Minggu, 20 September 2009

ALQURAN: PENGERTIAN, KARAKTERISTIK DAN BENTUK-BENTUK PENJELASAN HUKUM-HUKUMNYA

Oleh: Muhammad Anwar Zainuddin

A. Pengertian Al-Qur’an Perkataan Alqur’an berasal dari kata kerja qaraa yang artinya dia telah membaca. Kata kerja ini berubah menjadi kata benda qur'an, yang secara harfiah berarti bacaan atau sesuatu yang harus dibaca atau dipelajari. Makna perkataan itu sangat erat hubungannya dengan arti ayat Alqur'an yang pertama diturunkan di gua Hira yang dimulai dengan perkataan iqra'. Artinya bacalah. Membaca adalah salah satu usaha untuk menambah ilmu pengetahuan yang sangat penting bagi hidup dan kehidupan manusia. Dan ilmu pengetahuan itu hanya dapat diperoleh dan dikembangkan dengan jalan membaca dalam arti kata seluas-seluasnya. Nama Al qur'an seperti yang disebutkannya sendiri bermacam-macam, dan masing-masing itu mengandung arti dan makna tertentu, antara lain :
(1) Al Kitab, artinya buku atau tulisan. Pengertian dimaksud, untuk mengi¬ngatkan kaum muslimin supaya membuku-kannya menjadi buku;
(2) Alqur'an, artinya bacaan. Pengertian dimaksud, meng-ingatkan supaya ia dipelihara/dihafal bacaannya di luar kepala;
(3) Al Furqan, artinya pemisah. Pengertian dimaksud, meng-ingatkan supaya dalam mencari garis pemisah antara kebenaran dan kebatilan, yang baik dan buruk haruslah dari padanya atau mempunyai rujukan padanya;
(4) Hudan, yaitu petunjuk. Pengertian dimaksud, mengingat-kan bahwa petunjuk tentang kebenaran hanyalah petunjuk yang diberi¬kan-Nya atau mempunyai rujukan kepada-Nya;
(5) Al Zikr, artinya ingat. Pengertian dimaksud, menunjukkan bahwa ia berisikan peringatan sehingga selalu diingat tuntunannya dalam melakukan setiap tindakan. (Sulaeman Abdullah, 1995).
Alqur'an sebagi sumber hukum yang pertama dan utama sebagaimana yang diungkapkan oleh Allah dalam Alqur’an Surah An-Nisa/4: 105 sebagai berikut.
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلاَ تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
Terjemahnya:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab (Alqur'an kepada engkau (Muhammad) dengan kebenaran, supaya engkau menghukum di antara manusia dengan apa yang Allah telah tunjukkan kepada engkau . . . .
B. Karakteristik Kandungan Alqur'an.
Alqur'an memuat kaidah-kaidah hukum fundamental yang perlu dikaji dengan teliti dan dikembangkan lebih lanjut. Menurut keyakinan umat Islam, yang dibenarkan peneliti ilmiah terakhir Maurice Bucaille, Al qur'an kitab yang memuat wahyu (firman-firman) Allah, Tuhan Yang Esa, asli seperti yang disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya sedikit demi sedikit selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, mula-mula di Mekah kemudian di Madinah untuk menjadi pedoman atau petunjuk bagi ummat manusia kedalam hidup kehidupannya mencapai kesejehteraan di dunia ini dan kebahagiaan di akhirat kelak. Lebih jauh Maurice Bucaille dalam bukunya "Le Bible Le Qor'an Et La Science" telah mebuktikan bahwa banyak sekali ayat-ayat Al qur'an itu yang cocok dengan ilmu pengetahuan modern. Karena itu di dalam Al qur'an, masih banyak teori-teori ilmu pengetahuan modern yang belum diungkapkan oleh manusia. Namun, sangat berguna bagi keselamtan/kesejehteraan manusia di masa mendatang (Syahminan Zaini, 1982 ; 158).
