Minggu, 13 Desember 2009

KETELADANAN PEMIMPIN DALAM MEMBERANTAS KORUPSI DITINJAU DARI SOSIOLOGI AGAMA

KETELADANAN PEMIMPIN DALAM MEMBERANTAS KORUPSI DITINJAU DARI SOSIOLOGI AGAMA
Oleh : Adnan 7109030 (Mhs S2 Ilmu Hukum Univ Islam Jakarta)

Dewasa ini salah satu problem yang di hadapi Bangsa Indonesia adalah masalah tindakan korupsi. Perbuatan korupsi merupakan perbuatan akut yang melanda Bangsa Indonesia. Fenomena korupsi belakangan ini telah membuat masyarakat Indonesia begitu prihatin, rendah diri, serta malu di hadapan bangsa-bangsa lain. Berdasarkan keadaan tersebut, maka pemimpin-peminpin agama harus memberikan keteladanan dalam menjauhi tindakan korupsi. Pemimpin agama harus mampu menggunakan secara maksimal segenap potensi yang dimilikinya untuk menghentikan korupsi yang sedang berlangsung di tanah air ini. Pemimpin agama harus menjadi teladan utama dalam mencegah terjadinya korupsi pada masa yang akan datang dan pemimpin agama berkewajiban mengurangi korupsi, baik secara individual maupun secara kolektif. Ia harus mampu memberikan contoh yang baik, bahwa tindakan korupsi dalam berbagai bentuknya merupakan perbuatan hina dan diharamkan oleh Allah SWT. Hal ini tercermin dalam Al-Quran dalam surat Al-Baqarah : 188 yang artinya : “dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa padahal kamu mengetahui”.
Berdasarkan ayat itu dapatlah kita pahami bahwa tindakan mempergunakan harta orang lain dengan jalan yang tidak benar merupakan perbuatan yang dilarang dan dibenci oleh Allah SWT, menurut Islam dilarang memakan harta yang bukan miliknya. Selanjutnya menurut ayat tersebut maka pemimpin harus menyadari dirinya sebagai pemimpin yang berani mengatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Pemimpin harus menjadi teladan utama dalam menanamkan keyakinan bahwa pelaku korupsi merupakan pengkhianat terhadap agama. Ia menyalahgunakan jabatan dan kepemimpinan yang dibebankan kepadanya. Oleh karena itu untuk menjauhi korupsi pemimpin harus istiqomah terhadap prinsip-prinsip amanah. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Anfal : 27 yang artinya : “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu sedang kamu mengetahui”.
Dari ayat tersebut jelaslah bahwa mengkhianati amanah sama halnya mengkhianati Allah dan Rasul-Nya dan korupsi merupakan slaah satu bentuk pengkhianatan terhadap amanah. Fenomena korupsi apabila dicermati lebih mendalam maka akan nampak bahwa ia berpangkal pada sistem nilai yang dianut dan dipilih oleh setiap individu. Sistem ini mencakup hal-hal yang bersifat kesadaran, persepsi dan mental spiritual, dengan demikian tindakan korupsi merupakan suatu tindakan yang berhubungan dengan masaalah moral dan etika. Islam sebagai salah satu agama dan bersistem nilai memegang peranan penting untuk memberikan pencerahan nilai, penyadaran moral, perbaikan mental dan penyempurnaan akhlak dengan memanfaatkan potensi yang ada. Oleh karena itu pemimpin Islam yang ada harus menjadi teladan utama untuk melangkah menuju revolusi (perubahan) moral melalui pencerahan pemikiran keagamaan yang membebaskan perilaku-perilaku manusia yang bermental korupsi. Dan pemimipin agama harus berani tampil menjadi teladan dalam menggemakan suara pemberantasan korupsi dan menempatkan pemberantasan korupsi sebagai agenda utama dan prioritas, ia harus menempatkan kitab suci sebagai patokan utama dalam melaksanakan kebajikan-kebajikannya. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Azhab : 36 yang artinya : “dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesunggguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata”.
Berdasarkan ayat ini Allah memerintahkan kepada pemimpin Islam dalam melaksanakan keputusan-keputusannya selalu sesuai dengan pesan-pesan Al-Quran dan sunnah Rasul. Dengan demikian pemimpin agama harus menjadi pelopor utama dalam memberantas kebatilan dan kezaliman yang termasuk di dalamnya tindakan korupsi. Untuk mencapai sikap dan komitmen tersebut maka pemimpin agama harus melakukan beberapa hal :
1. Pemimpin harus selalu menjalankan kebenaran dan kesanggupan dalam bersikap, berucap serta berjuang melaksanakan tugasnya secara penuh tanggung jawab. Ia harus menyadari bahwa kepemimpinan yang embannya akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT dan Rasul-Nya.
2.keteladanan yang harus diterapkan oleh pemimpin adalah menanamkan nilai-nilai tabliq dalam kehidupannya. Ia harus mampu menyampaiakan sesuatu hal dengan bertanggungjawab, jujur, dan bersikap terbuka. Rasulullah SAW bersabda dalam hadist riwayat muslim yang artinya : “sesungguhnya kejujuran membawa kebaikan dan kebaikan membawa kepada surga dan sesungguhnya kebohongan membawa kejahatan dan kejahatan membawa kepada neraka. Orang yang selalu berbohong dan mencari kebohongan akan ditulis Allah sebagai pembohong (HR Muslim)”.
Dengan menerapakan bebarapa sifat tersebut maka Insya Allah pemimpin agama akan menjadi teladan dalam memberantas korupsi dan semoga Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk dan bimbingan kepada pemimpin yang beragama untuk menjalankan aturan-aturan Allah SWT. Amin.

MASIH ADAKAH KEADILAN YANG BERPIHAK PADA RAKYAT KECIL

MASIH ADAKAH KEADILAN YANG BERPIHAK PADA RAKYAT KECIL
Oleh: A.LIDYAWATI RAFLI (Mhs S2 Magister Ilmu Hukum Univ. 17 Agustus 1945)
Dosen: Prof Dr H Zainuddin Ali MA
Pendahuluan
Baru-baru ini adalah putusan kasus yang menggelitik dan mengejutkan semua masyarakat termasuk menteri Hukum dan HAM, PATRIALIS AKBAR, yang hanya bersimpati dengan kalimat “para penegak hukum harusnya mempunyai prinsip kemanusiaan, bukan Cuma menjalankan hukum secara positifistik, masa nenek-nenek di vonis gara-gara hal itu, hakim nya saja sampai menangis melihat nenek itu” tanpa berbuat sesuatu yang lebih untuk membuktikan bahwa kalimat yang diucapkannya adalah bukan sekedar basa basi yang biasa dilakukan oleh seorang menteri yang baru diangkat, akan tetapi tulus ikhlas dari hati nurani yang paling dalam selaku seorang menteri yang berharap bisa dan akan di percaya oleh masyarakat yang sudah bosan dan jenuh dengan janji-janji perbaikan hukum ke arah yang lebih dan lebih baik dari yang sebelumnya.
Secara Normatif, Pengadilan adalah tempat dimana masyarakat pencari keadilan untuk mendapatkan keadilan, yang menurut penulis adalah lebih cocok jika dikatakan “pencari kebenaran untuk mendapatkan kebenaran”, dimana dalam menyelesaikan tugas perkara, hakim tidak bekerja demi hukum dan atau demi undang-undang, melainkan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang artinya hakim bekerja mewakili Tuhan Yang Maha Esa / mengatas namakan Tuhan, untuk itu harus ada jaminan dalam menyelesaikan pekara hakim harus bertindak jujur, bersih dan adil agar kelak di “Pengadilan Terakhir” ia dapat mempertanggung jawabkan perbuatan dan perilakunya dihadapan Tuhan Yang Maha Esa. Namun tidak selamanya hati hakim memiliki kesadaran dan atau rasa takut tentang bahwasanya kelak ia akan harus mempertanggung jawabkan semua hasil putusannya tersebut di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga oleh karenanya amat sangat jarang ada putusan hakim yang mencerminkan keadilan terutama terhadap rakyat kecil seperti kasus Mbok Minah, seorang nenek renta berusia 55 tahun, yang tinggal di desa Angkruk Sidoharjo, Rt.04 / 09, Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa-Tengah yang harus menyandang status sebagai narapidana, karena dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan telah mencuri 3 (tiga) buah kakao dari perkebunan milik PT.Rumpun Sari Antan (RSA) sekaligus harus membayar biaya perkara senilai Rp.1.000,- (Seribu Rupiah) dan diputus dengan hukuman pidana percobaan 1 bulan 15 hari dengan tidak perlu menjalani hukuman dan dengan catatan tidak akan melakukan tindak pidana lain selama masa percobaan 3 bulan oleh Yth.Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto hanya karena pada tanggal 2 Agustus 2009 ketahuan oleh mandor Tarno “mengambil jatuhan” 3 (tiga) butir biji kakao (coklat) di PT. Rumpun Sari Antan (RSA) yang jika di jual hanya seharga Rp.500,- (Lima Ratus Rupiah), tapi sepertinya oleh mandor Tarno di laporkan ke atasannya sebagai “pencurian”, entah dengan tujuan untuk mencari muka agar bisa naik gaji atau jenjang status kedudukan karena dianggap sebagai tenaga handal dalam menjaga aset perusahaan dan atau bisa juga agar tidak terkena imbas di PHK mengingat masa kerja yang bersangkutan baru seumur jagung (7 bulan) pasti ada kekuatiran jika yang bersangkutan akan bernasib sama seperti yang akhir-akhir ini sedang marak dilakukan oleh hampir sebagian perusahaan di Indonesia yang tidak mampu melawan perekonomian yang sedang tidak menentu dan tidak bersahabat dengan perusahaan-perusahaan hingga berdampak buruk pada para pengusaha dan para karyawan/ti hingga mau tidak mau terjadilah PHK tersebut dan untuk hal maksud isi hati mandor Tarno melakukan pemutar balikkan fakta kejadian yang sebenarnya, mungkin hanya mandor Tarno dan TUHAN lah yang tahu segalanya, karena setelah Mbok Minah menyandang status sebagai narapidana pun sepertinya mandor Tarno masih belum puas, hal mana terlihat jelas pada saat yang bersangkutan tiba-tiba menjadi layaknya seorang selebritis di wawancara oleh para wartawan media elektronik dan media cetak, yang bersangkutan berkoar dengan alasan meluruskan tentang bahwasanya kakao yang dicuri oleh Mbok Minah bukan Cuma 3 (tiga) buah, melainkan 3 (tiga) kg atau + 36 buah, sehingga timbul pertanyaan berikut :
- Apakah mungkin meluruskan bukti bisa dilakukan di luar persidangan tanpa adanya Majelis Hakim??
- Apakah mungkin jika “memang benar” yang dilaporkan sekaligus merupakan bukti “barang bukti yang ada pada Jaksa” adalah 3 kg tapi yang terungkap di persidangan Pengadilan “hanya 3 buah”??
Padahal pertimbangan Hukum yang digunakan Majelis Hakim dalam memutuskan suatu perkara adalah merupakan dasar argumentasi penilaian tentang benar/adil dan tidak benar/tidak adilnya putusan yang dibuat oleh Majelis Hakim suatu perkara.

2. Perilaku Pengadilan dalam Penegakan Hukum
Di era sekarang ini penegakan hukum merupakan bagian dari tuntutan masyarakat luas yng menginginkan adanya reformasi hukum guna kepercayaan publik, harga diri dan kewibawaan guna mengangkat harkat sekaligus martabat lembaga sesuai dengn kemewahan baju dinas dan kegarangan yang dibuat di ruang sidang pengadilan sebagaimana filosofi jawa “ajining rogo jalaran songko busono” yang telah hancur dan rusak akibat ulah “para oknum” di lembaga penegakan hukum yang di bebankan pada para hakim, para polisi selaku penyidik dan para jaksa selaku penuntut umum yang sering disebut dengan istilah “Criminal Justice System” sebagai perilaku penegak hukum, yang menurut MAX WEBER dapat digunakan dan dipelajari dengan 3 pendekatan berikut :
1. Pendekatan moral terhadap hukum, hukum harus mengekspresikan moral pada umumnya;
2. Pendekatan dari sudut ilmu hukum normatif, hukum harus otonom dari filosofi dan asas-asas politik;
3. Pendekatan sisiologis terhadap hukum, hukum hanya fokus pada hukum sebagai perilaku, tindakan dan realita.
Oleh karenanya salah satu faktor penting agar penegakan hukum dapat terlaksana secara optimal dan bermartabat adalah perbaikan dan perubahan perilaku hukum daripada penegak hukum (Para Polisi, Para Jaksa dan Para Hakim)yang dalam menjalankan tugas penegakan hukum tidak semata-mata hanya sekedar menjalankan “pelaksanaan perundang-undangan/Law Inforceman, eksekusi secara teoritis” saja, akan tetapi harus bergantung juga pada beberapa factor berikut :
1. Faktor hukum dan atau peraturan itu sendiri;
2. Faktor petugas yang menegakkan;
3. Faktor warga masyarakat yang terkena lingkup peraturan hukum;
4. Faktor kebudayaan;
5. Faktor sarana yang diharapkan dapat mendukung pelaksanaan hukum;

3. Putusan Hakim adalah cermin lembaga yang bermartabat
Pernyataan Ketua Majelis Hakim persidangan tentang pengadilan tidak bisa menolak meyidangkan perkara setelah menerima berkas perkara mau tidak mau harus menyidangkan perkara, adalah benar, hingga yang bersangkutan lupa bahwa sebagai hakim yang bersangkutan dituntut untuk menggali hukum yang berkembang di masyarakat agar putusan yang dijatuhkannya bisa dianggap adil menurut masyarakat, tapi memang sulit kalau bicara tentang keadilan karena yang dianggap adil oleh pihak yang satu belum tentu dianggap adil oleh pihak yang lain, apalagi jika kita harus menentukan adilnya suatu putusan hakim yang hukumnya diterapkan secara “tidak professional dalam arti formalistic legal thinking” dimana hakim hanya menjadi corong undang-undang saja sebagaimana hukum murni yang diajarkan HANS KELSEN, tentang bahwasanya hukum itu harus bersih memenuhi unsur yuridis, sosiologis dan filosofis.

