bunga bank yang terjadi saat ini, banyak bertanggung jawab terhadap terpuruknya kondisi perekonomian dunia ketiga, terjadinya inflasi yang tidak terkendali, melingkarnya putaran keuangan pada orang-orang tertentu saja yang berjumlah sedikit, melambungnya harga-harga barang yang dikeluarkan oleh pengusaha-pengusaha peminjam uang bank dan makin melemahnya posisi tawar masyarakat miskin terutama yang terkait langsung dalam jaringan perusahan-perusahan peminjam uang bank, seperti para buruh dan konsumennya[34]. Tetapi pengaharaman bunga bank tetap wilayahnya adalah fikih; pemahaman terhadap syari’ah, yang harus juga menghormati pemahaman lain, mengakomodasi, bahkan mungkin saja melakukan sintesa teoritis untuk menghadapi realitas-realitas ekonomi tertentu. Bagi Naqvi misalnya, substansi pengharaman riba bukan sekedar pelarangan bunga bank, tetapi pengharaman segala bentuk eksploitasi dalam setiap lini perekonomian. Karenanya, institusi tanpa riba semestinya tidak hanya terhenti pada penggantian nomenklatur semata menjadi institusi tanpa bunga.
Dalam prakteknya, institusi tanpa bunga dalam sejarah peradaban Islam adalah sesuatu hal yang teramat baru. ‘Perbankan tanpa bunga’ tidak memiliki preseden dari sejarah masa lalu, baik secara konsep maupun praktikal. Pembicaraan konsep dan teori mengenai perbankan tanpa bunga baru muncul sekitar tahun limapuluhan dan enampuluhan abad kemarin. Implementasi dari konsep ini juga baru muncul pada medio tujuh puluhan ketika Islamic Development Bank didirikan di Jeddah, yang kemudian disusul pada tahun-tahun berikutnya dengan pendirian bank-bank tanpa bunga di berbagai negara; Mesir, Sudan, Kuwait, Pakistan, Iran dan tempat-tempat lain.[35] Sebagai sesuatu hal yang baru, baik konsep maupun praktek, akan banyak mengalami kekurangan (baca: tantangan) yang harus disadari dan mau membuka diri terhadap segala bentuk kritik dan masukan. Banyak pihak masih melihat ‘perbankan tanpa bunga’ masih belum menawarkan mekanisme perbankan yang original, sehingga upaya penghapusan riba/bunga (baca: eksploitasi) pada prakteknya baru sebatas perubahan nomenklatur pada jasa-jasa perbankan konvensional[36] Lebih jauh Masdar F. Mas’udi misalnya, berpendapat bahwa perbankan akan Islami hanya jika ia berubah fungsi menjadi lembaga sosial non-komersial, yang hanya untuk mengamankan dan menggerakkan perekonomian. Perbankan tidak diperkenankan ‘memperdagangkan’ uang dengan cara apapun. Perbankan hanya menjadi tempat menyimpan dan meminjam (hutang) dalam hal uang, selebihnya ia hanya boleh mengambil ongkos jasa administrasi dan margin inflasi rata-rata, tidak lebih dari itu. Karena kekayaan yang potensial dalam Islam, seperti tanah, emas dan uang tidak boleh di tumpuk, tetapi harus selalu dikelola dan difungsikan. Kewajiban ini tidak bisa secara penuh dilaksanakan kecuali dalam kondisi dimana pemilik kekayaan tersebut yang tidak bisa memfungsikannya selalu memberi kesempatan selebar-lebarnya kepada orang lain untuk memfungsikan, tanpa harus meminta bagian, apalagi bayaran[37].
Dalam Islam, tepatnya fikih, ada banyak keragaman pandangan mengenai pemanfaatan kekayaan. Yang harus dilakukan berikutnya adalah pengujian empirik-materiil sejauh mana pandangan tersebut benar-benar mendatangkan manfaat dan maslahat bagi masyarakat, sesuai dengan prinsip maqâshid asy-syarî’ah.