Alqur’an adalah kitab suci yang berisi wahyu Ilahi yang menjadi pedoman hidup kepada manusia yang tidak ada keragu-raguan di dalamnya. Selain itu, Alqur’an menjadi pentunjuk yang dapat menciptakan manusia untuk menjadi bertaqwa (predikat yang tertinggi dihadapan Allah) kepada Allah Swt. Karena itu, Alqur’an banyak mengemukakan prinsip-prinsip umum yang mengatur kehidupan manusia dalam beribadah kepada Allah swt., meskipun kegiatan muamalah terjadi secara interaktif antara sesama makhluk, termasuk alam semesta; namun Alqur’an dan Alhadis tetap menjadi hukum dasar yang harus dipedomani oleh manusia berdasarkan prinsip bahwa semua kegiatan itu berada dalam kegiatan beribadah kepada Allah swt. Dengan demikian, semua perbuatan manusia adalah ibadah kepada Allah sehingga tidak boleh bertentangan dengan hukum Allah swt, dan ditujukan untuk mencapai keridhaanNya (Zainuddin Ali, 2001: 95).
Alqur’an sebagai pedoman yang abadi bagi kehidupan manusia mempunyai tiga jenis petunjuk, yaitu:
Pertama, ajaran yang di dalamnya memberi pengetahuan tentang struktur kenyataan dan posisi manusia. Ajaran dimaksud berisi petunjuk akhlak atau moral serta hukum atau syari’at, yang mengatur kehidupan manusia sehari-hari. Ajaran itu juga mengandung metafisika tentang Tuhan, kosmologi tentang alam semesta serta kedudukan berbagai makluk dan benda di dalamnya, dan membicarakan kehidupan di akhirat. Selain itu, mengandung ajaran tentang kehidupan manusia , tentang sejarah dan eksistensi manusia serta arti dari keduanya. Ia mengandung segala pelajaran yang diperlukan oleh manusia untuk mengetahui siapa dirinya, di mana ia berada dan ke mana ia pergi. Karena itu, Alqur’an adalah dasar dan hukum Tuhan dan pengetahuan metafisika.
Kedua, Alqur’an berisi petunjuk yang menyerupai ring-kasan sejarah manusia baik rakyat biasa, raja, orang-orang suci maupun Nabi dan Rasul Allah Swt. sepanjang zaman yang mereka ditimpa cobaan. Walaupun petunjuk itu dalam bentuk sejarah tetapi ditujukan kepada manusia. Petunjuk dimaksud, diturunkan kepada manusia di masa lalu, kini dan akan datang, meskipun mengambil tempat dan waktu yang telah lalu. Para pendusta yang mendustakan kebenaran Alqur’an dan agama Islam selalu ada pada setiap saat, begitu pula mereka yang mengingkari Tuhan ataupun mereka yang berada di jalan lurus . Mereka yang diberi siksa-Nya dan mereka yang diberi karunia-Nya selalu ada pada setiap ruang dan waktu. Jadi Alqur’an adalah petunjuk tentang kehidupan manusia yang dimulai dengan kelahiran dan diakhiri dengan kematian, dimulai dari-Nya dan kembali kepada-Nya.
Ketiga, Alqur’an berisi sesuatu yang sulit dijelaskan dalam bentuk bahasa biasa. Ayat-ayat Alqur’an berasal dari Firman Allah, mengandung kekuatan yang berbeda dari apa yang kita pelajari dalam Alqur’an secara rasional. Ayat-ayat itu mem-punyai kekuatan untuk melindungi manusia . Itulah sebabnya kehadiran fisik Alqur’an sendiri membawa berkat bagi manusia. Apabila seorang muslim menghadapi kesulitan, ia membaca ayat-ayat tertentu di dalam Alqur’an untuk menenangkan dan menghibur hatinya. Menurut ajaran Islam, membaca Alqur’an, adalah salah satu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan merupakan ibadah (H.Mohammad Daud Ali, 1991: 73).