4.Kesimpulan dan Saran
Rakyat kecil seperti Mbok Minah yang pada dasarnya adalah petani kecil kakao yang sudah punya 200 bibit kakao dan berkeinginan menambah bibit dengan cara mengambil yang terjatuh di bawah pohon kakao PT.RSA, adalah korban dari ketidakadilan penerapan hukum lembaga peradilan yang diciptakan oleh Yth. Majelis Hakim yang ditempatkan di Pengadilan Negeri Purwokerto selaku pemegang palu kewenangan yang seharusnya bisa mengungkapkan kebenaran dan memberikan putusan yang adil sesuai dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, untuk itu ada baiknya jika dalam melaksanakan tugas penegakkan hukum harus sejalan dengan gagasan normatif dan kesadaran bahwasanya kelak yang bersangkutan harus mempertanggung jawabkan hasil pekerjaannya dihadapan Tuhan Yang Maha Esa, sungguh ironis upaya untuk mengembangkan penghasilan keluarga dari kakao yang di punggut malah berujung pada hukuman pidana yang walaupun percobaan tapi tetap saja harus menyandang status sebagai narapidana seumur hidup untuk sesuatu yang menurut penulis jika Yth. Majelis Hakim mau benar-benar dengan hati nurani meneliti pokok permasalahan dengan cara sebagaimana yang telah penulis uraikan dengan jelas di butir 1, 2 dan 3, sebenarnya bukan merupakan suatu kesalahan yang sampai harus dijatuhi hukuman seperti itu, sungguh tragis dan sepertinya memang sulit dan tidak mungkin berharap pada hakim yang juga adalah manusia biasa untuk menempatkan posisi keadilan pada rakyat kecil, jadi mau tidak mau mungkin keadilan hanya bisa didapatkan pada sidang pengadilan di padang Mahsyar yang dipimpin oleh Tuhan Yang Maha Adil.

PERANAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) DALAM KEGIATAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

PERANAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD)
DALAM KEGIATAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh: LUKMAN NPM : 7109094 (Mhs S2 Hukum UID Kelas Palu)
Dosen: Prof Dr H Zainuddin Ali MA
PENDAHULUAN
A.Latar belakang
Sejalan dengan tuntutan reformasi guna memenuhi rasa keadilan masyarakat di daerah ,memperluas serta meningkatkan semangat dan kapasitas partisipasi daerah dalam kehidupan nasional ,serta memperkuat negara kesatuan Republik indonesia. Maka dalam rangka pembaharuan konstitusi ,MPR RI membentuk sebuah lembaga perwakilan baru yakni Dewan Perwakilan Daerah Republik indonesia (DPD RI) ini di lakukan melalui perubahan ketiga Undang undang Dasar 1945 (UUD 1945) pada bulan November Tahun 2001.
Keinginan yang kuat untuk mengakomodir aspirasio Daerah sekaligus memberikan peran yang lebih besar kepada Daerah dalam proses pengambilan keputusan politik tingkat Nasional .Keberadaan unsur utusan Daerah dalam keanggotaan MPR RI sebelum perubahan UUD 1945,di anggap tidak memadai untuk menjawab tantangan tersebut.Fenomena yang menarik dalam dunia pemberantasan tindak pidana Korupsi ,ketika DPR RI memberikan sambitan hangat terhadap lahirnya Komisi pemberantasan di Republik dengan di sahkannya UU No.30 Tahun 2002 tentang komisi pemberantasan Tindak pidana Korupsi menjadi angin segar terhadap pemberantasan kejahatan kejahatan yang berhubungan langsung dengan kuangan Negara/masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian ,Transparancy Tnternational ,yang mengungkapkan DPR sebagai Lembaga yang terkorup di mata Publik ,Stigma ini semakin Heboh ,Perihal lirik Lagu ,Grup Band Slank :Gosip Jalanan, yang cenderung menyentil prilaku anggota DPR .Berbagai kasus korupsi besar justru terungkap oleh publik .Prediksi pemerhati korupsi Dunia Jarred Diemen dalam Bukunya ,Collaps 2005 lalu,memprediksi bahawa indonesia sebagai 14 Negara terkorup di dunia ,menjadi salah satu contoh negeri yang akan gagal seperti halnya kegagalan Romawi,Turki,Mojo Pahit yang runtuh karena persoalan korupsi yang tidak tertangani dengan serius. Berdasarkan hasil survey PERC(Political end Economic Risk Consultancy )tahun 2008 yang bermarkas di Hongkong di lakukan pada bulan januari sampai pebruari tahun 2008 atas 1400 warga negara asing pelaku Bisnis telah memposisikan indonesia telah membaik di bandingkan skor PERC tahun 2007 lalu 8,03 kini Negara kita menjadi 7,98 dengan terbongkarnya berbagai kasus korupsi .Semoga prediksi ini menjadi sebagai sebagai media intropeksi.
Pemaparan di atas menunjukkan betapa ironisnya bangsa ini yang tumbuh dan berkembang di tengah tengah kasus korupsi yang di lakukan oleh panglima penegak Hukum seperti yang terjadi antara polri vs KPK dengan istilah Cicak Buaya dalam rangka membongkar kasus Bank Century yang telah merugikan Negara 6,7 Trilyun sampai saat ini belum di ketahui kemana aliran dana tersebut .Hal ini menjadi suatu tantangan berat ,bukan hanya tugas lembaga pemberantasan korupsi melainkan menjadi tugas kita bersama bangsa ini.

B.Rumusan Masalah.
1 Pengertian dan peranan DPD RI
2. Kerawanan dan Potensi korupsi
3. Mengapa Korupsi terjadi
4. Korupsi perlu di berantas.
5. Tinjauan Korupsi di indonesia
a.Sejarah Korupsi di indonesia
6.Tugas pemberantasan Korupsi tugas kita bersama.
1. PENGERTIAN DAN PERANAN DPD RII
DPD RI adalah merupakan lembaga perwakilan baru dalam sistim ketatanegaraan indonesia yang di bentuk berdasarkan perubahan ketiga UUD 1945.DPD RI di bentuk dalam rangka mengakomodasi kepentingan Daerah melalui perumusan kebijakan di tingkat nasional.Dewan perwakilan Daerah didirikan berdasarkan Undang undang No.22 Tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan Majelis permusyarawatan Rakyat,DPR,DPD dan DPRD .Tugas pokok DPD RI adalah menyerap ,menghimpun ,menampung dan menindak lanjuti aspirasi masyarakat dan daerah di samping itu mempunyai kewenangan antara lain berupa pengawasan yang yang berkaitan dengan pelaksanaan undang undang mengenai otonomi Daearah dan anggara pendapatan belanja negara (APBN) Keuangan Negara dan pajak.
Secara garis besar fungsi DPD RI.
1. Fungsi legislasi adalah ikut dalam pembahasan pembuatan Undang undang dan usul inisiatif Undang undang yang terkai 5 bidang kedaerahan yaitu otonomi Daearah ,Hubungan pusat dan daerah , Pembentukan pemekaran serta penggabungan Daerah ,pengelolaaan sumber Daya dan Sumber daya ekonomi terkait dengan perimbangan pusat dan Daerah.
2. Fungsi Konsultasi adalah memberikan pertimbangan baik soal anggaran pendapatan belanja Negara (APBN) pajak ,pendidikan dan agama dan memberi pertimbangan dalam pemilihan anggota BPK
3. Saluran formasi Aspirasi Daerah.



Dari ketiga fungsi strategis DPD tersebut dapat di kembangkan dalam kegiatan riil pemberantasan korupsi misalnya menerima pengaduan masyarakat tentang korupsi ,mendistribusikan formulir laporan Gratifikasi ,mendistribusikan formulir LHKPN, melakukan pemantauan penanganan kasus kasus tindak pidana korupsi di daerah,memberikan pertimbangan terhadap arah dan kebijakan maupun distribusi dan alokasi anggaran yang terkait dengan otonomi daerah ,hubungan pusat dan Daerah,pengelolaan sumberdaya alam dan sumber daya ekonomi daerah
Laporan tindak pidana korupsi yang telah di sampaikan DPD RI kepada KPK Tahap 1 tanggal 28 maret tahun 2008 . Prov Bengkulu(dana perimbangan khusus PBB) Rp.21,32 M
-Kab waropen papua APBD TA 2004-2006 Rp. 11,13 M
-Kab waropen papua OTSUS TA 2004 Rp. 8,5 M
-Kab yapen waropen, Papua( OTSUS)TA 2004 Rp. 8,3 M
-Kab tolikara ,papua ( NON DIK) tak tersangka RP. 28,39 M
- Prov SUMUT PNBP Univ Sumut Rp. 93,21 M
- Kab Bombana SULTRA APBD TA. 2005-2007 RP. 36,60 M
-Kab Tanah Toraja sul sel APBD TA 2004-2006 Rp. 10,40 M

Laporan tahap 11 (kedua) tanggal 4 juli tahun 2008.
-Kab Gorontalo pembuatan sinetron sejarah Gorontalo Rp. 3,5 M.
-Kota Gorontalo ( Bantuan kepada persatuan sepak bola) Rp. 2,6 M
Gorontalo TA 2006-2007
Kab. Tangerang APBD TA 2003/2007 pembangunan jalan
Lingkar selatan RP. 28,7 M
- Kabupaten Tangerang (Raskin Tahun 2007 ) Rp. 10,7 M
- Prov Maluku( konflik Maluku ) Rp. 1,4 M
- Prov Jawa Timur ( Proyek Outsourcing Customer) Management Rp 152,6 M

Systim PT PLN Persero)
Laporan tahap ke 111 . .Sebanyak 4 Laporan dugaan korupsi telah di sampaikan ke KPK tgl 6 Pebruari 2009
-. Kab Rokan Hulu ,Riau. Pengadaan Genset dan perlengkapannya Pada tahun anggaran 2005-2006 dengan indikasi kerugian negara senilai Rp.11,192 M
-. Prov Papua APBD tahun Anggara 2006,Belanja bantuan keuangan pada APBD Indikasi kerugian Negara di perkirakan sebesar Rp.5,2 M
-. PT.ASDP Pengadaan Kapal Bekas Korea dan Bantuan tsunami Aceh pada PT ASDP,Angkutan sungai Danau dan penyeberanganIndonesia Fery tahun 2003 sampai 2007 indikasi korups kerugian Negara di perkirakanRp.12,3 M dan US$ 660 ribu.
-. Borang Sumatera Selatan Pengadaan mesin pembangkit Listrik truck mourted 2500 pada PT PLN Persero . Di Borang Sumatera Selatan dengan indikasi kerugian Negara senilai US$ 6,53 juta.
Sebagai salah satu badan legislatif dengan fungsi kewenangan penuh untuk mengajukan usul membahas pertimbangan dan melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU terutama yang menyangkut kepentingan Daerah,Untuk memperkuat sistim checks balance melalui amandement UUD 1945 dan mengembangkan pola hubungan kerja sama yang sinergis dan strategis dengan pemangku kepentingan utama di daerah dan pusat. Penegakan hukum(Law enforcement) harus jelas dan tegas dan tidak pernah kompromi lagi Menurut Prof Dr Satjipto Rahardjo,SH,bahwa penegakan Hukum Progresif,kepentingan dan kebutuhan bangsa lebih di perhatikan dari pada bermain main dengan pasal,dokrin,dan prosedur.
Hilangkan pertimbangan pertimbangan politis sesaat dengan motif pelanggenan kekuasaan ,sudah saatnya kita harus memiliki pemimpin seperti perdana menteri China Zhu Rongi yang pada pelantikannya tahun 1998,di kenal dengan perkataannya,untuk melenyapkan korupsi saya menyiapkan 100 peti mati,99 untuk para koruptor dan 1 satu saya bila saya berbuat yang sama. Ungkapan ini yang belum pernah di ucapakan oleh pemimpin negeri ini.

2. KERAWANAN DAN POTENSI KORUPSI
Kerawanan Korupsi terjadi di mulai dari lemahnya sistim administrasi ,adanya disparitas pendapatan yang tinggi dan sering terjadi di area penyusunan anggaran ,pemasok anggaran dan kegiatan kegiatan di antaranya pada pengadaan barang ,perijinan ,pelayanan publik dll. Lebih dalam sendiri potensi potensi korupsi perlu terus di antisipasi dan di cari solusinya di antaranya sisi negativ pola pikir manusia ,budaya ketaatan hukum ,visi bangsa ,kesejahteraan ,nilai nilai sosial kemasyarakatan merupakan potensi dan kerawanan korupsi.
3. MENGAPA KORUPSI TERJADI ?
Perilaku Korupsi secara sederhana bisah di contohkan dengan menyebutkan tindakan penggelapan ,penyalagunaan jabatan penerimaan suap penyalagunaan wewenang dll. Prof Robert Klitgaard merumuskan terjadinya korupsi di jabarkan melalui sebuah persamaan yang terkenal yaitu:C=M+D-A.
C= Coruption
M=Monopoly (monopoli kekuasaan)
D=Discretionary Power (kebebasan memilih atau menentukan Penjabat)
A=Acountability(Akuntabilitas)
Secara matematis terjadinya korupsi merupakan fungsi dan penjumlahan monopoli kekuasaan di tambah di tambah dengan kewenangan di kurangi Akuntabilitas .Semakin M dan D akan memperbesar korupsi sebaliknya kalau sekmakin besar akan mengurangi kemungkinan korupsi
Good governance merupakan syarat mutlak mewujudkan pemerintahan yang bersi dan berwibawa ,namun skort kita masih memprihatinkan kita.
Good Governance di Asia Tenggara Tahun 1999.
Negara Indeks Efesiensi peradilan Indeks Korupsi Indeks Good
Governance Kategori Kualitas
Governance
Malaysia 9,00 7,38 7,72 Good Governance
Singapura 10,00 8,22 8,93 Good Governance
Thailand 3,25 5,18 4,89 Fair Governance
Filipina 4,75 7,92 3,47 Fair Governance
Indonesia 2,50 2,15 2,88 Poor Governance
Sumber Booz Allen & Hamilton seperti di kutip Irwan (2000)dan Hutherand shah(2000)

Yang menarik data tabel di atas terlihat hubungan yang positif antara indeks korupsi ,efesiensi peradilan dan indeks Good Governance.
4. MENGAPA KORUPSI PERLU DIBERANTAS?
Menurutn PBB/UNCAC korupsi telah menghancurkan Demokrasi ,tatanan Hukum Pembangunan kesinambungan ,pasar kualitas hidup ,keamanan masyarakat ,bahkan indonesia sendiri telah menyatakan korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary Crime) yang ongkos sosial dan korupsi justru diderita oleh rakyat diantaranya:
a. Kegagalan fungsi peraturan ,Misal orang di biarkan merusak lingkungan karena sudah memberi suap kepada pengawas lingkungan /tambang mengakibatkan daya dukung lingkungan rusak yang menyebabkan banjir ,dan kekeringan sehingga masyarakat kehilangan mata pencaharian..
b. Kesalahan pengalokasian proyect/anggaran.
c. Terbuangnya waktu untuk pengurusan perijinan resmi misalnya industri dan perdagangan , pengurusan SIM yang lebih lama di banding jalur tidak resmi mengakibatkan turunnya kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan publik.
d. Kelambatan /kurangnya sumber daya pendapatan pajak /bea cukai yang tidak terkumpul seperti seharusnya.
e. Kualitas pekerjaan yang rendah ,nilai suap /korupsi yang sampai 30 % dari nilai kontrak barang /jasa akan menurunkan kualitas barang/jasa.
f. Penghindaran oleh Birokrasai ,hanya mau melayani pada rakyat yang membayar suap besar.