V. Fikih Zakat dalam Konteks Kontemporer
Berbeda dengan bidang moneter yang oleh ‘ekonomi syari’ah’ telah mengalami ekspansi pemahaman yang cukup jauh, bidang zakat tidak mengalami pembaruan yang cukup berarti kecuali pada wilayah administrasi dan manajemen. Konsep mudharabah, murabahah, bai’ ta’jiri, bai’ bi ats-tsaman ajil, wadi’ah, takaful dan terakhir MLM syari’ah telah mengalami penyesuaian sedemikian rupa dengan realitas perekonomian kapitalis, untuk menjadi basis bagi perolehan keuntungan sebanyak mungkin. Sementara zakat hanya dilakukan penyesuaian sebatas pada persoalan administrasi, manajemen dan sedikit perluasan pada obyek harta yang harus dizakati. Zakat tidak banyak dikaitkan dengan kondisi riil sosial ekonomi masyarakat, sehingga misi keadilan zakat tidak pernah dikaji lebih serius dengan mengaitkan pada persoalan-persoalan realitas ekonomi yang nyata pada masyarakat masing-masing. Misalnya yang paling nyata adalah konsep zakat fitrah pada setiap penghujung bulan Ramadhan yang sampai sekarang hanya berkisar pada seharga 3 liter beras, atau sekitar Rp. 8000,- bagi setiap orang yang dianggap mampu. Apa artinya nilai ini bagi pengentasan kemiskinan di Indonesia, bagi peningkatan kesejahteraan, apalagi pendidikan masyarakat miskin. Bahkan apa artinya bila dibandingkan dengan kebiasaan orang-orang mampu pada saat yang sama untuk membuat parcel lebaran yang bernilai ratusan ribu bahkan bisa jutaan. Zakat fitrah pada masa Nabi berupa sejumlah makanan pokok, karena persoalan utama masyarakat pada saat itu adalah kebutuhan pangan yang sering tidak tercukupi[38]. Pada saat ini, sebagai masyarakat industrialis dan bisnis tentu berbeda jauh dari masyarakat Nabi dahulu, zakat fitrah tidak jelas sasarannya kemana, untuk apa, dan apa indikator keberhasilannya. Tidak banyak tulisan yang menelusuri kondisi sosial kontemporer dan mengaitkannya dengan tawaran konsep zakat fitrah yang aplikabel, manajebel dan substansinya mengarah pada penguatan masyarakat miskin dan pemerataan keadilan ekonomi kepada seluruh lapisan masyarakat.
Pada zakat mal juga terjadi hal yang sama. Seperti yang dinyatakan oleh Mahmud Abu Su’ud, konsepsi mengenai batas minimum kekayaan yang wajib zakat [nishâb] sangat tidak jelas untuk membedakan si kaya yang wajib zakat dari si miskin yang bisa menerima dana zakat. Gambarannya, dalam konsepsi zakat yang ada dan berkembang saat ini, seorang petani sudah harus membayar zakat ketika ia memperoleh hasil panen sebanyak 653 kg beras, tanpa dikurangi ongkos pertanian dan beban nafkah keluarga. Sementara pedagang, pegawai, pemilik ragam kekayaan; bayar zakat ketika memiliki harta lebih setelah ongkos dan beban nafkah keluarga, senilai 85 gram emas. Apalagi bila dibandingkan dengan peternak kambing yang baru bayar zakat ketika memiliki 40 ekor (sekitar Rp. 16.000.000,-), unta 5 ekor dan sapi 30 ekor (Rp. 150.000.000,-). Dari ketidak jelasan konsepsi ini, risalah zakat untuk mengentaskan kemiskinan menjadi kabur dan tidak terarah, apalagi bila dikaitkan dengan peran zakat untuk memenuhi kebutuhan publik dan kesejahteraan masyarakat banyak. Hal ini terlihat juga pada konsepsi-konsepsi lain mengenai penentuan harta wajib zakat, pengalokasian dana zakat, investasi dana zakat, peran pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan dana zakat. Persoalannya akan lebih rumit lagi pada tataran implementatif, karena zakat akan selalu dihadapkan dengan institusi yang sejenis dalam masyarakat modern, seperti pajak negara, atau pungutan keagamaan tertentu, dengan berbagai persoalan sosial politik yang melatarinya.
Dalam bacaan fikih klasik, zakat termasuk dalam wilayah ibadah, bukan mu’amalah. Dalam bahasa lain disebut sebagai ‘‘ibâdah mahdhah[39] (ibadah murni), baik dalam tataran konsep, maupun aplikasinya yang bersifat parsial. Dengan sifatnya yang demikian, zakat harus tawaqquf mengikuti segala ketentuan yang telah digariskan oleh syara’ termasuk hal-hal yang parsialnya. Dalam beberapa hal, ia juga dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa dirasionalkan (ghayr ma’qûl al-ma’nâ)[40]. Karena alasan ibadah ini, perkembangan fikih zakat menjadi sangat lamban, bahkan sebagian ulama memandang bahwa pengembangan fikih zakat adalah sesuatu yang tidak diperkenankan. Ibn Hazm al-Zhâhirî (w.456H/1064M), misalnya, tidak mau sedikitpun keluar dari garis lingkaran teks, sehingga harta yang wajib dizakati bagi beliau tujuh jenis saja; emas, perak, unta, lembu, kambing, gandum dan kurma. Pengembangan kewajiban di luar tujuh jenis ini, baginya adalah bentuk penyimpangan dari ke-’ibâdah-an zakat. Sebagian ulama, seperti Mâlik bin Anas (w. 179H/795M), asy-Syâfi’iy (Muhammad bin Idrîs w. 204H/820M) dan Ahmad ban Hanbal (w. 241H/855M), mencoba mengembangkan rasionalisasi kewajiban zakat kepada beberapa jenis harta lain, tetapi masih terkesan begitu tertutup. Karena rasionalisasi hanya diberlakukan pada kewajiban zakat gandum (yang tertulis dalam dalam teks) untuk mewajibkan zakat kepada (yang tidak tertulis dalam teks) setiap makanan pokok manusia yang bisa dikeringkan dan disimpan. Tetapi mereka tidak merasionalkan kewajiban zakat kurma atau anggur misalnya, untuk setiap jenis buah-buahan atau hasil tumbuh-tumbuhan yang bernilai ekonomi, atau kewajiban zakat emas perak untuk setiap perhiasan berharga, atau kewajiban zakat unta, lembu dan kambing untuk setiap jenis binatang ternak. Hal demikian adalah merupakan kemandegan ijtihad dalam mengembangkan teks-teks terhadap permasalahan yang tidak tertulis yang ternyata lebih nyata kaitannya dengan syari’ah zakat, jelas dan kongkrit.
Mazhab Hanafi (dipelopori oleh Imam Abu Hanîfah Nu’mân bin Tsâbit w. 150H/767M), sebagai mazhab yang dianggap cukup rasional, ketika mengatakan bahwa zakat tidak wajib atas harta anak kecil dan orang gila, mereka berdalih karena zakat adalah ‘ibâdah, sama seperti halnya sembahyang dan puasa. Apabila sembahyang dan puasa tidak wajib atas mereka, maka zakat juga dengan alasan yang sama tidak wajib atas harta yang dimiliki oleh mereka. Dalam hal ini, harta sebanyak apapun apabila dimiliki oleh anak yang belum baligh atau orang gila tidak bisa berperan untuk ikut menyelesaikan permasalahan ketimpangan pendapatan ekonomi atau untuk memenuhi keperluan masyarakat umum melalui syari’ah zakat, karena zakat sebagai ‘ibâdah hanya diwajibkan kepada orang-orang yang sudah dianggap sah untuk melakukan ‘ibâdah.
Dengan alasan yang sama, mayoritas ulama mazhab juga berpendapat bahwa zakat tidak bisa diterapkan kepada orang-orang kâfir, baik kâfir dzimmî (yang tinggal sebagai warga negara dalam negara Islam), musta’man (yang datang berkunjung dan mendapatkan perlindungan keamanan), apalagi harbî (musuh perang). Warga non-muslim, dalam hal ini tidak memiliki peran/kewajiban yang sama untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi atau sosial yang menimpa masyarakat suatu bangsa yang biasanya dirasakan secara keseluruhan oleh semua komponen bangsa. Dengan ini zakat hanya memiliki keterikatan dengan nilai-nilai keadilan, kemaslahatan, pemerataan ekonomi dan pengentasan kemiskinan yang memiliki simbol-simbol Islam, tetapi terpisahkan dari keadilan universalmanusia. Padahal kemiskinan adalah permasalahan ekonomi kemanusiaan, bukan permasalahan keagamaan. Permasalahan demikian bisa menimpa siapa saja, tanpa memandanag batasan agama, suku atau ras. Karena itu, untuk mengatasinya memerlukan perhatian secara penuh dan utuh dari segenap umat manusia di dunia, dengan tanpa melihat latar belakang agama, suku atau ras.
Hal-hal demikian merupakan persoalan yang cukup merisaukan berbagai ulama dan pakar, ketika ingin mengembangkan fikih zakat sebagai salah satu isnstitusi keuangan modern. Yusuf al-Qaradhawi dengan magnum opusnya, Fiqh az-Zakâh, mencoba melakukan rasionalisasi untuk mengetengahkan konsep zakat dalam kehidupan modern. Ia menelusuri beragam teks-teks dasar, pandangan-pandangan ulama klasik, memilih dan memilah untuk memperoleh pandangan yang menurutnya tepat untuk diaplikasikan pada masa sekarang. Sekalipun karyanya patut diapresiasi, tetapi al-Qaradhawi masih terjebak pada tekstualisasi yang membekukan dan eklektisisme yang membingungkan. Ia masih menyatakan bahwa persoalan zakat harus diambil dari teks-teks hadits secara literal dan harus patuh pada kesepakatan ulama salaf. Pengembangan hanya bisa dilakukan ketika bisa melalui metode analogi (qiyâs). Ia masih menyatakan bahwa kadar dan nisab zakat, baik mal maupun fitrah, harus seperti apa adanya pada masa Nabi SAW, yang sosio ekonominya agraris. Ekletisisme yang membingungkan misalnya dalam hal penentuan nisab sapi. Ia menerima ketiga pendapat ulama salaf; ketika sebagian ulama ada yang menyatakan 5 ekor, ada yang menyatakan 15 ekor, dan ada yang 30 ekor. Karena itu dikatakan ulama salaf, al-Qaradhawi menerima ketiganya, yang pada prakteknya harus dipilih salah satu dan diserahkan kepada pemerintah setempat dengan melihat kondisi ekonominya, tetapi tetap harus tidak keluar dari koridor; 3, 15, atau 30 ekor. Buku al-Qaradhawi lebih tepat disebut sebagai kompilasi fikih zakat, dengan berbagai analisisnya yang cukup tajam dengan mengaitkan pada kondisi kontemporer. Tetapi dalam banyak hal, ia tidak menawarkan sesuatu yang aplikatif untuk kondisi sosio ekonomi kontemporer.
Dalam hal ini, Mahmud Abu Su’ud melakukan kritik yang cukup tajam terhadap buku al-Qaradhawi. Menurutnya, teks-teks hadis zakat tidak harus menjadi rujukan yang mengikat secara literal. Mayoritas teks hadis harus ditempatkan sebagai pelajaran saja (ahkâm tawjîhiyyah), bukan keharusan, bahkan sebagian yang lain ia merupakan kebijakan Nabi SAW sebagai pemimpin yang melihat kondisi sosio ekonomi pada saat itu, bukan beliau sebagai Nabi penyampai wahyu. Yang harus diterapkan dari fikih zakat masa lalu adalah prinsip-prinsip dasarnya saja, karena persoalan-persoalan parsialnya banyak terkait dengan kondisinya masing-masing. Ia misalnya mengusulkan standarisasi batas minimal kekayaan wajib zakat. Ia seharusnya mencerminkan ‘kecukupan’ yang riil dalam kondisi ekonomi sekarang. Ia juga harus satu ukuran untuk seluruh jenis kekayaan, sehingga tidak ada lagi nisab emas, perak, kambing, sapi, beras dan yang lain, yang berbeda-beda. Tetapi harus mencerminkan satu standar, satu ukuran, yaitu yang mencerminkan ‘kecukupan satu keluarga kecil dengan satu isteri dan 2-5 anak’. Ia menamakannya ‘keranjang konsumsi’ (as-sullah al-istihlâkiyyah). Tetapi Anehnya, sekalipun ia menyatakan bahwa kadar zakat merupakan kebijakan politik Nabi, tetapi masih merasa untuk saat ini ketentuan itu masih relevan. Tidak perlu dirubah atau dimodifikasi. Kalaupun pada prakteknya, dana zakat tidak bisa mencukupi keperluan perimbangan kesejahteraan, maka bisa diterapkan punguntan selain kewajiban zakat[41].
Lebih jauh Masdar F.Mas’udi mensoroti syari’ah zakat, tidak hanya pada batas aspek teknis, seperti tarif, nisab, obyek dan sasaran zakat, tetapi lebih jauh pada filosofinya yang paling mendasar. Ia ingin menempatkan zakat sebagai institusi keuangan andalan pada saat ini, untuk perimbangan kesejahteraan dan pembiayaan penyelenggaraan negara. Zakat, adalah dana milik Allah SWT yang dihimpun oleh pemerintah dari rakyat dan hanya untuk kepentingan rakyat, terutama yang paling lemah. Karena milik Allah, sebagai rakyat harus menyerahkannya kepada pengelola/pemerintah, dan sebagai pemerintah diharamkan menggunakan dana zakat, kecuali untuk kepentingan rakyat. Karena milik Allah, bukan milik pribadi apalagi penguasa, dana zakat harus dipertanggung jawabkan, secara sosial terhadap rakyat di dunia, dan secara ruhaniyah di hadapan Allah, di akhirat. Kontrol sosial (social control) terhadap negara/pemerintah sebagai pengelola uang pajak, sekaligus pengelola kekuasaan yang ditimbulkan oleh uang itu, dengan demikian menjadi niscaya. Karena, seperti telah dikatakan bahwa uang pajak adalah uang Allah dan rakyat sekaligus, maka kaniscayaan kontrol ini menjadi begitu kuat dengan argumen ganda: Pertama argumen transendental-teologis karena uang yang ditangannya secara hakiki milik Allah; kedua argumen material-sosologis karena uang yang ditangannya secara faktual merupakan amanat dari rakyat (pembayar pajak) yang harus diperuntukkan untuk kepentingan segenap rakyat (mustahiq).
Ajaran zakat adalah moralitas penghimpunan dana milik Allah SWT untuk kepentingan rakyat, pengelolaan dan pengontrolan penuh terhadap pengelola. Ajaran zakat adalah ruh, yang badannya bisa mengambil dalam bentuk yang disesuaikan dengan kondisi sosial yang ada. Baginya, aturan-aturan teknis yang ditetapkan Rasulullah saat itu, seperti tarif 2,5 % dan obyek pajak diseputar hewan unta dan buah korma serta penjelasan peruntukannya, nisab segala bentuk harta zakat, tidak lagi memadai dengan tuntutan kemaslahatan masyarakat industri abad modern ini. Dengan demikian, ia telah melakukan pengembangan yang cukup radikal terhadap ‘baju’ zakat, tetapi tidak terhadap ‘ruh’nya. Zakat berbeda dengan upeti raja-raja (udhhiyyah) yang dipersembahkan oleh rakyat kepada penguasa, untuk kepentingan dan menjadi wewenang penguasa sepenuhnya. Ia juga berbeda dengan pajak yang ada sekarang di negara-negara modern sebagai kontra-prestasi (jizyah), yang hanya berpikir untuk kesejahteraan para pembayarnya saja. Zakat adalah dana milik Allah yang harus dihimpun dari rakyat oleh pemerintah untuk kepentingan seluruh rakyat, terutama yang paling lemah. Zakat adalah moralitas yang bajunya bisa saja berupa mekanisme pajak. Baginya, inti dari perintah moral zakat sebagai ruh pajak adalah sbb: jika dengan uang pajak itu negara membangun, maka membangunlah karena Allah untuk kesejahteraan segenap rakyat, terutama yang paling lemah; jika dengan uang pajak itu negara membiayai birokrasi dan menggaji aparatnya, maka jadilah birokrasi dan aparat yang setia karena Allah melayani kebutuhan rakyat, terutama yang paling lemah; jika dengan uang itu negara membayar anggota Parlemen, maka adalah parlemen yang sungguh-sungguh mewakili aspirasi rakyat, terutama yang paling lemah; jika dengan uang pajaknya itu negara memberi makan aparat hukum (: polisi, jaksa, hakim dan sebagainya) jadilah aparat hukum yang lurus karena Allah melindungi hak-hak segenap rakyat, terutama yang paling lemah; dan jika dengan uang pajak itu negara memberi makan tentara dan mempersenjatainya, maka jadilah tentara yang karena Allah setia menjamin rasa aman segenap rakyat, terutama yang paling lemah. Yang tentunya kesemuanya itu harus terefleksi secara konsisten dalam sistem kelembagaan dan keseluruhan aturan mainnya.
Dari sini setidaknya bisa dinyatakan bahwa banyak permasalahan mendasar dalam fikih zakat yang memerlukan analisa historis agar tidak tercerabut dari akar sejarahnya, di samping argumentasi teks-teks Qur’an dan Hadits yang telah dilaksanakan oleh para ulama terdahulu, sehingga ketika diterapkan bisa memenuhi dan menjawab realitas sosial ekonomi yang dihadapi ummat. Dengan demikian, fikih Islam tidak hanya sekedar menjawab permasalahan yang berkembang di dalam masyarakat, tetapi juga sekaligus ikut memberikan penyelesaian yang tepat dan sesuai. Zakat tidak lagi menjadi lipstik bagi pola distribusi sumber-sumber perekonomian, sementara yang tangguh dan kokoh tetap saja pajak. Tetapi kembali pada misi awalnya, sebagai konsep yang paling utama dalam distribusi kekayaan. Hanya zakat yang merupakan pungutan permanen dalam fikih Islam, yang lain seperti ghanimah, fai, kharaj atau yang lain adalah pungutan-pungutan yang bersifat temporer. Karena itu, zakat harus dikembangkan dan diperkuat sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sosio perekonomian sekarang.

VI. Kesimpulan dan Saran
Ekonomi syari’ah semestinya dikembalikan pada disiplinnya yang semula, yaitu fiqh mu’âmalah, sehingga ia terbuka terhadap segala pemahaman terhadap teks dalam interaksinya dengan realitas. Dengan sifatnya yang demikian, pengajaran ekonomi syari’ah juga harus komprehensip dengan meliput segala pandangan dan pemahaman, yang muncul sepanjang sejarah peradaban umat, baik yang klasik maupun yang kontemporer, dengan berbagai ragam argumentasi dan latar sosialnya masing-masing. Dalam hal ini, fikih akan memiliki khazanah yang besar dan cakrawala yang luas dalam kaitannya dengan konsep dan praktek perekonomian. Pemilihan dan pemilahan pada akhirnya diperlukan, dan pasti dilakukan, hanya semestinya tidak lagi didasarkan pada argumentasi literal teks, karena hal ini telah dilakukan oleh ulama terdahulu. Saatnya, pemahaman fikih diuji melalui antar disiplin keilmuan, khususnya pengujian empirik; sejauh mana ia benar-benar mendatangkan kemaslahatan yang riil bagi masyarakat.
Pandangan dan pemahaman fikih, khususnya fikih mu’amalah, harus diformulasikan kembali dalam tiga klasifikasi; prinsip dasar (al-mabâdi), prinsip parsial (al-qawâ’id) dan persoalan implementasi parsial (ash-shuwar al-juz’iyyah). Prinsip dasar adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar, memiliki kebenaran pada dirinya, bersifat universal; seperti prinsip keadilan, kemaslahatan dan kepemilikan mutlak bagi Allah SWT. Prinsip parsial adalah dasar-dasar yang terkait dengan penerapan suatu persoalan, yang secara umum juga tidak bisa ditawar, hanya karena terkait dengan penerapan, terkadang terjadi penyesuaian. Seperti prinsip-prinsip transaksi yang harus saling menguntungkan, rela satu sama lain, transparan dan tidak ada spekulasi yang naif. Sementara kebanyakan persoalan masuk dalam wilayah yang furu’iyyah, atau parsial dan implementatif. Dalam wilayah ini harus dilakukan interaksi seluas-luasnya dengan realitas yang berkembang, untuk menemukan formula yang paling tepat, dan yang terpenting paling menjamin prinsip-prinsip yang paling mendasar, yaitu keadilan ekonomi dan kemaslahatan untuk semua. Karena syari’ah pada dasarnya adalah keadilan dan kemaslahatan, seperti yang dinyatakan oleh al-Ghazali dan Ibn al-Qayyim. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.