Alqur’an yang menjadi sumber nilai dan norma ummat Islam itu terbagi ke dalam 30 juz (bagian), 114 surah (bab). Namun, jumlah ayat terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu Alqur’an. Ada ahli yang memandang 3 ayat tertentu sebagai satu ayat, ada pula yang memandang 2 ayat tertentu sebagai satu ayat, karena masalah koma dan titik yang diletakkan di antara ayat-ayat itu, tetapi jumlah kata dan suku kata yang mereka hitung adalah sama, yaitu 74.499 kata atau 325.345 huruf. Di Indonesia, misalnya, yang mengikuti perhitungan Muham-madiyah menyebut jumlah ayat di dalam Alqur’an 6.666, sedang mesjid Agung Al-Azhar menghitung 6.236 ayat sesuai dengan jumlah ayat di dalam Alqur’an yang dicetak di Mesir (H. M. Daud Ali, 1991: 80).
Para ahli ilmu Alqur’an sepakat bahwa surah pertama diturunkan disebut al-Fatihah (pembukaan), surah ke-114 adalah surah an-Nas (manusia). Alqur’an diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad tidak secara kronologis. Lima ayat pertama yang diturunkan di gua Hira` pada malam 17 Ramadhan atau pada malam Nuzulul Qur’an ketika Nabi Muhammad berusia 40 – 41 tahun, saat ini terletak di surah al-‘Alaq (96): 1- 5. Ayat terakhir yang diturunkan di padang Arafah, ketika Nabi Muhammad berusia 63 tahun pada tanggal 9 Zulhijjah tahun ke-10 Hijrah, saat ini terletak di surah al-Maidah (5): 3.
Ayat-ayat Alqur’an yang diturunkan selama lebih kurang 23 tahun itu disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad lebih kurang 13 tahun ketika ia berada di Mekkah (sebelum Hijrah ke Madinah) dan 10 tahun diturunkan Alqur’an itu sesudah ia hijrah ke Madinah. Penurunan Alqur’an itu berangsur-angsur, mungkin beberapa ayat dari sebuah surah, mungkin juga sebuah surah lengkap seperti surah al-Fatihah, misalnya. Ayat-ayat yang diturunkan di Mekah (sebelum hijrah) disebut ayat-ayat Makkiyah, merupakan 19/30 dari ayat Alqur’an, banyaknya 86 surah dan ayatnya pendek-pendek yang mempunyai gaya bahasa yang singkat dan padat. Pada umumnya mengenai ketauhidan atau ketuhanan Yang Maha Esa, akhlak dan hari akhir. Ayat-ayat yang diturunkan di Madinah (sesudah Hijrah) disebut ayat-ayat Madniyah, merupakan 11/30 dari Alqur’an, banyaknya 28 surah. Surah dan ayat-ayatnya panjang-panjang, gaya bahasanya jelas dan tegas. Isinya, pada umumnya adalah norma-norma hukum untuk pembentukan dan pembinaan suatu masyarakat Islam, negara yang baik, adil dan sejahtera yang diridhai oleh Allah.
Abdul Wahab Khallaf mengemukakan bahwa Alqur’an memuat 6.236 ayat (Abdul Wahab Khallaf: 1956: 34-35). Jumlah itu, hanya 5,8 persen dari seluruh ayat Alqur’an yang mempunyai perincian. Hal itu diungkapkan karakteristik ayat-ayat sebagai berikut.
1) Ibadat shalat, puasa, haji, zakat, dan lain-lain 140 ayat.
2) Hidup kekeluargaan, perkawinan, perceraian, hak waris, dan sebagainya 70 ayat.
3) Perdagangan/perekonomian, jual-beli, sewa menyewa, pin-jam meminjam, gadai, perseroan, kontrak, dan sebagainya 70 ayat.
4). Persoalan kriminologi 30 ayat.
5) Hubungan Islam dengan non Islam 25 ayat.
6) Persoalan kehakiman/pengadilan 13 ayat.
7) Hubungan si kaya dan si miskin 10 ayat.
8) Persoalan kenegaraan 10 ayat.