5. TINJAUAN KORUPSI DI INDONESIA
Korupsi di indonesia secara umum terjadi karena kan beberapa sebab di antaranya sikap permisif di masyarakat ,peraturan perundang undangan yang tidak memadai ,lemahnya penegakan hukum ,kurangnya keteladanan dan kepemimpinan juga sistim penyelenggaraan negara ,pengelolaan dunia usaha yang tidak mengindahkan prinsip prinsip Good Governance ,bahkan sebagian masyarakat dalam memahami ajaran budaya dan agama sering di belokkan pemahamannya contoh Riilnya ;Rejeki yang kita terima terkandung juga rejeki orang lain: Orang lain di sini tidak di pahami sebagai orang yang memerlukan bantuan misalnya panti sosial ,orang miskin ,orang tyerlantar justru di artikan adalah orang orang yang telah berjasa terhadap rejeki yang di dapatnya misalnya kalau dapat project dari pemerintah akan melakukan penyuapan ke manejer project,kalau undang undang di golkan karena menguntungkan usahanya akan menyuap DPR dll
Sejarah Korupsi di Indonesia.
Sejarah pemberantasan korupsi di indonesia sendiri sudah cukup panjang bahkan lebih dulu seperti yang di lakukan Malaysia dengan berdirinya Badan Pencegah Rasuah tahun 1967,atau Brunei dengan Badan Mencegah Rasuah tahun 1968 ,Hongkong dengan ICAC (Indepent Commisian on anti Coruption) tahun 1974 yang prestasinya fenomenal .
Faktor faktor yang mendasari suksesnya pemberantasan korupsi di negara lain di antaranya.:
a. Kesungguhan para pemimpin pemerintahan dan penegak Hukum dalam pemberantasan Korupsi
b. Langkah langkah koprehensif antara penindakan dan pencegahan untuk mencegah prilaku korupsi tidak menyebar dan menular. Korupsi di indonesia sudah ada sejak zaman VOC (Veerenigde Oost Indishe Copagnie) yang bangkrut kemudian hancur perang dan korupsi yang merajalela di dalam tubuhnya sendiri ,dan di teruskan di pemerintahan kolonial Inggris,Belanda dan Jepang .Pada awal tahun kemerdekaan istilah korupsi secara yuridis belum di kenal ,definisi korupsi yang di kaitkan keuangan negara belum muncul ,walaupun ada beberapa tindakan tidak jujur atau upaya memperkaya diri sendiri yang di lakukan oleh beberapa elit kekuasaan .Istilah maling ,Rampok ,tukang catut lebih di pahami untuk menggambarkan prilaku seseorang yang korup
Beberapa organisasi yang pernah di bentuk untuk memberantas korupsi:
a. Peraturan penguasa militer Angkatan darat dan laut RI No PRT/PM/06/1957,sebagian besar dan militer di anggap mampu untuk itu kalangan waktu itu berpendapat bahwa pemberantasan korupsi harus di lakukan secara efektif dan efisien dan militer di anggap mampu untuk itu.Untuk memperkuat peraturan ini ,di keluarkan lagi peraturan penguasa militer No. PRT/PM/08/1957. Yang mengatur tentang kepemilikan harta benda dan pertatura dan perampasan harta benda .Dalam perjalanannya peraturan tersebut di mamfaatkan oleh militer untuk mengambil asset asset perusahaan besar yang mayoritas di kuasai oleh Belanda .Tahun 1958 peraturan tersebut di tingkatkan menjadi peraturan nasional oleh KASAD selaku penguasa perang menjadi PRT/Peperlu/013/1958.Kewenangan baru di berikan yaitu kewenangan mengusut ,menuntut dan melakukan pemeriksaan tindak pidana korupsi serta kepemilikan harta Benda .Namun perkembangan selanjutnya justru bermasalah dan di sorot publik , karena dianggap bahwa militer tidak hanya mulai memasuki dunia Bisnis tetapi juga mengakibatkan banyaknya pejabat militer yang memperkaya diri sendiri secara tidak sah, yang akhirnya karena di anggap tidak terkendali oleh KASAD waktu itu Jenderal AH nasution mencabut UU No. 74 tahun 1957 tentang keadaan bahaya yang mendasari terbitnya peraturan peraturan militer itu.Dan dengan alasan yang mendasar pemerintah mengeluarkan perpu no. 24 tahun 1060 sebagai pengganti UU No .1 tahun 1961 sebagai payung pemberantasan korupsi,oleh karena politik yang memenas UU tersebut mati suri.
b. Tahun 1967 pemerintah menerbitkan Keppres no 28 tahun 1967 tentang pembentukan Tim pemberantasan Korupsi berdasarkan tuntutan masyarakat dan mahasiswa.Tahun 1968 soekarno meletakkan jabatan di depan umum MPRS,setelah itu korupsi makin merajalela seolah olah mendapat dukungan dari penguasa tahun 1970 dengan pertimbangan agar segala usaha pemberantasan korupsi berjalan denga efektif dan efesien.Keppres ini sebagai jawaban atas protes mahasiswa dan masyarakat sipil lainnya ,yang mengatur pembentukan Komisi empat yang di ketuai Wilopo,Selain itu melalui Keppres no 13 Tahun 1970 presiden mengangkat M Hatta sebagai penasehat nTim pemberantasan Korupsi ,Selanjutnya keluar UU No 3 Tahun 1971 tentang tindak pidana Korupsi
c. Tahun 1977 pemerintah membentuk operasi Tertib (opstib) untuk memberantas korupsi ,manipulasi dan pungutan liar
d. Tahun 1987 melalui surat menkeu No.S-1234/MK 04/87 menteri mengeluarkan kebenaran restitusi pajak.
e. Selanjutnya Tahun 1997/1998 terjadi krisis moneter serta tumbangnya pemerintahan soeharto karena desakan mahasiswa dan masyarakat seluruh indonesia .Peritiwa ini merupakan puncak protes atas begitu merajalelahnya praktek korupsi era pemerintahan Soeharto.
f. Tahun 1999 pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid membentuk Badan Negara untukk mendukung pemberantasan Korupsi di antaranya Tim gabungan penanggulangan Ttindak pidana Korupsi (TGP-TKP),Komisi Ombudsman Nasional,Komisi kekayaan pejabat Negara (KPKPN),selanjutnya UU No m28 Tahun 1999 di terbitkan yang mengatur tentang pemerintahan yang bersi dan bebasbdari KKN dan UU No .31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1973 tentang Tindak pidana Korusi.
g. Tahun 2001 di bawa pemerintahan megawati Keluarlah UU No .20 tahun 2002 tentang perubahan atas UU RI No .31 tahun 1999 tentang pemberantsan tindak pidana korupsi bersamaan dengan itu pemerintah membubarkan Komisi pemeriksa Kekayaaan pejabat Negara,
h. Tahun 2005 di era pemerintahan SBY di bentuk TIMTAS TIPIKOR berdasarkan Inpres sebuah Tim koordinasi antara Kejaksaan Agung,Kepolisian dan BPKP yang beberapa lama kemudian bubar.
Beberapa hal menarik kenapa oranisasi organisasi tersebut gagal.
1. Tidak memadai pada komponen pencegahan ,walaupun mandat yang di berikan mencakup pencegahan
2. Bagus hanya beberapa tahun pertama ,setelah itu malah ikut akorupsi.
3. Diarahkan hanya untuk penghukuman ,tidak cukup perhatian pada upaya pelacakan asset (hasil korupsinya)
4. Sering di persepsikan sebagai di gunakan untuk kepentingan tertentu.
5. Sistim manajemwn SDM tidak di arahkan untuk mendukung Kinerja.
6. Sistim manajemen keuangan tidak di arahkan untuk mendukung kinerja.

6. TUGAS PEMBERANTASAN KORUPSI ADALAH TUGAS KITA BERSAMA.
Pemberantasan korupsi bisa di ibaratkan sebagai perang suci yang tidak bisa di prediksikan kapan selesainya,siapa yang memenangkan peperangan negara atau Koruptor ,tetapi yang perlu di yakini kegiatan pemberantasan korupsi ini perlu terus menerus di lakukan dan menjadi tanggung jawab seluruh warga negara ,beberapa hal yang dapat di jadikan faktor faktor keberhasilan kegiatan ini antara lain:
- Keinginan yang kuat dan bersungguh sungguh lembaga Eksekutif,Legislatif, maupun Yudikatif. Namun kenyataannya dari lembaga lembaga tersebut kesungguhan dalam pemberantsan korupsi di rasa masi kurang ,bahkan anggota lembaga tersebut justru terlibat dalam tindak pidana korupsi .Selain itu fungsi badan badan pengawasan yang belum efektif, peraturan perundang undangan yang kurang mendukung ,serta belum di terapkannya prinsip prinsip Good Governance di seluruh bidang.
- Keberanian dan terrebosan dari penegak hukum,kegiatan kegiatan ini bisa di ukur dengan jumlah yurisprudensi yang di hasilkan oleh putusan putusan pengadilan ,asset asset yang banyak di kembalikan dari tersangka/terdakwa ,Keberhasilan menangani korupsi yang bersifat sindikat, korupsi lintas negara dll.
- Keterlibatan masyarakat sipil tidak hanya LSM tetapi lembaga lembaga Keagamaan ,pendidikan bahkan pengusaha harus berperan aktif untuk mendorong terciptanya transparansi pengelolaan keuangan ,melalui kegiatan pendidikan anti korupsi baik di pendidikan formal maupun keagmaan ,mengkampanyekan Bisnis tanpa Suab
- Hukuman berat bagi pelaku kejahatan korupsi ,para penegak hukum perlu menyadari bahwa korupsi telah menimbulkan kerusakan yang hebat bagi bangsa dan negara oleh karena itu tidak perlu ragu menghukum seberat beratnya juga merampas aset yang di hasilkan melalui kejahatan korupsi.
- Melakukan reformasi birokrasi ,Instansi pemerintah, penegak hukum,dan instrumen negara lainnya perlu mencanangkan segera mengimplementasikan reformasi birokrasi .Dapat di mulai melalui sistim rekruitmen yang baik /independen .perencanaan jalur karir yang jelas ,sisti reward /punistment ,hubungan antar pegawai yang harmonis serta penataan ulang siistim rekruitmen.
- Penambahan kekayaan para pejabat perlu di laporkan,di umumkan di monitor secara terus menerus.
- Pendidikan anti korupsi perlu di lakukan secara massive di mulai dari usia dini hingga dewasa ,menjadi nilai nilai keluarga dan sosial
- Penguatan terhadap lembaga pengawas ,fungsi lembaga pengawas di perkut baik baik melalui pengawasan internal maupun pengawasan eksternal.-.Penertiban aparat penegak hukum.
- Nasional integrity pemerintah perlu segera panduan terkait Integritas nasional, baik yang mengatur aparatur negara ,para pelayan publik,maupun pengusaha sehingga jelas ,dapat di pahami dan di implementasikan oleh masyarakat mana yang boleh dan mana yang tidak boleh,serta membuat ukuran ukuran pelayanan publik yang harus di lakukan.
1. Pola pemberantasan korupsi yang ada kurang memberi efek jerah kepada para koruptor,lemahnya sistim admnistrasi kepegawaian kita ,sisi negative pola pikir manusia ,budaya ketaatan hukum ,visi bangsa sangat kurang.
2.Faktor tekanan sosial dalam masyarakat menurut Robert merton yang terkenal dengan Teorinya means ends scheme ,bahwa korupsi merupakan prilaku manusia yang di akibatkan tekanan sosial ,sehingga menyebabkan pelanggaran norma norma ini menjadi tantangan budaya kita yang cenderung menghargai orang yang lebih kaya dari pada orang miskin.
3.Tidak adanya tauladan yang memberi contah prilaku bebas korupsi .
4.Di dalam dunia politik ,korupsi mempersulit Demokrasi tata pemerintahan yang baik (Good Governance Korupsi yang mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai Demokrasi.
5.Di bidang ekonomi ,Korupsi yang mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi (kekacauan) dan ketidak efesienan yang tinggi
6.Peranan Dewam Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI)masi sekedar memberi laporan adanya indikasi korupsi yang merugikan keuangan negara ke KPK
7. Semua lembaga lembaga yang di bentuk untuk memberantas korupsi belum mampu menyelesaikan dan menghilangkan korupsi di negeri ini
8.Kesungguhan para pemimpin pemerintahan dan penegak hukum dalam pemberantasan korupsi masi ragu ragu,serta langka langkah konprehensip antara penindakan dan pencegahan prilaku korupsi tidak menyebar dan menular).
DAFTAR PUSTAKA

1. Bahan Sosialisasi .Kerja sama KPK-DPD RI. Dalam upaya pemberantasan Korupsi di Tanah air.
Di sampaikan oleh: Tim Upaya pemberantasan Korupsi di DPD RI.
2. Sujanarko. Di rektur:PJKAKI KPK
3. Sejarah Hukum Indonesia

Senin, 07 Desember 2009

TUGAS HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA DI TINJAU DARI ASPEK SOSIOLOGI

TUGAS HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA DI TINJAU DARI ASPEK SOSIOLOGI
Oleh: LINTON SIRAIT, SH.
Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A.

BAB I
Pendahuluan
Latar Belakang
Indonesia sebagai Negara hukum menganut sistem hukum “ civil law “ ( Eropa Kontinental ), yang diwarisi dari pemerintah kolonial Belanda semenjak ratusan tahun lalu. Dalam sistem hukum civil law, hukum tertulis adalah merupakan primadona sebagai sumber hukum. Hal itu ditandai oleh munculnya suatu gerakan kodifikasi, oleh aliran legisme, yaitu aliran dalam ilmu hukum dan peradilan yang tidak mengakui hukum diluar Undang-undang.
Mereka mengatakan bahwa hukum adalah identik dengan Undang-undang, sedangkan kebiasaan dan ilmu pengetahuan hukum, diakui sebagai hukum apabila Undang-undang menunjuknya. mereka mengatakan bahwa Undang-undang (kodifikasi) justru diadakan untuk membatasi hakim, yang karena kebebasannya telah menjurus kearah kesewenang-wenangan atau tirani.
Sikap absolustisme hakim pada waktu itu mendukung, atau melegalisir kekuasaan raja dalam sistim pemerintahan Monarchi Absolut. Akan tetapi apabila hukum tertulis tidak lengkap atau belum dapat menjawab permasalahan yang ada untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapi, barulah dicari kelengkapan dari sumber hukum yang lain-lainnya. Menurut Sidikno Mertokusumo, Sumber hukum adalah peraturan perundang-undangan, kemudian kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian Internasional, barulah dokrin. Jadi terdapat hirarkhi atau kewerdaan dalam sumber-sumber, dan ada tingkatan-tingkatan. Selain itu menurut TAP MPR, sumber hukum meliputi : Pancasila, hukum tertulis, dan hukum tidak tertulis, yang dipakai sebagai sumber ( bahan ) menyusun peraturan perundang-undangan.
Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, menghadapi suatu kenyataan, bahwa hukum tertulis tersebut ternyata tidak selalu menyelesaikan masalah yang dihadapi. Bahkan seringkali hakim sering menemukan sendiri hukum itu ( Rechtsvinding ), dan /atau menciptakan ( Rechtsscheping ), untuk melengkapi hukum yang sudah ada, dalam memutus suatu perkara. Hakim atas dasar inisiatif sendiri harus menemukan hukum, karena hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukum tidak ada, tidak lengkap, atau hukum samar-samar.
Masalahnya sekarang, bagaimana membuat putusan yang baik agar dapat menjadi referensi terhadap pembaharuan hukum, dalam era reformasi dan transformasi sekarang ini? Untuk itu hakim senantiasa harus melengkapi diri dengan ilmu hukum, teori hukum dan filsafat hukum. Hakim tidak boleh membaca hukum itu hanya secara normatif ( yang terlihat ) saja. Dia dituntut untuk dapat melihat hukum itu secara lebih mendalam, lebih luas dan lebih jauh kedepan. Dia harus mampu melihat hal-hal yang melatar belakangi suatu ketentuan-ketentuan tertulis, pemikiran-pemikiran apa yang ada disana, dan bagaimana rasa keadilan dan kebenaran masyarakat akan hal itu. Putusan hakim yang demikian, akan dapat menjawab permasalahan utama sekarang ini.
Teori yang akan digunakan dalam hal ini adalah metode-metode penemuan hukum yang akan digunakan baik sebagai pisau analisis, maupun sebagai wacana. Dengan menggunakan metode-metode interpretasi, analogi dan argumentum akontrario, seorang hakim harus menemukan hukum itu untuk menyelesaikan masalah ( sengketa ) yang dihadapi. Melalui metode penelitian normatif diteliti beberapa putusan-putusan Mahkamah Agung ( yurisprudensi ) yang berkualitas, yang secara langsung atau tidak langsung dapat berperan memperbaharui hukum ( Undang-undang ) pada waktunya. Metode penelitian Normatif dilakukan melalui penelitian kepustakaan.

BAB II
Permasalahan
Masalahnya sekarang, sanggupkah hakim melakukan peran seperti tersebut diatas? Jawabannya sanggup, apabila hakim mempunyai pengetahuan yang cukup, serta memiliki proses berfikir, sebagaimana diuraikan dalam tulisan ini. Dengan demikian yang menjadi pokok permasalahan adalah :
bagaimana seharusnya seorang hakim berfikir dalam proses penemuan hukum, agar dapat menghasilkan putusan yang berkualitas dalam setiap sengketa yang dihadapi.
Kemampuan seorang hakim akan terlihat dari kualitas putusan yang dilakukannya. Putusan yang berkualitas adalah hasil dari proses berfikir hakim yang bersangkutan, sudah barang tentu dengan bekal pengetahuan yang cukup tinggi dalam ilmu hukum, teori hukum, filsafat hukum, serta berbagai ilmu penunjang lainnya, yang dimilikinya.

BAB III
Pembahasan Masalah
A.Kesiapan Hakim
Indonesia pada saat ini berada dalam era reformasi dan transformasi, terutama di bidang hukum. Hal ini ditandai dengan berakhirnya era orde baru, dibawah pimpinan mantan Presiden Soeharto, yang beralih ke era reformasi, hingga sekarang. Terjadi banyak perubahan-perubahan terutama di bidang hukum, UUD tahun 1945 mengalami 4 (empat) kali perubahan (amandemen); Sistem pemerintahan otonomi, politik, dan demokrasi;
Terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK); dan sebagainya. Di bidang peradilan muncul konsep peradilan 1 ( satu ) atap, dibawah Mahkamah Agung Republik Indonesia, terlepas dari Departemen Kehakiman Republik Indonesia. Pada saat yang sama di bentuk Komisi yudisial, sebagai lembaga yang Independen yang bertugas merekrut Hakim Agung, dan melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap hakim, dan seterusnya. Terjadi Revisi (amandemen) perubahan terhadap Undang-undang Pokok Kekuasaan kehakiman, dan Undang-undang ke empat peradilan.
Keseluruhan perubahan-perubahan yang terjadi secara struktural di atas harus diikuti (diimbangi) oleh putusan-putusan pengadilan, terutama putusan kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia (yurispriudensi) dalam kasus konkret (sengketa) yang dihadapi. Dilain pihak putusan-putusan tersebut, harus dapat mengisi kekosongan hukum, yang tidak sanggup (sempat) dirumuskan secara (detail) oleh pembentuk Undang-undang. Untuk itu, Hakim harus mampu berperan dalam melakukan penemuan hukum ( recthsvinding ) pada saat memutus perkara.
B.Hakim dan Penemuan Hukum
Pada bagian ini, diuraikan tentang materi-materi apa yang harus dikuasai oleh hakim, dan bagaimana proses berfikir hakim dalam memutus perkara seperti :
1.Arti Pemenuan hukum
Mengapa penemuan hukum perlu ? hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, ternyata menghadapi suatu kenyataan, bahwa hukum yang sudah ada tidak dapat secara pas untuk menjawab dan menyelesaikan sengketa yang dihadapi. Hakim harus mencari kelengkapannya dengan menemukan sendiri hukum itu. Maka wajarlah kalau tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup seluruh kegiatan kehidupan manusia, sehingga tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkep-lengkapnya dan yang sejelas-jelasnya. Oleh karena itu hukumnya tidak jelas, maka harus dicari dan ditemukan. Jadi pertama-tama hakim harus menggunakan hukum tertulis lebih dahulu, akan tetapi apabila hukum tertulis tersebut ternyata tidak cukup atau tidak pas maka barulah hakim mencari dan menemukan hukum itu sendiri dari sumber-sumber lainnya. Menurut B. Arief Sidharta, ada 6 (enam ) jalur proses pembentukan hukum, salah satunya adalah melalui jalur proses peradilan.
2.Norma (kaedah) dan Ilmu Hukum
Pemahaman akan hukum, dimulai dengan pemahaman akan norma atau kaedah. Menurut Prof. Purnadi Purbacaraka, SH. Norma atau kaedah adalah pola hidup yang diciptakan oleh manusia untuk memenuhi-memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, agar terhindar dari rasa kuatir, atau agar tercipta rasa aman. Menurut teori Maslow, rasa aman tersebut berupa :
•Makanan, perumahan dan pakaian
•Keamanan diri dan harta benda
•Rasa ingin dihargai/dihormati
•Aktualisasi diri
•Rasa ingin dicintai.
Prof. Dr. Soerjono Soekanto, SH.,MA., mengatakan :
perubahan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan-kebutuhan primernya yang mencakup baik aspek materiil maupun aspek spiritualnya.
Norma atau kaedah yang sudah mendapat legitimasi secara formal akan menjadi norma hukum yang harus dipatuhi di dalam pergaulan masyarakat. Norma yang sudah menjadi hukum, di jamin kepastian hukumnya, melalui suatu sanksi atas pelanggarannya. Segala informasi tentang hukum, akan menjadi pengetahuan hukum seorang hakim. Informasi hukum yang sudah disusun menurut sistematika dan metode-metode ilmu pengetahuan (ilmiah), akan menjadi ilmu hukum, yang harus diketahui oleh seorang hakim secara mendalam.
Ilmu hukum ada yang bersifat normatif, empiris, dan ilmu yang bersifat filosofis. Selain itu ilmu hukum juga dapat dibedakan dari segi ilmu hukum murni teori semata-mata, dan ilmu hukum yang bersifat terapan. Hal itu semua dapat mengakibatkan disintegrasi dalam ilmu hukum secara ontologi, epistemologi, maupun axilogi.( Prof. Dr. Muchsin, SH ).
3.Proses dan Cara Berfikir Hakim
Proses dan Cara Berfikir Hakim untuk menemukan hukum, dapat dikelompokan dalam kedua aliran yaitu :
1. Aliran Konservatif,
2. Aliran Progresif.
Dari karya putusan seorang hakim, dapat diketahui apakah ia termasuk kelompok aliran konservatif atau aliran progresif. Mereka sendiri tidak menyebutkan bahwa mereka penganut dari salah satu aliran tersebut. Bahkan seringkali seorang hakim dalam setiap kasus ( secara kasuistis ) berubah-ubah pendirian. Dalam kasus (A) misalnya, dia memutus dalam aliran konservatif, tetapi dalam kasus (B) dia memutus dalam aliran progresif.
Pada aliran konservatif, hakim hanya mengkonstatir bahwa Undang-undang dapat diterapkan pada peristiwanya, kemudian hakim menerapkannya menurut bunyi Undang-undang. Dengan demikian maka penemuan hukum tidak lain merupakan penerapan Undang-undang yang terjadi secara terpaksa atau silogisme. Lie Oen Hock mengatakan : deduksi logis, menemukan sendiri hukum yang berlaku untuk peristiwa konkret. Hakim tidak menciptakan sesuatu yang baru, hakim hanya menemui dan menyatakan pikiran-pikiran yang tersembunyi dalam Undang-undang. Hakim hanya sekedar mulut atau corong Undang-undang, substantie automate atau la bouche de la loi, hakim tergantung pada bunyi Undang-undang, hakim heterotonom, memutus berdasarkan peraturan-peraturan yang berada diluar dirinya, oleh karena itu hakim tidak mandiri, hakim heterotonom karena harus tunduk pada Undang-undang.
Aliran progresif tidak hanya mempertahankan nilai-nilai yang ada, akan tetapi secara dinamis harus mampu menciptakan nilai-nilai yang baru atau merekayasa masyarakat sesuai dengan perkembangan jaman dan teknologi masyarakat. Lebih jauh Roscoe Paund mengatakan : Law as a tool of social engencering. Aliran progresif semakin popular dengan semakin kuatnya perkembangan ilmu sosiologi dan budaya ke dalam ilmu hukum. Muncullah aliran-aliran tentang sosiologi hukum dan budaya hukum ( legal culture ). Hukum yang timbul dan berkembang di masyarakat, menjadi lahan penemuan hukum, didalam pembaharuan hukum.
4.Metode Penemuan Hukum
Metode penemuan hukum bukan metode ilmu hukum, karena metode penemuan hukum hanya dapat digunakan dalam praktek hukum. Metode penemuan hukum juga bukan teori hukum. Metode penemuan hukum terdiri atas penafsiran hukum, seperti : penafsiran gramatikal; penafsiran sistematis; dan penafsiran teologis atau sosiologis. Metode penemuan hukum juga mencakup konstruksi hukum seperti : analogi, argumentum, akontrario, dan penghalusan hukum. Metode penemuan hukum hanya dapat dipergunakan dalam praktek terutama oleh dalam memeriksa dan memutus perkara.
Metode penemuan hukum diarahkan pada suatu peristiwa yang bersifat khusus, konkret dan individual. Jadi metode penemuan hukum adalah bersifat praktikal karena lebih dipergunakan dalam praktek hukum.
Hasil dari metode penemuan hukum adalah terciptanya putusan pengadilan yang baik, yang dapat dipergunakan sumber pembaharuan hukum. Putusan hakim juga berperan terhadap perkembangan hukum dan ilmu hukum, oleh karena itu putusan hakim juga dapat digunakan sebagai kajian dalam ilmu hukum.
Penafsiran hukum berasal dari ilmu heurmenetika. Yang berarti ilmu dan seni penafsiran. Pada mulanya penafsiran dilakukan untuk teks-teks tertulis. Tetapi kemudian berkembang pada penafsiran perilaku, perkataan dan pranata-pranata manusia yang dilakukan dalam ilmu-ilmu budaya.
5.Asas Kepastian hukum, Keadilan dan Kemanfaatan.
Hakim dalam memutus perkara, secara kasuistis, selalu dihadapkan kepada 3 (tiga) asas yaitu :
asas kepastian hukum; asas keadilan; dan asas kemanfaatan. Bahwa ketiga asas tersebut harus dilaksanakan secara kompromi, yaitu dengan cara menerapkan ketiga-tiganya secara berimbang atau proporsional. ( Sudikno Mertokusumo ). Menurut penulis hal ini tidak dapat dilakukan oleh seorang hakim dalam diktum putusan. Paling-paling hanya dapat dilakukan terhadap perkara pidana, dalam hal-hal meringankan; perkara perdata, agar penundaan eksekusi agar tergugat berkesempatan melunasi hutangnya; perkara PTUN, menunda eksekusi, agar pihak pemerintah berkesempatan melakukan kewajiban-kewajibannya seperti mencabut keputusannya dan sebagainya. Hakim harus memilih salah satu asas dari asas tersebut, untuk memutus perkara, dan tidak mungkin mencakupnya sekaligus dalam satu putusan ( harmonisasi ). Ibarat dalam sebuah garis hakim harus memeriksa dan memutus perkara berada (bergerak) diantara dua titik pembatas garis tersebut, yaitu : titik keadian, titik kepastian hukum. Asas kemanfaatan berada diantaranya. Manakala hakim memutus lebih dekat kearah titik kepastian hukum, maka secara otomatis dia akan jauh dari titik keadilan. Sebaliknya, kalau dia memutus lebih dekat dengan titik keadilan secara otomatis dia juga akan jauh dari titik kepastian hukum. Disinilah letak batas-batas kebebasan hakim. Dia hanya bisa bergerak diantara dua titik pembatas tersebut. Dengan suatu pertimbangan yang bernalar, seorang hakim akan menentukan kapan dia berada lebih dekat dengan titik kepastian hukum dan kapan dia akan lebih dekat dengan titik keadilan. Jadi tidak benar bahwa hakim dalam memeriksa dan memutus perkara bebas dan tanpa batas. Asas kemanfaatan bergerak diantara dua titik tersebut, yang lebih melihat kepada tujuan dan kegunaan dari hukum itu kepada masyarakat. Bahwa hukum adalah ciptaan manusia, bukan ciptaan supranatural. Hukum sengaja dibuat oleh manusia dan untuk kepentingan manusia, oleh sebab itu bersifat artificial. ( Sugijanto Darmaji ).
Penekanan asas kepastian hukum oleh seorang hakim, lebih cenderung untuk mempertahankan norma-norma hukum tertulis dari hukum positif yang ada. Peraturan Undang-undang yang ditegakan demi kepastian hukum. Cara berfikir yang (normative thingking) tersebut, akan mengalami kebuntuan manakala ketentuan-ketentuan tertulis tidak dapat menjawab persoalan-persoalan yang ada. Dalam situasi yang demikian hakim harus menemukan hukum untuk mengisi kelengkapan hukum itu. Inilah yang dinamakan oleh Sugijanto Darmaji adalah metode penemuan hukum, yang hanya digunakan dalam praktek terutama oleh dalam memeriksa dan memutus perkara. Satjipto Rahardjo mengingatkan penekanan asas kepastian hukum, bukan berarti sekedar penegahkan Undang-undang dan peraturan yang ada. Sebab Undang-undang dan peraturan-peraturan yang ada tidak identik hukum. Hukum lebih luas dari sekedar teks Undang-undang dan peraturan-peraturan.
Penekanan asas keadilan, berarti harus mempertimbangkan hukum yang hidup di masyarakat, yang terdiri dari kebiasaan-kebiasaan dan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. Sosiologi hukum dan budaya hukum sangat berperan dalam bidang ini. Harus dibedakan rasa keadilan individual, dan rasa keadilan kelompok dan rasa masyarakat. selain itu rasa keadilan dari suatu masyarakat tertentu, belum tentu sama dengan rasa keadilan dari masyarakat yang lain. Hakim dalam pertimbangan-pertimbangannya harus mampu mengambarkan hal itu semua, manakala dia memilih asas keadilan sebagai dasar untuk memutus perkara yang dihadapinya.
Penekanan asas kemanfaatan lebih bernuansa ekonomi. Dasar pemikirannya adalah bahwa hukum adalah untuk manusia atau orang banyak, oleh karena itu tujuan hukum yang berguna untuk manusia dan orang banyak tersebut. Dari mulai legislasi dan regulasi sudah ada penekanan-penekanan akan asas kemanfaatan tersebut. Lihat saja ketentuan Undang-undang dan peraturan-peraturan pelaksanaannya dari peradilan-peradilan khusus yang ada, seperti : peradilan pajak, peradilan niaga tentang merk; hak cipta; dan patent; peradilan perselisihan hubungan industrial, dan lain sebagainya. Ada kecendrungan akan muncul peradilan khusus lain-lainya, yang kesemuanya bernuansa ekonomi, dengan menekankan kepada segi hukum ekonomi, yaitu : “ cost and benefit “. ( Dr. Lintong O. Siahaan, S.H., M.H. ). ( KY .Edisi Oktober 2008 ).

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan :
A.Bahwa hakim yang berkualitas sangat diperlukan dalam memutus perkara. Adanya anggapan yang mengatakan bahwa : “ hukum selalu ketinggalan jaman dibandingkan dengan perkembangan masyarakat”, mengakibatkan terjadinya kekosongan hukum, dalam perjalanan waktu. Hal itu lebih terasa lagi di era reformasi dan transformasi sekarang ini. Sementara itu persoalan-persoalan hukum (sengketa) di dalam masyarakat terus berlanjut dan menuntut penyelesaian hukum, melalui proses peradilan. Untuk mengisi kekosongan-kekosongan hukum tersebut diperlukan hakim yang berkualitas, yang mampu berperan dalam penemuan hukum. Untuk itu, seorang hakim harus mempunyai bekal pengetahuan dan proses berfikir sebagaimana diuraikan dalam tulisan ini. Jika seandainya semua hakim mempunyai kualitas yang demikian, maka setiap putusan (jurisprudensi) akan dapat mewarnai setiap perkembangan hukum dinegara ini.
Dengan demikian pokok permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini yaitu :
“ Bagaimana seharusnya seorang hakim harus berfikir dalam proses penemuan hukum, agar dapat menghasilkan putusan yang berkualitas dalam setiap perkara (sengketa) yang dihadapi.”

Saran :
B.Agar supaya semua pihak yang terlibat/ berpartisipasi dalam proses sengketa di pengadilan ( hakim, jaksa, polisi, pengacara, saksi ahli, biro hukum pemerintah dapat lebih memahami dan mendalami hukum secara professional.
DAFTAR PUSTAKA


Majalah KY…………………………………………………..
Edisi Oktober…………………………………………………………..………2008
Bernard Arief Sidharta …………………………………………………………...
Refleksi tentang Ilmu Hukum …………………………………………..……..
Penerbit CV Mandar Maju ……………………………...….. tahun 2000
Darmadi Sugijanto…………………………………………………………………..
Kedudukan Hukum Dalam Ilmu dan Filsafat……………………………
Penerbit CV Mandar Maju ……………………………..….. tahun 1998
Mertokusumo sudikno……………………………………………………………
Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum……………………………………..
PT Citra Aditya ……………………………………………………………….1993

Mewujutkan Penegakan Hukum Yang Bermartabat .

Mewujutkan Penegakan Hukum Yang Bermartabat .
Oleh H. M. TARID PALIMARI, S.H (Mhs Univ Islam Jakarta)
Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A.

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Baru-baru ini warga Pengadilan telah dikejutkan dengan adanya Survei dari Lembaga Transparancy Internasional Indonesia (TII) yang dimuat dalam media massa yang menyatakan bahwa “Inisiatif suap berasal dari Pengadilan” (Kompas, 28 Pebruari 2007) bahkan di media lokalpun memuat berita dengan judul besar yang menyatakan bahwa Pengadilan teraktif minta suap .
Dari berita tersebut yang perlu dipertanyakan dari hasil Survei yang hanya melakukan survei terhadap kurang lebih l.700 orang koresponden di 32 kota besar, apakah sudah mewakili penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar kurang lebih 210.000.000, jiwa, dan apakah Lembaga Transparanscy Internasional Indonesia (TII) sudah/telah melakukan survei pada penduduk di tempat Pengadilan yang tempatnya di daerah terpencil ? Karena hasil survei Lembaga Transparancy Internasional Indonesia (TII) menggunakan respondennya kalau dirata-ratakan hanya berkisar kurang lebih 550, dan itu juga dilakukan terhadap penduduk yang tinggal di kota-kota besar saja.
Akan tetapi kalau memang dari hasil survei tersebut adalah suatu kebenaran, itu berarti ada suatu “perilaku hukum yang menyimpang dalam melakukan penegakan hukum di Pengadilan”.
Akibat perberitaan diatas, didalam pergaulan sehari-haripun telah terdengar keluhan-keluhan dari masyarakat yang mencemoh adanya putusan Pengadilan yang dianggap tidak memenuhi rasa keadilan masyrakat. Namun demikian kita sebagai warga Pengadilan kadang kala menyatakan masyarakat mana ? Rasa keadilan yang bagaimana ?
Sebagai bagian dari penegak hukum sudah terlampau lelah mendengarkan paradoks-paradoks yang dialamatkan kepada kita dalam kehidupan hukum di negeri ini. Kita dapat rasakan, berapa banyak tuduhan yang dialamatkan kepada kita mengenai pembebasan koruptor penjarah uang rakyat, merekapun dengan lantang menyuarakan bahwa para koruptor meskipun dihukum hanya sebanding dengan pencuri kambing. Bahkan kita dianggap mempersulit orang miskin untuk mendapatkan keadilan, bahkan dianggap sudah tidak rahasia lagi bahwa para pihak yang ingin memenangkan perkaranya di Pengadilan harus menyediakan dana yang tidak sedikit.
Untuk keluar dari tuduhan-tuduhan itu kita harus berusaha melakukan pembebasan dan pencerahan dari cara kerja konvensional, pembebasan dan pencerahan itu dibutuhkan kerja keras dengan menggunakan pendekatan paradigma hukum progresif yang sangat peka pada nilai nilai kebenaran, keadilan dan kemanusiaan .
Dengan jawaban masyarakat mana? Dan rasa keadilan yang bagaimana ? seolah-olah kita sudah dapat menjawab keluhan masyarakat yang merasa kecewa terhadap putusan Pengadilan. Padahal untuk memenuhi rasa keadilan sebagaimana yang dikemukakan oleh : Benyamin Nathan Cardoso yaitu seorang Hakim terkenal di Amerika Serikat. Dapat dilihat dalam : The Common Standards of Jiustice And Morals (Standar Umum Keadilan dan Moral)
Pendapat Benyamin Nathan Cardoso tersebut dicontohkan dalam perbandingan sebuah putusan yang dijatuhkan Hakim. Dimana di Amerika Serikat apabila ada seorang kulit hitam membunuh seorang kulit putih, maka akan dijatuhkan pidana penjara dengan hukuman yang berat, sedangkan sebaliknya apabila seorang kulit putih membunuh seorang kulit hitam akan dijatuhi hukuman yang lebih ringan. Dalam hal ini telah menunjukkan secara jelas dan nyata bagaimana standar umum dari rasa keadilan dan moral tersebut.
Fenomena diatas merupakan fenomena prilaku hukum yang diskriminatif. Yang menurut Donald Black bahwa ada 5 faktor yang menjadi penyebab diskriminatif hukum yaitu :
l.Stratifikasi sosial : ketidak samaan kekayaan dan sumber daya;
2.Morfologi sosial : pola pola hubungan antar personal;
3.Kultur : perilaku simbolik;
4.Organisasi : derajat dimana dimobilisasi dalam tindakan kolektif;
5.Pengendalian sosial lain di luar hukum : sifat atau tingkatan dari mekanisme mekanisme non hukum bagi pendefenisian dan tanggapan terhadap suatu tindakan salah (wrong doing).
Dari faktor-faktor tersebut dapat dikatakan bahwa masyarakat mempunyai perbedaan dalam pola stratifikasi sosial mereka, juga berbeda dalam morfologi mereka dan seterusnya, dimana perbedaan-perbedaan inilah yang mengasilkan pula perbedaan didalam sistem hukum mereka.
Dengan adanya perilaku hukum yang diskriminatif tersebut maka akan nampak jelas bahwa hukum yang tercantum di dalam undang-undang akan berbeda dari pada hukum sebagai perilaku.
Menurut Prof. Dr. Achmad Ali, S.H., M.H. bahwa salah satu alat bagi Hakim untuk lebih mengembangkan kemampuannya dalam menciptakan hukum melalui putusan-putusannya adalah dengan cara lebih memahami adanya 3 (tiga) jenis ilmu hukum dan juga 3 (tiga) jenis pendekatan dalam ilmu hukum. 3 (tiga) Jenis ilmu hukum yaitu :
l.Ilmu tentang asas-asas fundamental di bidang hukum (Beggriffenwissenscheft);
2.Ilmu tetang norma hukum dan aturan hukum (Normwissenschaft);
3.Ilmu tentang perilaku hukum, tindakan hukum dan realitas hukum (Tatsacherwissenschaft).
3 (tiga) jenis pendekatan dalam ilmu hukum dapat digambarkan dengan dimulai dari :
l.Pendekatan empiris di bidang hukum;
2.Pendekatan normatif;
3.Pendekatan filosofis.
Dimana kajian sosiologi hukum termasuk salah satu diantara pendekatan dalam ilmu hukum tersebut. Jika menginginkan lahirnya suatu produk hukum dan keputusan hukum yang optimal, maka ketiga pendekatan ilmu hukum tersebut harus diimplementasikan secara proporsional dan harmonis oleh para penegak hukum, yang pada akhirnya dapat mewujutkan penegakan hukum yang bermartabat.

BAB II
HUKUM SEBAGAI PRILAKU PENGADILAN DALAM
MEWUJUDKAN PENEGAKAN HUKUM

Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide dan cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan hukum.
Tujuan hukum atau cita hukum memuat nilai-nilai moral seperti keadilan dan kebenaran, nilai-nilai tersebut harus mampu diwujutkan dalam realita nyata.
Menurut Soerdjono Soekanto bahwa secara konsepsional hukum dalam arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabar di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
Penegakan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum, maka sudah semestinya seluruh tenaga dikerahkan agar hukum mampu bekerja untuk mewujudkan nilai-nilai moral dalam hukum, kegagalan hukum untuk mewujudkan nilai hukum tersebut merupakan ancaman berbahaya akan lemahnya hukum yang ada.
Hukum yang miskin/lemah implementasinya terhadap nilai-nilai moral akan berjarak serta terisolasi dari masyarakatnya. Dan keberhasilan penegakan hukum akan menentukan serta menjadi barometer legitasinya hukum ditengah-tengah realiatas sosial.
Hukum dibuat untuk dilaksanakan, oleh sebab itu hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyrakat sebagai basis bekerjanya hukum.
Di era sekarang ini penegakan hukum merupakan bagian dari tuntutan masyarakat yang menginginkan adanya suatu reformasi hukum, akan tetapi seringkali tuntutan masyarakat terhadap reformasi hukum tersebut hanya disudutkan pada “Hakim” dalam hal ini Pengadilan, padahal penegakan hukum bukan hanya dibebankan pada tugas Hakim/Pengadilan saja, tetapi termasuk sebagai bagian dari Polisi selaku penyidik dan Jaksa selaku penuntut umum, yang sering disebut dengan istilah “Criminal Justice System”yang sebagai prilaku penegakan hukum.
Dalam ilmu tentang “prilaku hukum” memang merupakan atau punya pendekatan tersendiri dalam ilmu hukum, yang menurut Max Weber bahwa dalam mempelajari hukum ada 3 (tiga) pendekatan yang dapat digunakan yaitu :
l.Pendekatan moral terhadap hukum;
2.Pendekatan dari sudut ilmu hukum normatif;
3.Pendektan sosiologis terhadap hukum.
Pendekatan moral terhadap hukum yang paling utama diperhatikan yaitu, hukum harus mengekspresikan suatu moralitas umum (a common morality) yang didasarkan pada suatu konsensus tentang apa yang secara moral dianggap salah dan apa yang secara moral dianggap benar.
Pendekatan ilmu hukum normatif atau jurisprudensi berpandangan bahwa hukum seharusnya “otonom” atau independent dari religi, filosofi dan nilai-nilai serta asas-asas politik, sedangkan pendekatan sosiologis hanya terfokus pada hukum sebagai prilaku atau “behaviour”, hukum sebagai tindakan atau “action” dan hukum sebagai realita atau reality.
Keotonomian hukum yang dilakukan Pengadilan sebagaimana diungkapkan dalam pendekatan jurisprudensi ada kalanya dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor yaitu :
l.Ekonomi;
2.Sosial;
3.Politik.
Untuk menghindari ketiga faktor yang mempengaruhi keotonomian hukum tersebut diatas, maka harus dapat membiasakan diri hidup sederhana, jangan memaksakan keadaan, dan jangan menggunakan “Aji mumpung“ yaitu mumpung banyak orang-orang yang berkepentingan mau menyumbang, juga jangan meminta dan atau menerima sumbangan dari orang-orang yang secara tersirat maupun tersurat mempunyai kepentingan dengan jabatan, karena tidak ada seseorang / pengusaha yang mau menyumbang apabila tidak punya kepentingan, jika sekali saja menerima sumbangan dari seseorang/pengusaha berarti telah “Menggadaikan Integritas Jabatan” atau pribadinya. Oleh karena itu prilaku hukum dari penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) merupakan salah satu faktor terpenting agar penegakan hukum dapat terlaksana secara optimal dan bermartabat.
Dalam penegakan hukum bukan semata mata hanya menjalankan pelaksanaan Perundang-undangan atau Law enforcement, tetapi penegakan hukum merupakan kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan keadamaian dalam pergaulan hidup.
Dalam melaksanakan penegakan hukum sangat bergantung pada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi yaitu :
l.Faktor hukum atau peraturan itu sendiri;
2.Faktor pegugas yang menegakkan hukum;
3.Faktor warga masyarakat;
4.Faktor kebudayaan atau legal culture;
5.faktor sarana atau fasilitas yang dapat diharapkan untuk mendukung pelaksana hukum.
Jadi faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum tersebut diatas dapat digunakan untuk melihat penomena prilaku hukum di Pengadilan dalam melaksanakan penegakan hukum yang bermartabat.

BAB III
PUTUSAN HAKIM UNTUK MEWUJUDKAN
PENGADILAN YANG BERMARTABAT

Para pakar sosiologi hukum pada umumnya membatasi penelitian mereka hanya terhadap suatu masyarakat spesifik serta meninjau lembaga-lembaga sosial yang ada didalamnya seperti keluarga, komunitas keagamaan atau subkultur, untuk menentukan peran lembaga-lembaga tersebut dalam mengembangkan ketaatan terhadap hukum, sebagai contoh mungkin mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti :
l.Peran apakah yang dimainkan oleh Hakim melalui putusannya dalam upaya pemberantasan narkoba di Indonesia dewasa ini ?
2.Apakah kejahatan terorisme yang terjadi di Indonesia atas nama islam, merupakah produk dari kesalahan persepsi pelakunya terhadap ajaran islam ?
Demikianlah para sosiologi hukum menggunakan konsep-konsep tentang tipe-tipe pengendalian sosial, untuk menjelaskan prilaku menyimpang dan mengukur derajat keparahannya. Didalam realitasnya, pakar sosiologi hukum mendefinisikan hukum sebagai suatu alat pengendali sosial oleh Pemerintah.
Sosiologi adalah kajian ilmu tentang kehidupan sosial dan dengan dimikian sosiologi hukum adalah kajian ilmiah tentang perilaku hukum.
Di dalam sosiologi hukum dikatakan bahwa hukum dapat dikelompokkan sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat apabila :
Pertama : Berlaku secara yuridis yaitu perlakuan hukum didasarkan pada kaidah yang tingkatnya lebih tinggi. Bila berlakunya hanya secara yuridis maka hukum termasuk kaidah mati.
Kedua : Berlaku secara secara sosiologi, hukum dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa meskipun masyarakat menolaknya (teori kekuasaan) atau hukum berlaku karena diterima dan diakui oleh masyarakat (teori pengakuan), Jika berlakunya hanya secara sosiologis dalam teori kekuasaan, maka hukum hanya akan menjadi alat untuk memaksa.
Ketiga : Berlaku secara filosofis (sesuai dengan cita cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi).
Apabila berlakunya hanya secara filosofis, hukum hanya akan menjadi kaidah yang dicita-citakan (ius constituendum)
Sosiologi hukum peradilan fokus utamanya adalah tentang “realitas peran Hakim” yang menyoroti prilaku Hakim sebagai salah satu unsur pembentuk hukum melalui putusannya (judge made law).
Harus disadari bahwa masih banyak perundang-undangan kita di Indonesia dewasa ini yang belum mampu menjawab dinamika kebutuhan hukum yang sangat cepat, sehingga yang terjadi apa yang dikatakan Undang-undang senantiasa tertatih-tatih mengejar peristiwa yang seyokyanya diselesaikan, maka dalam kondisi ini peran para Hakim sangat dibutuhkan untuk melahirkan putusan yang mampu mengisi ketertinggalan Undang-undang, dan memenuhi kebutuhan dan rasa keadilan masyarakat.
Tentu saja dalam hal ini, kemampuan para Hakim untuk menginplementasikan berbagai metode penemuan hukum, termasuk berbagai interpretasi dan juga konstruksi yang sangat diharapkan.
Menurut Satjipto Rahardjo bahwa teori hukum dari perspektif ketaatan sacara harfiah ia berarti “Pengatahuan dan pendapat tentang hukum” (Knowledge and opinion about law).
Dalam teori ini dijelaskan bahwa pelaksanaan hukum ditentukan oleh dua variabel yaitu :
l.Variabel ekstra (meta) yuridis yaitu kompleksitas kekuatan sosial politik, struktur masyarakat, dan faktor-faktor peribadi;
2.Variabel intra yuridis, dalam variabel ini terdapat 3 (tiga) subvariabel yaitu :
a.Pembuat perundang-undangan;
b.Birokrasi Hukum;
c.Rakyat sebagai subyek hukum .
Antara pembuat perundang-undangan dengan birokrasi dan rakyat diikat oleh norma, dan antara birokrasi dengan rakyat diikat oleh aktivitas pelaksanaan hukum. 3 (tiga) variabel tersebut masing-masing memiliki sifat umpan balik, terjadi hubungan umpan balik antara pembuat peraturan dengan birokrasi, terjadi hubungan umpan balik antara pembuat peraturan dengan rakyat dan terjadi hubungan umpan balik antara birokrasi dengan rakyat.
Menurut teori penegakan hukum bahwa hukum dapat ditegakkan di masyarakat itu tergantung pada 3 (tiga) sisi yaitu :
l.Materi hukum;
2.Aparat penegak hukum;
3.Kesadaran hukum madsyarakat.
Menurut Soekanto bahwa dalam kesadaran hukum terdapat 4 (empat) indikator yaitu :
l.Pengetahuan hukum;
2.Pemahaman hukum;
3.Penilaian dan sikap terhadap hukum;
4.Ketaatan hukum.
Selanjutnya bahwa kesadaran hukum sebenarnya menyangkut faktor-faktor apakah suatu hukum diketahui, diakui, dihargai, dan ditaati oleh warga Negara.
Sedangkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penegakan hukum adalah :
l.Faktor hukum atau perundang-undangan;
2.Faktor penegakan hukum;
3.Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
4.Faktor masyarakat, lingkungan yang menjadi tempat hukum diberlakukan dan diterapkan;
5.Faktor Kebudayaan, karya, cipta, dan rasa manusia yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Dari sejumlah teori penegakan hukum yang telah diuraikan diatas kiranya dapat diduga bahwa wibawa Hakim/Pengadilan dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor yaitu :
l.Faktor peraturan perundang undangan;
2.Faktor birokrasi;
3.Faktor kesadaran hukum masyarakat.
Faktor-faktor inilah yang diduga dapat memicu lahirnya Hakim yang unggul kompetitif dan Hakim yang unggul komparatif.
Menurut Michael J. Saks dan Reid Hastie (l978) bahwa didalam sistem pembuatan putusan dan sistem penyelesaian sengketa dalam hal ini Pengadilan, tidak ada putusan yang hanya berasal dari satu unsur yang bertindak sendiri. Semua “outputs” dihasilkan dari suatu sistem hubungan-hubungan sosial yang terstruktur.
Dalam hal ini idealnya para Hakim benar-benar menyelaraskan antara harapan dan norma prilaku yang mengandung nilai-nilai. Khususnya secara konkret dirumuskan dalam Pasal 32 dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor : 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman, dengan seperangkat orientasi atau sikap peran dari sosok Hakim. Dengan kata lain pengembangan kemampuan Hakim mencakup semua unsur yang ditentukan dalam Pasal 32 dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor : 4 Tahun 2004 tersebut yaitu :
l.Pengembangan integritas dan kepribadian Hakim dengan senantiasa mengoptimalkan prilaku tidak tercela, jujur, adil dan mandiri;
2.Pengembangan diri dengan cara secara terus-menerus belajar dari menangani dan mengadili berbagai kasus in konkreto selama kariernya sebagai Hakim;
3.Pengembangan profesionalisme Hakim dengan cara terus menerus menambah wawasan keilmuan, baik dalam bidang hukum maupun bidang-bidang lain yang berada disekitar ilmu hukum, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan lain lain.
Dalam rangka pengembangan kemampuan Hakim agar dengan wawasan intelektualitas dan penalarannya mampu menghasilkan putusan-putusan yang bukan saja berdasarkan hukum dan keadilan, melainkan juga benar-benar mampu mewujutkan tuntutan dan kebutuhan hukum masyarakat, yang pada akhirnya dengan putusannya tersebut dapat mewujutkan suatu Pengadilan yang bermartabat atau penegakan hukum yang bermartabat dalam suatu putusan Hakim.
Tugas utama Pengadilan/Hakim adalah menerima, memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan kepadanya, tidak boleh menolak suatu perkara dengan dalil tidak ada aturan hukum yang mengaturnya, maka dalam hal ini Pengadilan /Hakim dituntut untuk menggali hukum yang berkembang dimasyarakat sehingga putusan yang dijatuhkannya bisa dianggap adil menurut masyarakat.
Berbicara keadilan adalah sangat sulit, karena menurut pihak yang satu sudah adil, tapi belum tentu pihak yang lain adil. Dan tidak seorangpun yang dapat merumuskan adil secara interpralistik maupun komprehensif, karena kadang kala adil secara netralpun tidak mungkin diterima secara memuaskan bagi kalangan masyarakat..
Bertambah sulit lagi menentukan adilnya suatu putusan jika Hakim menerapkan hukum secara “tidak profesional dan bersikap formalistik legalthinking”. Oleh karena itu putusan yang baik adalah putusan yang memenuhi unsur : yuridis, sosiologis dan philosofis .
Bertitik tolak dari itu maka untuk menentukan patokan putusan yang adil, maka Hakim berdasarkan hati nurani yang bersih dan netral dalam menjatuhkan putusannya agar memenuhi kebenaran dan rasa keadilan. Terutama dalam perkara pidana, putusan harus memuat hal hal sebagai berikut :
l.Bersifat koreksi : yaitu dimana Hakim harus berani mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah, karena Hakim dalam melaksanakan pekerjaannya dituntut adanya keberanian dan tanggung jawab untuk mengoreksi pelaku tindak pidana yang diajukan kepadanya .
2.Bersifat edukasi : yaitu pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana bukan hanya untuk mengoreksi saja, tetapi juga harus dapat mendidik agar pelaku tindak pidana tidak akan mengulangi lagi perbuatan pidana yang telah dilakukannya.
3.Bersipat prefensi : yaitu dimana pelaku tindak pidana atau masyarakat setelah adanya putusan yang dijatuhkan oleh Hakim akan merasa ketakutan apabila akan melakukan suatu tindak pidana .
4.Bersipat represif : yaitu putusan yang dijatuhkan Hakim mengandung adanya nilai ganjaran pidana yang seimbang dengan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana .
Hal tersebut diatas sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Mr. R. Karnenberg (Murid Krabbe) dalam bukunya yang berjudul : POSITIF RECHT AN RECHTSHEWUSTZIJN, l987, Tentang teori kedaulatan hukum.

BAB IV
P E N U T U P

A.KESIMPULAN
Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai nila, ide, cta yang cukup abstrak, yang menjadi tujuan hukum yang memuat nilai nilai moral seperti keadilan dan kebenaran yang dapat diwujutkan dalam realitas nyata.
Penegakan hukum bukan hanya dibebankan kepada tugas Hakim/Pengadilan, tetapi juga termasuk bagian tugas Polisi selaku penyidik, Jaksa selaku penuntut umum, yang sering disebut dengan istlah Criminal justice System.
Sehubungan dengan penegakan hukum tersebut ada 3 pendekatan yang dapat digunakan yaitu :
l.Pendekatan moral;
2.Pendekatan dari sudut ilmu hukum normatif;
3.Pendekatan sosiologis terhadap hukum.
Pendekatan dari sudut ilmu hukum normatif atau yurisprudensi berpandangan bahwa hukum sebenarnya “Otonom” atau independent dari religi, filosofis dan nilai-nilai serta asas-asas politik.
Keaktifan hukum yang dilakukan Pengadilan/Hakim dalam pendekatan yurisprudensi adakalanya dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor yaitu :
l.Ekonomi;
2.Sosial;
3.Politik.
Untuk menghindari faktor tersebut, maka harus membiasakan diri hidup sederhana, dan jangan menggadaikan integritas jabatan, dan Hakim/Pengadilan benar-benar menyelaraskan antara harapan dan norma prilaku yang mengandung nilai-nilai yang secara konkret dirumuskan dalam Pasal 32 dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor : 4 Tahun 2004, Tentang Kekuasaan Kehakiman. Dengan kata lain Pengembangan kemampuan Hakim mencakup semua unsur yang ditentukan dalam Pasal 32 dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor : 4 Tahun 2004, Tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut diatas yaitu :
l.Pengembangan integritas dan kepribadian dengan senantiasa mengoptimalkan prilaku tidak tercela, jujur, adil dan mandiri;
2.Pengembangan diri dengan cara terus-menerus belajar dari pengalaman menangani dan mengadili berbagai kasus perkara;
3.Pengembangan profesionalisme dengan cara terus-menerus menambah wawasan keilmuan baik dalam bidang hukum, maupun bidang-bidang lain yang berada disektor ilmu hukum.
Dengan pengembangan kemampuan sebagaimana tersebut diatas diharapkan mampu menghasilkan putusan yang bukan saja berdasarkan hukum dan keadilan melainkan juga benar benar mampu mewujudkan tuntutan dan kebutuhan hukum masyarakat, yang pada akhirnya dengan putusannya tersebut dapat mewujudkan suatu Pengadilan yang bermartabat atau penegakan hukum yang bermartabat dalam suatu putusan Hakim.

B.S A R A N
Diharapkan agar Hakim dalam menjatuhkan putusan disamping melakukan pendekatan dalam ilmu hukum juga harus memperhatikan pendekatan sosiologis dan philosofis.
Ketiga pendekatan tersebut harus diimplementasikan secara profesional dan harmonis, jika menginginkan suatu produk hukum dan putusan yang dapat mewujudkan penegakan hukum yang bermartabat.

DAFTAR PUSTAKA

l.Ali Zainuddin, 2005 Sosiologi Hukum, Jakarta Sinar Grafika .
2.Ali Achmad 2008 Pengembangan Kemampuan Hakim (Persfektif Sosiologi Hukum) makalah dalam acara yang diselenggarakan Komisi Yudisial di Kendari tanggal l8 Desember 2008.
3.Rahardjo Satjipto, l982 Sosiologi Hukum, Bandung alumni l982.
4.Soekamto Soerdjono, l989 Mengenal Sosiologi Hukum, Bandung, Citra Aditya Bhakti l989.
5.Rahardjo Satjipto, Penegakan hukum suatu tinjauan sosiologis, Genta Publishing Yokyakarta.
6. Varia Peradilan Nomor 257 April 2007. Nomor 272 Juli 2008, Nomor 282 Mei 2009.
7. Undang-Undang Nomor : 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman .

Kamis, 26 November 2009

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENEGAKAN HUKUM DARI KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENEGAKAN HUKUM DARI KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM
Oleh: Siti Rusiah
Dosen : Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA
I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Masalah.
Semenjak dilahirkan di dunia, maka manusia telah mempunyai hasrat untuk hidup teratur. Hasrat untuk hidup secara teratur tersebut dipunyai sejak lahir dan selalu berkembang di dalam pergaulan hidupnya. Namun, apa yang dianggap teratur oleh seseorang, belum tentu dianggap teratur juga oleh pihak-pihak lainnya. Oleh karena itu, maka manusia sebagai mahluk yang senantiasa hidup bersama dengan sesamanya, memerlukan perangkat patokan tersebut, tidak lain merupakan pedoman untuk berperilaku secara pantas, yang sebenarnya merupakan suatu pandangan menilai yang sekaligus merupakan suatu harapan.
Patokan-patokan untuk berperilaku pantas tersebut, kemudian dikenal dengan sebutan norma atau kaidah. Norma atau kaidah tersebut mungkin timbul dari pandangan-pandangan mengenai apa yang dianggap baik atau dianggap buruk, yang lazimnya disebut nilai. Kadangkala norma atau kaidah tersebut timbul dari pola perilaku manusia sebagai suatu abstraksi dari perilaku berulang-ulang yang nyata.
Norma atau kaidah tersebut, untuk selanjutnya mengatur diri pribadi manusia, khususnya mengenai bidang-bidang kepercayaan dan kesusilaan. Norma atau kaidah kepercayaan bertujuan agar manusia mempunyai hati nurani yang bersih. Disamping itu, maka norma atau kaidah mengatur pula kehidupan antar pribadi manusia, khususnya bidang-bidang kesopanan dan hukum. Norma atau kaidah kesopanan bertujuan agar manusia mengalami kesenangan atau kenikmatan di dalam pergaulan hidup bersama dengan orang-orang lain. Norma atau kaidah hukum bertujuan agar tercapai kedamaian di dalam kehidupan bersama, dimana kedamaian berarti suatu keserasian antara ketertiban dengan
ketenteraman, atau keserasian antara keterikatan dengan kebebasan. Itulah yang menjadi tujuan hukum, sehingga tugas hukum adalah tidak lain daripada mencapai suatu keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum.
Kerangka berfikir tersebut diatas, akan dipergunakan sebagai titik tolak untuk membicarakan masalah penegakan hukum, khususnya mengenai faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pendekatan utama yang akan dipergunakan adalah pendekatan sosiologi hukum, yang pada hakekatnya juga merupakan cabang ilmu hukum, khususnya ilmu hukum kenyataan. Analisa terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, akan dilakukan pada berbagai kasus yang terjadi di Indonesia.
1.2 Identifikasi Permasalahan.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka identifikasi permasalahan adalah sebagai berikut :
1.Faktor-faktor apakah yang dapat mempengaruhi penegakan hukum dari kajian sosiologi hukum ?
2.Sejauh mana kontribusi penegak hukum bagi kesejahteraan masyarakat ?

II.Pembahasan
2.1 Inti dan Arti Penegakan Hukum
Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hokum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Soerjono Soekanto, 1979). Konsepsi yang mempunyai dasar filosofis tersebut memerlukan penjelasan lebih lanjut sehingga akan tampak lebih konkrit.
Manusia di dalam pergaulan hidup, pada dasarnya mempunyai pandangan-pandangan tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Pandangan-pandangan tersebut senantiasa terwujud di dalam pasangan-pasangan tertentu, sehingga misalnya ada pasangan nilai ketertiban dengan nilai ketentraman, pasangan nilai kepentingan umum dengan nilai kepentingan pribadi, pasangan nilai kelestarian dengan nilai inovatisme, dan seterusnya. Di dalam penegakan hukum, pasangan nilai-nilai tersebut perlu diserasikan; umpamanya, perlu diserasikan antara nilai ketertiban dengan nilai ketentraman. Sebab nilai ketertiban bertitik tolak pada keterikatan, sedangkan nilai ketenteraman titik tolaknya adalah kebebasan. Di dalam kehidupannya, maka manusia memerlukan keterikatan maupun kebebasan di dalam wujud yang serasi. Apakah hal itu sudah cukup ?
Pasangan nilai-nilai yang telah diserasikan tersebut, memerlukan penjabaran secara konkrit lagi, oleh karena nilai-nilai lazimnya bersifat abstrak. Penjabaran secara lebih konkrit terjadi di dalam bentuk kaidah-kaidah, dalam hal ini kaidah-kaidah hukum, yang mungkin berisikan suruhan, larangan atau kebolehan. Di dalam bidang Hukum Tata Negara Indonesia, misalnya terdapat kaidah-kaidah tersebut yang berisikan suruhan atau perintah untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu, atau tidak melakukannya. Didalam kebanyakan kaidah-kaidah hukum pidana tercantum larangan-larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu, sedangkan di dalam bidang hukum perdata ada kaidah-kaidah yang berisikan kebolehan-kebolehan.
Kaidah-kaidah tersebut menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku atau sikap tindak yang dianggap pantas, atau yang seharusnya. Perilaku atau sikap tindak tersebut bertujuan untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian. Demikianlah konkritisasi daripada penegakan hukum secara konsepsional.
Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakekatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsure penilaian pribadi (Wayne LaFavre 1964). Dengan mengutip pendapat Roscoe Pound, maka LaFavre menyatakan, bahwa pada hakekatnya diskresi berada diantara hukum dan moral (etika dalam arti sempit).
Atas dasar uraian tersebut diatas dapatlah dikatakan, bahwa gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada keserasian antara “tritunggal” nilai, kaidah dan pola perilaku. Gangguan tersebut terjadi, apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian “law enforcement” begitu popular. Selain dari itu maka ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim. Perlu dicatat, bahwa pendapat-pendapat yang agak sempit tersebut mempunyai kelemahan-kelemahan, apabila pelaksanaan daripada perundang-undangan atau keputusan-keputusan hakim tersebut malahan mengganggu kedamaian di dalam pergaulan hidup.
2.1 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Dari Kajian Sosilogi Hukum
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penegakan hukum dari kajian sosilogi hukum terbagi atas lima macam yaitu :
a. Faktor Hukumnya sendiri yakni Undang-undang
Di dalam tulisan ini, maka yang diartikan dengan Undang-undang dalam arti materiel adalah (Purnadi Purbacaraka & Sorjono Soekanto 1979) peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah. Dengan demikian, Undang-undang dalam materiel (selanjutnya disebut Undang-undang) mencakup :
1.Peraturan pusat yang berlaku untuk semua warga Negara atau suatu golongan tertentu saja maupun yang berlaku umum di sebagian wilayah Negara.
2. Peraturan setempat yang hanya berlaku di suatu tempat atau daerah saja.
Mengenai berlakunya Undang-undang tersebut, terdapat beberapa azas yang tujuannya adalah agar supaya Undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Artinya, agar supaya Undang-undang tersebut mencapai tujuannya sehingga efektif. Azas-azas tersebut antara lain (Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto 1979) :
1. Undang-undang tidak berlaku surut artinya Undang-undang hanya boleh diterapkan terhadap peristiwa yang disebut di dalam Undang-undang tersebut, serta terjadi setelah Undang-undang itu dinyatakan berlaku.
2.Undang-undang yang dibuat oleh Penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama. Artinya, terhadap peristiwa khusus wajib diperlukan Undang-undang yang menyebutkan peristiwa itu, walaupun bagi peristiwa khusus tersebut dapat pula diperlukan Undang-undang yang menyebutkan peristiwa yang lebih luas ataupun lebih umum, yang juga dapat mencakup peristiwa khusus tersebut.
4. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan Undang-undang yang berlaku terdahulu. Artinya Undang-undang lain yang lebih dahulu berlaku dimana diatur mengenai suatu hal tertentu, tidak berlaku lagi apabila ada Undang-undang baru yang berlaku belakangan yang mengatur pula hal tertentu tersebut, akan tetapi makna atau tujuannya berlainan atau berlawanan dengan Undang-undang lama tersebut.

5. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.
6. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestarian ataupun pembaharuan (inovasi). Artinya, supaya pembuat Undang-undang tidak sewenang-wenang atau supaya Undang-undang tersebut tidak menjadi huruf mati, maka perlu dipenuhi beberapa syarat tertentu, yakni antara lain sebagai berikut :
a.Keterbukaan di dalam proses pembuatan Undang-undang (A.M.Bos).
b. Pemberian hak kepada warga masyarakat untuk mengajukan usul-usul tertentu, melalui cara-cara sebagai berikut:
I.Penguasa setempat mengundang mereka yang berminat untuk menghadiri suatu pembicaraan mengenai peraturan tertentu yang akan dibuat.
II. Suatu Departemen tertentu mengundang organisasi-organisasi tertentu untuk memberikan masukan bagi suatu RUU yang sedang dibuat.
II.Acara dengar pendapat di Dewan Perwakilan Rakyat.
IV.Pembentukan kelompok-kelompok penasehat yang terdiri dari tokoh-tokoh atau ahli-ahli terkemuka.
b. Faktor Penegak hukum
Ruang lingkup dari istilah “penegak hukum” adalah luas sekali, oleh karena mencakup mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup “Law enforcement”, akan tetapi juga “peace maintenance”. Kiranya sudah dapat diduga bahwa kalangan tersebut mencakup mereka yang bertugas di bidang-bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan dan pemasyarakatan.
Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (“status”) dan peranan (“role”). Kedudukan (sosial) merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan, yang mungkin tinggi, sedang-sedang saja atau rendah. Kedudukan tersebut merupakan suatu wadah yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban tadi merupakan peranan atau “role”. Oleh karena itu, maka seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan pemegang peranan (“role occupant”). Suatu hak merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Suatu peranan tertentu, dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur sebagai berikut :
1.Peranan yang ideal (“ideal role”).
2.Peranan yang seharusnya (“expected role”).
3.Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (“perceived role”).
4.Peranan yang sebenarnya dilakukan (“actual role”).
Peranan yang sebenarnya dilakukan kadang-kadang juga dinamakan “role performance” atau “role playing”. Kiranya dapat dipahami, bahwa peranan yang ideal dan yang seharusnya datang dari pihak atau pihak-pihak lain, sedangkan peranan yang dianggap oleh diri sendiri serta peranan yang sebenarnya dilakukan berasal dari diri pribadi. Sudah tentu bahwa di dalam kenyataannya, peranan-peranan tadi berfungsi apabila seseorang berhubungan dengan pihak lain (“role sector”) atau dengan beberapa pihak (“role set”).
Seorang penegak hukum, sebagaimana dengan warga-warga masyarakat lainnya, lazimnya mempunyai beberapa kedudukan dan peranan sekaligus. Dengan demikian tidaklah mustahil, bahwa antara berbagai kedudukan dan peranan timbul konflik (“status conflict dan “conflict role”). Kalau di dalam kenyataannya terjadi suatu kesenjangan antar peranan yang seharusnya dengan peranan yang sebenarnya dilakukan atau peranan actual, maka terjadi suatu kesenjangan peranan (“role distance”).
Kerangka sosiologis di atas, akan diterapkan dalam analisa terhadap penegak hukum, sehingga pusat perhatian akan diarahkan pada peranannya. Namun demikian, di dalam hal ini ruang lingkup hanya akan dibatasi pada peranan yang seharusnya dan peranan aktual.
Masalah peranan dianggap penting, oleh karena pembahasan mengenai penegak hukum sebenarnya lebih banyak tertuju pada diskresi. Sebagaimana dikatakan di muka, maka diskresi menyangkut pengambilan keputusan yang tidak sangat terikat oleh hukum, dimana penilaian pribadi juga memegang peranan di dalam penegakan hukum diskresi sangat penting, oleh karena (Wayne LaFavre 1964) :
1. Tidak ada perundang-undangan yang sedemikian lengkapnya, sehingga dapat mengatur semua perilaku manusia.
2.Adanya kelambatan-kelambatan untuk menyesuaikan perundang-undangan dengan perkembangan-perkembangan di dalam masyarakat, sehingga menimbulkan ketidak pastian.
3.Kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan sebagaimana yang dikehendaki oleh pembentuk Undang-undang.
4. Adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan secara khusus.
Diskresi diperlukan sebagai (Prajudi Atmosudirjo : 1983)
“….. pelengkap daripada Azas Legalitas, yaitu Azas Hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan Administrasi Negara harus berdasarkan ketentuan Undang-undang.
……Pada “diskresi bebas” Undang-undang hanya menetapkan batas-batas, dan administrasi negara bebas mengambil keputusan apa saja asalkan tidak melampaui/melanggar batas-batas tersebut. Pada “diskresi terikat” undang-undang menerapkan beberapa alternatif, dan Administrasi Negara bebas memilih salah satu alternatif”.
Penggunaan perspektif peranan dianggap mempunyai keuntungan-keuntungan tertentu, oleh karena :
1.Faktor utamanya adalah dinamika masyarakat.
2.Lebih mudah untuk membuat suatu proyeksi, oleh karena pemusatan perhatian pada segi prosesual.
3.Lebih memperhatikan pelaksanaan hak dan kewajiban serta tanggung jawabnya, daripada kedudukan dengan lambing-lambangnya yang cenderung bersifat konsumtif.
Peranan yang seharusnya dari kalangan penegak hukum tertentu, telah dirumuskan di dalam Undang-undang. Di samping itu di dalam Undang-undang tersebut juga dirumuskan perihal peranan yang ideal.
Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dari golongan sasaran, di samping mampu membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Kecuali dari itu, maka golongan panutan harus dapat memanfaatkan unsur-unsur pola tradisional tertentu, sehingga menggairahkan partisipasi dari golongan sasaran atau masyarakat luas. Golongan panutan juga harus dapat memilih waktu dan lingkungan yang tepat di dalam memperkenalkan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang baru, serta memberikan keteladanan yang baik.
Halangan-halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golongan panutan atau penegak hukum, mungkin berasal dari dirinya sendiri atau dari lingkungan. Halangan-halangan yang memerlukan penanggulangan tersebut, antara lain :
1.Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan fihak lain dengan siapa dia berinteraksi.
2.Tingkat aspirasi yang relative belum tinggi.
3.Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi.
4.Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan , terutama kebutuhan materiel.
5.Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.
Halangan-halangan tersebut dapat diatasi dengan cara mendidik, melatih dan membiasakan diri untuk mempunyai sikap-sikap sebagai berikut :
1.Sikap yang terbuka terhadap pengalaman-pengalaman maupun penemuan-penemuan baru. Artinya, sebanyak mungkin menghilangkan prasangka terhadap hal-hal yang baru atau yang berasal dari luar, sebelum dicoba manfaatnya.
2.Senantiasa siap untuk menerima perubahan-perubahan setelah menilai kekurangan-kekurangan yang ada pada saat itu.
3.Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya dengan dilandasi suatu kesadaran, bahwa persoalan-persoalan tersebut berkaitan dengan dirinya.
4.Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai pendiriannya.
5.Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu urutan.
6.Menyadari akan potensi-potensi yang ada di dalam dirinya dan percaya potensi-potensi tersebut akan dapat dikembangkan.
7.Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib (yang buruk ).
8.Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
9.Menyadari dan menghormati hak, kewajiban maupun kehormatan diri sendiri maupun pihak-pihak lain.
10. Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar dan perhitungan yang mantap.

c.Faktor Sarana atau Fasilitas
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya. Kalau hal itu tidak terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya.
Di dalam suatu lokakarya yang pernah diadakan di kota Venesia pada tahun 1970, telah diidentifikasikan beberapa factor yang menyebabkan terjadinya hambatan di dalam proses penyelesaian perkara. Faktor-faktor tersebut dirangkum oleh Konz, sebagai berikut (Peider Konz) :
“While the phenomenon of court congestition and delay appears to be fairly universal, it is evident that is causes are as complex and varied as the societies in which the problem arises. Among them are demographic growth, especially interms of urban concentration; expanded function of the judiciary, e.g, in the constitutional and administrative fields, as well as the wider availability of the legal system resulting from processes of democratization, from social and economic mobility and from the consequent weakening of informal controls . . . .; the shortage of judges or auxiliary personnel due to insufficient supply of trained manpower, faulty organizational structures or non-competitive salaries; administrative weaknesses of the yudicial system; attidutes – e.g. conservatism of the traditional judiciary or of the bar”.
d.Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Di dalam bagian ini, akan diketengahkan secara garis besar perihal pendapat-pendapat masyarakat mengenai hukum, yang sangat mempengaruhi kepatuhan hukumnya. Kiranya jelas, bahwa hal ini pasti ada kaitannya dengan factor-faktor terdahulu, yaitu Undang-undang, penegak hukum dan sarana atau fasilitas.
Masyarakat Indonesia pada khususnya, mempunyai pendapat-pendapat tertentu mengenai hukum. Pertama-tama ada berbagai pengertian atau arti yang diberikan pada hokum, yang variasinya adalah sebagai berikut :
1.Hukum diartikan sebagai ilmu pengetahuan
2.Hukum diartikan sebagai disiplin, yakni sistem ajaran tentang kenyataan
3.Hukum diartikan sebagai norma atau kaidah
4.Hukum diartikan sebagai tata hukum yakni hukum positif tertulis
5.Hukum diartikan sebagai petugas ataupun pejabat
6.Hukum diartikan sebagai keputusan pejabat atau penguasa
7.Hukum diartikan sebagai proses pemerintahan
8.Hukum diartikan sebagai perilaku teratur dan unik
9.Hukum diartikan sebagai jalinan nilai
10.Hukum diartikan sebagai seni.
Dari sekian banyaknya pengertian yang diberikan pada hukum, terdapat kecenderungan yang besar pada masyarakat, untuk mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasinya dengan p etugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola prilaku penegak hukum tersebut, yang menurut pendapatnya merupakan pencerminan dari hukum sebagai struktur maupun proses.
Warga masyarakat rata-rata mempunyai pengharapan, agar polisi dengan serta merta dapat menanggulangi masalah yang dihadapi tanpa memperhitungkan apakah polisi tersebut baru saja menamatkan pendidikan kepolisian, atau merupakan polisi yang sudah berpengalaman. Pengharapan tersebut tertuju kepada polisi yang mempunyai pangkat terendah sampai dengan yang tertinggi pangkatnya. Orang-orang yang berhadapan dengan polisi, tidak “sempat” memikirkan taraf pendidikan yang pernah dialami oleh polisi dengan pangkat terendah, misalnya.
Di dalam kehidupan sehari-hari, maka begitu menyelesaikan pendidikan kepolisian, maka seorang polisi langsung terjun ke dalam masyarakat, dimana dia akan menghadapi berbagai masalah, yang mungkin pernah dipelajarinya di sekolah, atau mungkin sama sekali belum pernah diajarkan. Masalah-masalah tersebut ada yang memerlukan penindakan dengan segera, akan tetapi ada juga persoalan-persoalan yang baru kemudian memerlukan penindakan, apabila tidak tercegah. Hasilnya akan dinilai secara langsung oleh masyarakat tanpa pertimbangan bahwa anggota polisi tersebut baru saja menyelesaikan pendidikan, atau baru saja di tempatkan di daerah yang bersangkutan. Warga masyarakat mempunyai persepsi bahwa setiap anggota polisi dapat menyelesaikan gangguan-gangguan yang dialami oleh warga masyarakat, dengan hasil yang sebaik-baiknya.
Tidak setiap kegiatan atau usaha yang bertujuan supaya warga masyarakat mentaati hukum, menghasilkan kepatuhan tersebut. Ada kemungkinan bahwa kegiatan atau usaha tersebut malahan menghasilkan sikap tindak yang bertentangan dengan tujuannya. Misalnya kalau ketaatan terhadap hukum dilakukan dengan hanya mengetengahkan sanksi-sanksi negatif yang berwujud hukuman apabila hokum dilanggar, maka mungkin warga masyarakat malahan hanya taat pada saat ada petugas saja. Hal ini bukan berarti bahwa cara demikian (yakni yang “coercive”) selalu menghasilkan ketaatan yang semu. Maksudnya adalah bahwa apabila cara demikian selalu ditempuh, maka hukum dan penegak hukum dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan. Cara-cara lain dapat diterapkan, misalnya cara yang lunak atau (“persuasion”) yang bertujuan agar warga masyarakat secara mantap mengetahui dan memahami hukum, sehingga ada persesuaian dengan nilai-nilai yang dianut oleh warga masyarakat. Kadang-kadang dapat diterapkan cara mengadakan penerangan dan penyuluhan yang dilakukan berulangkali, sehingga menimbulkan suatu penghargaan tertentu terhadap hukum (cara ini dikenal dengan sebutan “pervasion”). Cara lain yang agaknya menyudutkan warga masyarakat adalah “compulsion”. Pada cara ini dengan sengaja diciptakan sesuatu tertentu, sehingga warga masyarakat tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mematuhi hukum. Memang, dengan mempergunakan cara ini, tercipta suatu situasi di mana warga masyarakat agak terpaksa melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

e.Faktor Kebudayaan
Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu padu dengan faktor masyarakat sengaja dibedakan, oleh karena di dalam pembahasannya akan diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non materiel. Sebagai suatu sistem (atau sub system dari sistem kemasyarakatan), maka hukum mencakup struktur, substansi dan kebudayaan (Lawrence M.Friedman : 1977). Struktur mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut umpamanya, mencakup lembaga-lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dan seterusnya. Substansi mencakup norma-norma hukum beserta perumusannya maupun cara untuk menegakkannya yang berlaku bagi pelaksana hukum maupun pencari keadilan. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan. Hal itulah yang akan menjadi pokok pembicaraan di dalam bagian mengenai faktor kebudayaan ini.
Pasangan nilai yang berperanan dalam hukum, adalah sebagai berikut (Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1983) :
1.Nilai ketertiban dan nilai ketenteraman
2.Nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai rohaniah/keakhlakan
3.Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme
Di dalam keadaan sehari-hari, maka nilai ketertiban biasanya disebut dengan keterikatan atau disiplin, sedangkan nilai ketenteraman merupakan suatu kebebasan. Schuyt pernah memperinci cirri-ciri ketertiban atau keadaan-keadaan tertib, sebagai berikut (C.J.M.Schuyt, 1976) :
“1.Voorspelbaarheid (= dapat diperkirakan)
2.Cooperatie (= kerjasama)
3.Controle van geweld (= pengendalian kekerasan)
4.Consistentie (= kesesuaian)
5.Duurzaamheid (= langgeng)
6.Stabiliteit (= mantap)
7.Hierarchie (= berjenjang)
8.Conformiteit (= ketaatan)
9.Afwezigheid van conflict (= tanpa perselisihan)
10.Uniformiteit (= keseragaman)
11.Gemeenschappelijkheid (= kebersamaan)
12.Regelmaat (= ajeg)
13.Bevel (= suruhan)
14.Volgorde (= keberurutan)
15.Uiterlijke Stijl (= corak lahiriah)
16.Rangschikking (= tersusun).”
Keadaan ketidaktenteraman atau tidak bebas akan terjadi, apabila (Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1983) :
“A ….. ada hambatan dari pihak lain (= dipaksa)
B ….. tidak ada pilihan lain (= terpaksa- tanpa kesalahan pihak lain) C….. karena keadaan diri sendiri (= takut; merasa tidak pada tempatnya).”
Secara psikologis, keadaan tenteram, bila seorang tidak merasa khawatir, tidak merasa diancam dari luar dan tidak terjadi konflik batiniah. Pasangan nilai-nilai tersebut di atas yaitu ketertiban dan ketenteraman, sebenarnya sejajar dengan nilai kepentingan umum dan nilai kepentingan pribadi. Di dalam bidang tata hukum, maka bidang hukum publik (seperti misalnya hukum tata Negara, hukum administrasi Negara dan hukum pidana) harus mengutamakan nilai ketertiban dan dengan sendirinya nilai kepentingan umum. Akan tetapi di dalam bidang hukum perdata misalnya hukum pribadi, hukum harta kekayaan, hukum keluarga dan hukum waris), maka nilai ketenteraman lebih diutamakan. Hal ini bukanlah berarti bahwa di dalam hukum publik nilai ketenteraman boleh diabaikan, sedangkan di dalam hukum perdata nilai ketertiban yang sama sekali tidak diperhatikan. Pasangan nilai ketertiban dan ketenteraman, merupakan pasangan nilai yang bersifat universal; mungkin keserasiannya berbeda menurut masing-masing kebudayaan, di mana pasangan nilai tadi diterapkan. Keadaan di Korea selatan, misalnya adalah sebagai berikut (Pyong-Choon Hahm, 1969) :
“The ultimate ideal has been a complete absence of dispute and conflict. But if discord could not be avoided, society demanded the quickest restoration of broken concord. For this purpose mediation has been preferred, because it does not require the fixing of blame. Parties them selves formulate the solution by mutual agreement, thus obviating the need for an external sanction. Since mediation is possible only when both sides are willing to compromise, each side has to give a little and to be satisfied with less than complete victory”.
Di Indonesia nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat adalah antara lain, sebagai berikut (Moh.Koesnoe, 1969) :
“1). Individu adalah bagian dari masyarakat yang mempunyai fungsi masing-masing demi melangsungkan dan kelangsungan dari pada masyarakat (sebagai lingkungan kesatuan).
2). Setiap individu di dalam lingkungan kesatuan itu, bergerak berusaha sebagai pengabdian kepada keseluruhan kesatuan.
3).Dalam pandangan adat, tidak ada pandangan bahwa ketentuan adat itu harus disertai dengan syarat yang menjamin berlakunya dengan jalan mempergunakan paksaan apa yang disebut sebagai salah kaprah, yaitu dengan sebutan hukum adat, tidaklah merupakan hukuman. Akan tetapi itu adalah suatu upaya adat, untuk mengembalikan langkah yang berada di luar garis tertib kosmis itu, demi tidak terganggunya ketertiban kosmis. Upaya adat dari lahirnya adalah terlihat sebagai adanya penggunaan kekuasaan melaksanakan ketentuan yang tercantum di dalam pedoman hidup yang disebut adat. Tetapi dalam intinya itu adalah lain, itu bukan pemaksaan dengan mempergunakan alat paksa. Itu bukan bekerjanya suatu sanctie. Itu adalah upaya membawa kembalinya keseimbangan yang terganggu, dan bukan suatu “hukuman”, bukan suatu “leed” yang diperhitungkan bekerjanya bagi individu yang bersangkutan”.
Hal-hal yang telah dijelaskan oleh Moh.Koesnoe secara panjang lebar di atas, merupakan kebudayaan Indonesia yang mendasari hukum adat yang berlaku. Hukum adat tersebut merupakan hokum kebiasaan yang berlaku di kalangan rakyat terbanyak. Akan tetapi di samping itu berlaku pula hokum tertulis (perundang-undangan) yang timbul dari golongan tertentu dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang yang resmi. Hukum perundang-undangan tersebut harus dapat mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat upaya hukum perundang-undangan tersebut dapat berlaku secara efektif.

III.Kesimpulan
Dari ulasan-ulasan yang telah diketengahkan dimuka, maka kelima faktor yang telah disebutkan, mempunyai pengaruh terhadap penegakan hukum. Mungkin pengaruhnya adalah positif dan mungkin juga negative. Akan tetapi, diantara semua faktor tersebut, maka faktor penegak hukum menempati titik sentral. Hal itu disebabkan, oleh karena Undang-undang disusun oleh penegak hokum, penerapannya dilaksanakan oleh penegak hukum dan penegak hukum dianggap sebagai golongan panutan hukum oleh masyarakat luas.
Penegak hukum di dalam proses penegakan hukum seharusnya dapat menerapkan dua pola yang merupakan pasangan, yakni pola isolasi dan pola integrasi. Pola-pola tersebut merupakan titik-titik ekstrim, sehingga penegak hukum bergerak antara kedua titik ekstrim tersebut. Artinya, kedua pola tersebut memberikan batas-batas sampai sejauh mana kontribusi penegak hukum bagi kesejahteraan masyarakat.
Faktor-faktor yang memungkinkan mendekatnya penegak hukum pada pola isolasi antara lain :
1.Pengalaman dari warga masyarakat yang pernah berhubungan dengan penegak hukum, dan merasakan adanya suatu intervensi terhadap kepentingan-kepentingan pribadinya yang dianggap sebagai gangguan terhadap ketenteraman (pribadi).
2.Peristiwa-peristiwa yang terjadi yang melibatkan penegak hukum dalam tindakan kekerasan dan paksaan yang menimbulkan rasa takut.
3.Masyarakat yang mempunyai taraf stigmatisasi yang relatif tinggi, memberikan “cap” yang negatif pada warga masyarakat yang pernah berhubungan dengan penegak hukum.
4.Adanya haluan tertentu dari atasan penegak hukum, agar membatasi hubungan dengan warga masyarakat, oleh karena ada golongan tertentu yang diduga akan dapat memberikan pengaruh buruk pada penegak hukum.
Namun dibalik itu semua, di dalam konteks sosial tertentu, pola isolasi mempunyai keuntungan-keuntungan tertentu, yakni antara lain :

1.Hubungan yang formal dalam interaksi sosial dapat merupakan faktor yang mantap bagi penegak hukum untuk menegakkan hukum.
2.Apabila penegak hukum merupakan pelopor perubahan hukum, maka kedudukan yang lebih dekat pada pola isolasi akan memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melaksanakan fungsi tersebut.
3.Adanya kemungkinan bahwa tugas-tugas penegak hukum secara parallel berlangsung bersamaan dengan perasaan anti penegak hukum, namun dalam perasaan damai.

5.Memungkinkan berkembangnya profesionalisasi bagi para penegak hukum.

Beberapa faktor yang mendekatkan pada pola interaksi adalah sebagai berikut :
1.Bagian terbesar warga masyarakat menerima penegakan hukum sebagai bagian dari struktur sosial masyarakat, walaupun belum tentu ada pengetahuan dan kesadaran yang sungguh-sungguh.
2.Warga masyarakat memerlukan perlindungan terhadap keselamatan jiwa dan harta bendanya.

DAFTAR PUSTAKA

Bos A. M. Methoden van Onderzoek en Begripsvorming in het Recht. Rijkuniversiteit to Groningen, tanpa tahun.
Friedman. Lawrence, M. Law Society. An Introduction. Englewood Cliffs. N.J. : Prentice Hall, 1977.
Konz. Peider, Introduction. Court Congestion, Some Remedial approaches : Concialition, Pretial, Training, Use of Auxiliaries and Electronic Devices, Roma : Bulzoni Editor, 1971.
La Favre. Wayne. R, The Decicision To Take a suspect Into Custody, Boston : Little, Brown and Company, 1964.
Moh. Koesnoe, Peranan Hukum Adat di Dalam Pembangunan Nasional. Prae-Advies Seminar Awig-Awig, Denpasar, Bali, 1969.
Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara. Jakarta, Ghalia Indonesia, 1983.
Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Perundang-Undangan dan Yurisprudensi, Bandung, Penerbit Alumni, 1979.
Purnadi Purbacaraka & Soejono Soekanto, Renungan Tentang Filsafat Hukum, Jakarta, C.V. Rajawali, 1983.
Pyong-Choon Hahm, The Decisios Process in Korea, Glendon Schubert & David J. Danelski (eds), Comparative Judicial Behavior, New York, Oxford University Press, 1969.
Schuyt. J.M, Recht, Orde en Burgelijke Ongehoorzaamheid, Rotterdam, Universitaire Pers, 1976.
Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum dan Kesadaran Hukum, Makalah pada Seminar Hukum Nasional Ke-IV, Jakarta, 1979.
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, C.V. Rajawali, Jakarta, 1983.