C. Bentuk-Bentuk Penjelasan Hukum-Hukum Al-Qur’an
Jumlah ayat-ayat Alqur’an yang mempunyai perincian secara keseluruhan yang diungkapkan di atas adalah 368 ayat. Dari jumlah 368 ayat tersebut, hanya 228 ayat itu dari seluruh jumlah ayat-ayat Alqur’an amat terperinci yang menyangkut hukum ibadah, hukum kelaurga, dan hukum kewarisan, Kecuali dalam beberapa hal mengenai hukum kepidanaan, dan hukum ekonomi, dan beberapa lagi bidang hukum lainnya yang telah disebutkan perinciannya di atas. Hal itu berarti selain dalam bidang hukum dimaksud, ulil amri (pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat) memperoleh kesempatan untuk membuat peraturan perundang-undangan yang terperinci sesuai tuntutan perkembangan masyarakat (Harun Nasution, 1978: 9).
Berdasarkan perincian dan klasifikasi ayat-ayat Alqur’an dimaksud, menujukkan bahwa ayat-ayat yang mengatur soal hidup kekeluargaan, kepidanaan dan kehidupan ekonomi mempunyai jumlah besar. Angka mengenai hidup kekeluargaan ini besar karena keluargalah yang merupakan unit kemasyarakatan terkecil dalam tiap-tiap masyarakat. Dari keluarga-keluarga yang baik, makmur dan bahagia tercipta masyarakat yang baik, makmur dan bahagia. Keluarga-keluarga yang tidak kuat ikatannya, tidak akan dapat membentuk masyarakat yang baik. Karena itu, keteguhan ikatan kekeluargaan perlu dipelihara dan di sinilah terletak salah satu sebabnya maka ayat-ayat ahkam mementingkan soal hidup kekeluargaan. Dalam hubungan ini perlu diketahui bahwa salah satu tujuan ibadah dalam Islam ialah membentuk individu-individu menjadi baik dan berbudi pekerti luhur. Dari individu-individu yang tidak mempunyai budi pekerti luhur tidak akan dapat terwujud keluarga yang baik (Harun Nasution, 1978: 10)
Selain itu, perlu diungkapkan bahwa ayat-ayat ahkam mengenai hidup kemasyarakatan itu, selain kecil jumlah kese-luruhannya, bersifat umum, dalam pengertian hanya membe-rikan garis-garis besarnya tanpa perincian. Ini berlainan halnya dengan ayat-ayat ahkam mengenai ibadah. Wahyu dalam hal ini lebih tegas dan lebih terperinci. Masyarakat bersifat dinamis mengalami perubahan dari zaman ke zaman, dan kalau diatur dengan hukum-hukum yang berjumlah besar lagi terperinci akan menjadi terikat dan tak dapat berkembang sesuai dengan per-edaran dan perkembangan zaman. Di sini pula terletak hikmah-nya maka ayat-ayat ahkam mengenai hidup kemasyarakatan berjumlah kecil dan hanya membawa pedoman-pedoman dasar tanpa perincian. Karena itu, hanya dasar-dasar inilah yang perlu dan wajib dipegang dalam mengatur hidup kemasyarakatan ummat disegala tempat dan zaman. Dengan kata lain dasar-dasar itulah yang tak dapat diubah oleh manusia, sedang interpretasi, perincian dan pelaksanaannya, itu berubah menurut tuntutan zaman. Di sekitar interpretasi dasar-dasar inilah hukum dalam Islam berkembang seperti yang akan diuraikan lebih rinci pada pembahasan Al-Ra’yu.
Ayat-ayat hukum (ahkam) di dalam Alqur’an yang jumlah-nya disebutkan di atas, mungkin teksnya menunjukkan pengertian yang qath’i, mungkin pula zhanni sifatnya. Yang dimaksud nas qath’i sifatnya adalah kata atau kalimat yang mengandung arti yang jelas sekali sehingga tidak mungkin ditafsirkan lain dari yang tercantum dalam ayat itu. Sebagai contoh dapat diungkapkan dalam surat an-Nisa (4): 12
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ . . . .
Terjemahnya:
Dan bagimu (suami) adalah seperdua dari harta peninggalan isterimu, jika isterimu itu tidak mempunyai anak . . . .
Teks ayat Alqur’an mengenai garis hukum kewarisan tersebut adalah qath’i (jelas sekali pengertiannya sehingga tidak mungkin diartikan lain dari apa yang dimaksud dalam teks ayat itu). Lain halnya teks Alqur’an yang bersifat zdanni, yaitu kata atau kalimat yang menunjukkan arti lebih dari satu, masih mungkin ditafsirkan oleh orang yang berbeda dengan makna yang berbeda pula. Dalam kepustakaan hukum Islam yang sering dijadikan contoh adalah perkataan quru’ yang terdapat dalam surat Al-Baqarah (2): 228.
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوءٍ . . . .
Dalam ayat tersebut, dikatakan bahwa “perempuan yang ditalak (oleh suaminya) harus menunggu tiga masa (quru’). Kata quru’ yang menyangkut masa iddah (masa tunggu) wanita yang diceraikan oleh suaminya, mungkin diartikan tiga kali masa suci atau tiga kali menstruasi (haid). Pengertian kedua-duanya adalah benar. Kalau kata quru’ itu diartikan tiga kali masa suci, lamanya masa tunggu atau iddah wanita itu akan berbeda dengan kalau quru’ itu diartikan tiga kali suci (bersih).
Kandungan Alqur'an dapat diketahui di antaranya: salah satu ayat di dalam Alqur’an menerangkan yang artinya: tidaklah ada satu pun dari binatang di bumi dan tidak pula satu pun yang terbang dengan kedua sayap¬nya, melainkan adalah mereka itu ummat-ummat seperti kamu. Tidak ada yang Kami luputkan di dalam Al Kitab sesuatu pun. Kemudian, kepada Tuhan mereka akan dikumpulkan" (Al-An'am : 38).
Sebagian Ahli tafsir berkata, ayat "tidak ada yang Kami luputkan di dalam Al Kitab sesuatu pun", maksudnya ialah dalam Alqur'an itu telah ada pokok-pokok agama, norma-norma, hukum-hukum, hikmah-hikmah dan pimpinan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat dan kebahagiaan makhluk pada umumnya (Humaidi Tatapangarsa, 1990: 67). Namun perlu diketahui dan dipahami bahwa Alqur'an pada hakekatnya mengandung lima prinsip, tujuan pokok diturunkan Al qur'an kepada Nabi Muhammad untuk diteruskan kepada umat manusia, yaitu untuk menyampaikan lima prinsip yang terdapat di dalam Alqur'an sebagai berikut :
(1) Tauhid (doktrin tentang kepercayaan Ketuhanan Yang Maha Esa);
(2) Janji dan ancaman Tuhan;
(3) Ibadah;
(4) Jalan dan cara mencapai kebahagiaan;
(5) Cerita-cerita/sejarah-sejarah umat manusia sebelum Nabi Muhammad.
Abdul Wahab khallaf menyebut berbagai macam hukum" dalam Alqur'an, yang tidak termasuk ke dalam bidang hukum menurut apa yang biasa kita pelajari baik menurut hukum Adat maupun menurut hukum eks Barat. Menurut pandangan Islam "hukum-hukum" yang terkandung dalam Alqur'an itu adalah :
1. Hukum-hukum i'tiqadiyah, yaitu hukum yang berkitan dengan kewajiban pada subyek hukum untuk mempercayai Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari pembalasan,
2. Hukum-hukum akhlaq, yaitu hukum-hukum Allah yang berhubungan dengan kewajiban seorang subjek hukum untuk "menghiasi" dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang tercela.
3. Hukum-hukum amaliyah, yakni hukum-hukum yang bersang-kutan dengan perkataan, perbuatan, perjanjian dan hubungan kerjasama antar sesama manusia.
Ke tiga jenis hukum di atas, dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu (a) hukum-hukum ibadat, yaitu hukum yang mengatur hubungan antar manusia dengan Allah dalam mendirikan shalat, melaksanakan ibadah puasa, mengeluarkan zakat dan melakukan ibadah haji dan (b) hukum-hukum muamalat yakni semua hukum yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik hubungan antar pribadi maupun hubungan antar orang per-orangan dengan masyarakat.
Bila dilihat dari isi hukum-hukum muamalat dalam kategori di atas, hukum-hukum muamalat itu tidak hanya menge¬nai hukum perdata, menurut konsep dan pengertian hukum eks Barat, tetapi termasuk juga ke dalamnya apa yang disebut hukum pidana. Menurut pengertian hukum Alqur'an, semua hukum dalam kategori hukum-hukum amaliah tersebut di atas, selain dari hukum-hukum yang berkenaan dengan ibadah, adalah hukum muamalat. Hukum muamalat dalam pengertian ini, menurut Abdul Wahab Khallaf seperti yang dikutip oleh H. Mohammad Daud Ali, meliputi juga, selain dari hukum perdata, juga hukum pidana, hukum tata negara, hukum internasional, hukum ekonomi dan keuangan bahkan juga hukum acara (Mohammad Daud Ali, 1993:44-46).
Menurut Syaminan Zaini (1982: 80), Alqur'an mengandung dua macam hukum, yaitu :
1. Sunnatullah (hukum alam). Hukum ini berlaku untuk benda pisik. Benda-benda pisik ini sangat patuh kepada hukum tersbut. Allah berfirman yang artinya: Dan kepada Allahlah menyerah diri di bumi secara taat dan terpaksa (S. Ali Imran: 83); "Dan kepada Allahlah bersujud apa yang ada di langit dan di bumi secara taat dan terpaksa (S. ar-Ra'du: 15). Karena itu benda-benda pisik ini menjadi sangat teratur dan harmonis;
2. Dinullah (hukum agama). Hukum ini berlaku bagi manusia sebagai makhluk rohani. Hukum ini terbagi kepada tiga bagian, yaitu: aqidah (kepercayaan), syari'ah (hukum ibadah dan muamalah) dan akhlak (hukum budi pekerti). Dalam Islam hukum ini telah diperinci sedemikian rupa, yang mencakup keseluruhan aspek kemanusiaan dan kehidu¬pan-nya.
Bila penulis membandingkan antara hukum-hukum yang ada di dalam Alqur'an dengan hukum-hukum yang dibuat oleh manusia dalam segala seginya maka ditemukan bahwa hukum Alqur'an lebih mencakup dan lebih sempurna serta serasi bagi keseluruhan aspek kemanusiaan dan kehidupannya. Sebagai contoh dapat diungkapkan bahwa dalam ajaran Islam ditemukan pembagian kategori hukum itu kepada lima bagian, yaitu wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah yang sesuai dengan tindakan manusia di dalam hidup bermasyarakat. Islam mendahulukan kewajiban dari pada hak. Sebab, apabila kewajiban telah dibayarkan berarti hak orang telah diberikan. Dengan demikian tidak akan menuntut haknya lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, H. Mohammad Daud. Asas-Asas Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 1991
Ali, Zainuddin. Ilmu Hukum dalam Masyarakat Indonesia. Palu: Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, 2001
----------. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Jakaarta: Sinar Grafika, 2006
--------------. Hukum Pidana Islam. Jakaarta: Sinar Grafika, 2007
Furqan, H. Arif, dkk. Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum, Jakarta: Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2002.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jilid 1 & 2. Jakarta: UI Press, 1985.
----------. Akal dan Wahyu Dalam Islam. Jakarta: UI Press, 1986.
----------- & Bahtiar Effendy. (penyunting). Hak-hak Azasi Manusia. Jakarta: Obor, 1987
Wahab Khallaf, Abdul. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Diterje-mahkan oleh Noer Iskandar. Jakarta: Rajawali Press, 1996.
Zuhri, Muh. Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah. Cetakan kedua; Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1997

1 komentar: