Sabtu, 19 September 2009

Tindak Pidana terhadap Dugaan Korupsi di Departemen Hukum dan HAM di Lihat dari Aspek Sosiologi Hukum

Oleh: Siti Nurhasanah
Dosen: Prof Dr H Zainuddin Ali MA

A. Latar Belakang
Fenomena “ketegangan” antara kekuasaan hukum dan tuntutan pembangunan ekonomi seperti dikemukakan oleh Jochen Ropke tersebut berkorelasi dengan ideologi pembangunan di Indonesia. Pada masa Orde Baru, trilogi pembangunan Indonesia yaitu pertumbuhan, stabilitas dan pemerataan. Dari kacamata yang dipakai Ropke itu terllihat adanya fenomena yang terlalu banyak menonjolkan pertumbuhan ekonomi dan kurang memperhatikan kegunaan hukum sebagai elemen perekat kohesi nasional. Dari kebijaksanaan seperti itu, muncullah fenomena kolusi dan korupsi yang mengabaikan prosedur legal dan kaidah moral, demi keuntungan ekonomi dan politik dengan berlindung di bawah alasan pembenaran dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Padahal fenomena-fenomena semacam itu dapat meruntuhkan tatanan sosial politik dan perekonomian negara, seperti halnya yang secara historis telah dialami oleh banyak negara, baik negara kapitalis, sosial komunis, maupun negara seperti Iran pada zaman Rezim Pahlevi. Dalam kaitan inilah pentingnya kajian tentang korupsi politik dalam disertasi ini. Kajian korupsi politik dan hukum di negara Filipina, RRC, Iran, Pakistan, India, Rusia, Jepang, Amerika Serikat, Belanda dan di PBB, dan lain-lain akan memperjelas adanya inferensi (kesimpulan) tentang eksistensi dan implikasinya di negara modern dewasa ini. Dengan metode komparatif ini akan terlihat fenomena korupsi yang bersifat sistemik serta perbedaannya dengan korupsi yang bersifat sporadis.
Dalam kacamata sosiologi hukum yang dipakai oleh Alvin S. Johnson tentang eksistensi dan peran hukum ditegaskan bahwa dalam kehidupan sosial yang nyata, hukum mempunyai daya mengatur, hanya jikalau sudah dipersatukandalam suatu kerangka hukum, lebih-lebih dalam satu sistem hukum. Penjelmaan kenyataan sosial sebagai fakta normatif yang dapat melahirkan hukum, yakni menjadi sumber utama atau sumber materiilnya.
Pada masyarakat-masyarakat maju, yang di dalamnya agama, moralitas, dan hukum cukup dibedakan satu sama lain, maka hubungan antara kenyataan hukum dan moralitas menjadi efektif. Dalam hubungan antara hukum dan nilai kemanusiaan, Satjipto Rahardjo menyatakan hukum itu bukan merupakan suatu institusi yang absolut dan final melainkan sangat bergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusialah yang merupakan penentu. Memang menghadapkan manusia kepada hukum mendorong kita melakukan pilihan-pilihan yang rumit. Tetapi pada hakikatnya teori-teori hukum yang ada berakar pada kedua faktor tersebut. Semakin landasan suatu teori bergeser ke faktor hukum, semakin ia menganggap hukum sebagai sesuatu yang mutlak- otonom dan final. Semakin bergeser ke manusia, semakin teori itu ingin memberikan ruang kepada faktor manusia.
Keterlibatan fungsi hukum dan peradilan dalam proses-proses demokratisasi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, mengundang konsekuensi dan akan selalu berhadapan dengan paradoks-paradoks yang sengaja dibuat atau yang memang termasuk hukum kehidupan. Radius jangkauan peran hukum dapat merasuk ke pelbagai aspek kehidupan kemasyarakatan baik politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pendidikan masyarakat. Perannya sangat dekat dengan timbulnya keresahan dan kepuasan bathin masyarakat, karena peradilan merupakan media efektif untuk mengartikulasikan demokrasi dan merealisasikan keadilan. Begitu strategis dan vital eksistensi hukum dan peradilan dalam masyarakat, sehingga mengundang minat pemegang otoritas untuk mengelola dan merekayasa hukum, baik dalam bentuk undang-undang atau peraturan lainnya. Pengelolaan hukum dan peradilan sering menggoda elit politik dan pejabat pemerintahan untuk memasukkan subjektivitas dan kepentingan individu atau kroninya dapat diakomodasikan dalam perangkat aturan hukum. Dengan demikian, sikap dan tindakannya yang bias dan merugikan rakyat mendapat legitimasi yuridis meskipun bertentangan dengan moral. Pemerintahan Orde Baru (1966-1998), banyak mengulangi kesalahan politik Orde Lama dalam hal merekayasa hukum dan peradilan. Banyaknya undang-undang dan aturan hukum di bawahnya yang intinya hanya menguntungkan elit politik dan pemerintahan beserta keluarga dan kroninya merupakan bagian dari administrasi negara zaman Orde Baru.
Jadi, penampilan peran peradilan yang prima, selalu menuntut adanya integritas moral yang tinggi dari personilnya (lawyer, jaksa, hakim), terutama para hakim sebagai figur sentral dalam peradilan. Hanya saja, norma yang ada dalam masyarakat tidak hanya moral dan hukum saja, tetapi juga banyak norma- norma yang lain, seperti yang pernah dikemukakan oleh Adam Podgorecki dalam bukunya Law and Society :
“In a social system there exists not only legal and moral norms, but also various norms of customs, manners, religion, politics, tradition, etc. Among these categories moral and legal norms are distinct, as their role in the social systems in particularly significant and important. Legal and moral norms are the basis for order and regulation in a social system.”
Jadi pendayagunaan peran peradilan juga menuntut pemahaman terhadap berbagai norma yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian, mekanisme peran kreatif peradilan berseanyaman dengan kultur hukum masyarakat. Mengapa hukum pidana korupsi di Indonesia khususnya dan di beberapa negara lain terlihat seakan tidak berfungsi. Padahal menurut Barda Nawawi Arief, dilihat dari kebijakan hukum pidana, sasaran adressat dari hukum pidana tidak hanya perbuatan jahat dari warga masyarakat tetapi juga perbuatan (dalam arti kewenangan/kekuasaan) penguasa/aparat penegak hukum. Lebih dari itu, fenomena korupsi ekonomi dan korupsi politik terkait dengan tingkah laku kekuasaan, dalam arti pula faktor kebijaksanaan politik yang di dalamnya menyangkut hukum dan institusi penegak hukum sudah tidak berfungsi atau kehilangan integritasnya. Lazim terjadi adanya komisi-komisi independen untuk menyelidiki korupsi pejabat tingkat tinggi dan korupsi politik. Misalnya komisi antikorupsi pada awal Orde Baru, begitu pula pada era Reformasi tahun 1998 muncul banyak komisi pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) termasuk yang berkaitan dengan bisnis keluarga mantan Presiden Soeharto dan sejenisnya.
Dalam merespon fenomena sosial yang perkembangan masyarakat pada era globalisasi saat ini, termasuk berbagai corak ekses pembangunan dan perilaku asosial dan korupsi, hukum Indonesia (dapat) menunjukkan keberadaan dan wataknya sesuai dengan perkembangan dan kompleksitas interaksi nasional maupun internasional. Hukum yang berakar filsafat utilitarian banyak mewarnai hukum suatu negara dan norma internasional. Hukum yang beraliran utilitarianisme mengagungkan kebebasan maksimal bagi setiap individu sebagaimana yang digagas oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Seperti dikemukakan Satjipto Rahardjo, pemidanaan, menurut Bentham harus bersifat spesifik untuk setiap kejahatan dan seberapa kerasnya pidana itu tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan- penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya dapat diterima apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar. Tujuan akhir dari perundang-undangan adalah untuk melayani kebahagiaan yang paling besar dari sejumlah terbesar rakyat. Dengan demikian, kajian tentang keberadaan fungsi dan visi hukum Indonesia terutama tentang korupsi menjadi sangat relevan, agar keberadaan hukum sesuai dengan hakikat keberadaannya. Tersedianya integritas peradilan dan hukum yang visioner dalam suatu pemerintahan, merupakan salah satu indikator adanya komitmen bangsa dalam upaya menanggulangi korupsi. Kualitas komitmen pemerintahan Indonesia baik pada masa Orde Lama (1959-1965) maupun Orde Baru (1966-1998) terlihat sangat rendah dalam upaya penanggulangan korupsi, khususnya korupsi politik. Begitu pula pemerintahan setelah Soeharto tetap tidak berdaya dan belum memiliki kemampuan dan kemauan politik yang tegas untuk memberantas korupsi.
Dalam era globalisasi korupsi telah menjadi fenomena kejahatan yang menyangkut hubungan multilateral dan internasional. Apalagi yang berkualifikasi korupsi politik modus operandi dan implikasinya lebih komplek dibandingkan dengan korupsi yang dilakukan oleh orang biasa yang tidak memiliki kekuasaan politik. Korupsi politik yang dilakukan oleh pejabat tinggi di suatu negara juga terjadi di berbagai negara di semua benua. Korupsi politik memiliki dampak negatif yang merusak tata kehidupan negara dan melanggar hak dasar rakyat di negara yang bersangkutan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana korelasi korupsi dan paradigma hukumnya di Indonesia, dibeberapa negara modern, dan era globalisasi?
2. Bagaimana korelasi korupsi dengan dimensi sosio-kultural?
3. Bagaimana Dugaan Tindak pidana korupsi yang terjadi di Departemen Hukum dan HAM dilihat dari aspek Sosiologi Hukum?
4. Bagaimana upaya (kebijakan/strategi) penanggulangan dugaan korupsi yang berada di Departemen Hukum dan HAM dilihat dari aspek Sosiologi Hukum?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Penggunaan Teori.
Dengan mengutip Johan Galtung, ahli sejarah Kuntowijoyo mengatakan bahwa sejarah itu diachronic (menekankan proses), sedangkan ilmu-ilmu sosial (sosiologi, ilmu politik, antropologi, ekonomi) itu synchroni(menekankanstruktur). Dengan menunjuk pada pendapat Sally Falk Moore yang mengatakan bahwa “law is process” menunjukkan bahwa hukum itu terkait dengan hal yang bersifat diachronic, tetapi pada saat yang sama juga tidak lepas dari yang bersifat synchronic, karena menyangkut hubungan tingkah laku manusia di dalam masyarakat. Karakter bidang ilmu itu penting untuk dipahami, agar mengetahui cara bekerjanya teori ilmu itu secara alamiah.
Dengan mempergunakan teori-teori yang dikemukakan dalam kajian ini akan dapat dilihat masalah korupsi politik dengan akurat (cermat dan tepat). Pada saat yang sama dengan kacamata teori akan dapat dilihat faktor-faktor yang terlibat dan hubungan korelasinya dengan faktor yang lain. Sebagaimana yang dikemukakan oleh W. Lawrence Neuman bahwa teori memberikan pemikiran (pertimbangan) dan mekanisme yang membantu peneliti menghubungkan variabel-variabel dengan permasalahan dalam penelitiannya. Suatu hipotesis dapat menjawab permasalahan (pertanyaan) dan proposisi yang tidak terbukti dalam suatu teori. (Theory provides the reasoning or mechanism that helps researchers connect variables into a research question. A hypothesis can be both an answer to a research question and untested proposition from a theory).
Sebelum mengkaji secara lebih mendalam tentang permasalahan tindak pidana korupsi tersebut, menurut hemat penulis perlu untuk diangkat mengenai tingkat pemahaman masyarakat Indonesia terhadap hukum. Menurut kami relevan untuk dikaji karena muatan ini lebih bersifat sebagai suatu bentuk pemahaman kembali mengenai hal mendasar yang disajikan secara terbatas, tetapi diupayakan dapat memberikan suatu khasanah tersendiri bagi para pembacanya.

Sejarah kenegaraan pun menunjukkan bahwa pengertian kegiatan tersebut merupakan salah satu upaya konkrit dalam mewujudkan demokratise rechtsstaat, yang secara berkesinambungan selalu berkembang sesuai dengan tingkat kecerdasan suatu bangsa. Oleh karenanya berpangkal tolak pada perumusan sebagai yang digariskan oleh pembentuk undang-undang dasar kita Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum dengan anggapan bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari pengertian negara hukum pada umumnya, disesuaikan dengan keadaan di Indonesia. Artinya digunakan dengan ukuran pandangan hidup maupun pandangan bernegara kita.
Hukum sebagai agent of change dalam kehidupan masyarakat memang semestinya dapat mengatasi atau setidaknya telah mewaspadai segala bentuk perubahan sosial maupun kebudayaan yang menggejala di masyarakat yang kompleks sekalipun. Sekalipun konsep-konsep hukum tersebut tidak sepenuhnya dipahami oleh masyarakat, tetapi hukum itu sendiri tetap eksis dalam konteks yang lebih universal. Hal ini tidak lain karena masyarakat umum yang menghendaki atau menciptakan suatu perubahan, meskipun tidak diiringi dengan pemahaman konsep yang menyeluruh. Akibat yang terjadi adalah implementasi hukum didalam masyarakat menjadi tidak optimal, tidak jarang perangkat hukum tersebut justru disalahgunakan untuk maksud-maksud maupun tujuan-tujuan tertentu, yang justru memiliki tendensi untuk keuntungan pribadi atau golongan.

B.Tindak Pidana Korupsi di Depkum HAM
Fenomena perbuatan pidana korupsi yang terjadi di Departemen Hukum dan HAM berkaitan dengan pola perbuatan hokum. Seperti contoh yang terjadi dalam Departemen Hukum dan HAM yang tejadi pad PT. Sarana Rekatama Dinamika (SRD) diduga sebagai penikmat dana terbesar dari proyek Sisminbakum Dirjen AHU Depkum HAM. Tak hanya juiga kedapatan menunggak pembayaran tagihan listrik dan air sejak berkantor di departemen tersebut.

“PT tersebut sekian tahun tak membayar uang listrik, air,”kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidus) Kejagung, Marwan Effendi di Kantornya, Jl. Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan.”Sejak diperiksa sama BPK saja dia baru bayar. Sewanya 10 Juta/tahun”.
Dugaan korupsi Sisminbakum Depkum HAM bermula pada awal tahun 2001. Saat itu Ditjen AHU Departemen Kehakiman dan HAM (kini Depkum HAM) menerapkan pelayanan permohonan dan perubahan nama perusahaan. Namun dana yang masuk dari proyek itu hanya disetorkan ke kas Negara, melainkan ke Koperai Pegawai Depkum HAM dan SRD. Kerugian negara dalam kasus ini diduga mencapai Rp 400 Miliar.
Kejagung menetapkan Romli Atmasasmita, yang pada waktu dimulainya dengan proyek itu menjabat Dirjen AHU, sebagai tersangka. Selain itu, dua pejabat pengganti Romli, yakni Zulkarnaen Yunus dan Syamsudin Manan Sinaga juga bernasib sama. Kejagung juga sudah memeriksa mantan Menkeh HAM Yusril Ihza Mahendra dan Hamid Awaluddin sebagai saksi. Akhirnya Persidangan perkara Syamsuddin Manan Sinaga di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan agenda pemeriksaan saksi dimulai dari Ketua Majelis Hakim Haswandy mengetuk palu sebagai tanda dimulainya persidangan. Penuntut umum rencananya akan menghadirkan empat saksi, ternyata hanya satu saksi saja yang hadir bernama John Sarojo Saleh. Ia adalah seorang pria berumur 79 tahun adalah konseptor Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) yang pernah diminta Romli Atmasasmita saat itu menjabat sebagai Direktur Jendral Hukum dan Perundang-undangan (Dirjen Administrasi Hukum Umum ) di Departemen Kehakiman.
Salah satu pengacara Syamsuddin juga menyadari, LM Samosir , salah satu pengacara Syamsuddin mengatakan bahwa saksi tersebut tidak ada kaitannya dengan terdakwa. Korelasinya hanyalah saksi sebagai konseptor Sisminbakum yang masih berjalan sampai Syamsuddin menjabat sebagai Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU). Berarti keterangan saksi belum menyentuh substansi dugaan pidana yang dikenakan pada Sayamsuddin. LAki-laki paruh baya ini dijerat dakwaan alternative antara lain Pasal 12e, 12b, 11,2 ayat (1) dan pasal 3 jo pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Akibat perbuatan Ayamsuddin, penuntut umum dalam menyatakan Negara dirugikan sebesar Rp 197,2 miliar.
Syamsuddin dianggap telah meneruskan pelanggaran hukum yang dilakukan Dirjen AHU sebelumnya. Sebagaimana diatur dalam PP No. 87 Tahun 2000 jo PP No. 75 Tahun 2005, biaya pelayanan jasa hukum pengesahan akta pendirian, persetujuan, atau laporan perubahan anggaran dasar perseroan terbatas, yakni sebesar Rp 200 ribu per akta. Namun, pada kenyataannya biaya pengurusan jasa administrasi hukum umum untuk pelanggan notaries pada kenyataannya membengkak.
Lalu proses hukum pihak-pihak yang diduga terlibat kasus dugaan korupsi proyek Sisminbakum Depkumham terus berjalan. Kini giliran Direktur Utama PT. SRD Yohanes Woworuntu yang diperiksa Kejaksaan Agung RI. Selang beberapa jam kemudian Kejagung akan kembali melakukan ekspose setelah Direktur Utama PT. Sarana Rekatama Dinamika (SRD) Yohanes Waworuntu ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi access fee Sistem Administrasi Badan Hukum di Depkumham. Sisminbakum adalah layanan untuk notaries guna mengecek atau mendaftarkan perusahaan. Fee jasa ini tidak masuk Negara melainkan masuk penyedia aplikasi Sisminbakum yaitu PT. SRD dan Pejabat Depkum. Kejagung yakin sekali kalo dalang dari korupsi dan suap proyek ini adalah Yohanes Waworuntu.
Tim penyidik Kejagung kembali memeriksa 4 saksi dalam kasus dugaan korupsi pemungutan Acces fee sistem administrasi badan hukum (Sisminbakum) Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Depkumham. Salah satunya adalah Ketua Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen tersebut. SRD ini merupakan penyedia jasa system adminisrasi badan hukum. Kerugian Negara dalam kasus ini diduga mencapai Rp 400 miliar. Dan tiga mantan dirjen AHU yang telah ditetapkan sebagai tersangka, yakni Romli Atmasasmita, Zulkarnaen Yunus, dan Syamsuddin mana Sinaga. Kejagung juga sudah memeriksa mantan Menkeh HAM Yusril Ihza MAhendra dan Hamid Awaluddin.

C.Tindak Pidana Korupsi dan Peraturan yang Mengaturnya.
Setelah memahami betapa besarnya pengaruh hokum sebagai pranata sosial bagi masyarakat, maka kita untuk melihat salah satu contoh dari perbuatan manusia yang melatarbelakangi pentingnya peranan akan hokum dalam menciptakan kedamaian dan ketertiban di masyarakat. Tindak pidana korupsi atau untuk selanjutnya kita sebut dengan korupsi, merupakan jenis tindak pidana yang berkembang pesat sejalan dengan gencarnya pelaksanaan.

Tindak pidana korupsi atau untuk selanjutnya kita sebut saja dengan korupsi, merupakan jenis tindak pidana yang berkembang pesat sejalan dengan semakin gencarnya pelaksanaan transaksi ekonomi baik dalam tatanan mikro maupun makro, yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi. Siapakah yang termasuk dalam kategori pelaku ekonomi itu? Pada dasarnya pelaku ekonomi itu adalah semua lapisan masyarakat dan tidak menutup kemungkinan bahwa kita sendiri termasuk di dalamnya. Setiap transaksi ekonomi yang melibatkan pemindahan atau penyerahan kepemilikan atau kegunaan atas barang baik bergerak maupun tidak bergerak umumnya rentan akan korupsi. Korupsi terkadang muncul sebagai “raksasa dengan seribu wajah”.

Karakteristik yang begitu beragam disertai dengan dampak yang ditimbulkan oleh korupsi itu sendiri bagi masyarakat, menjadikan korupsi tercatat sebagai sa;ah satu agenda hukum utama. Koridor negara hukum (rechstaat) yang diamanatkan dalam Mukadimah Undang- Undang Dasar 1945 membuat kita tidak dapat secara serta merta memberantas korupsi tanpa adanya suatu landasan hukum yang berlaku dan mengikat. Oleh karena itu, sebagai pedoman dalam upaya menegakkan hukum maka berdasarkan ketentuan hukum pidana nasional, maka pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional menegaskan bahwa:

“Tidak ada perbuatan yang boleh dihukum, selain atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang, yang diadakan pada waktu sebelumnya perbuatan itu terjadi.”

Pemberantasan korupsi lebih teraktualisasi dengan diterbitkannya undang- undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun, sesungguhnya upaya-upaya pemberantasan korupsi telah dilakukan jauh sejak masa kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya dua ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tindak pidana korupsi yag dihasilkan dalam kurun waktu tahun 1960 sampai dengan tahun 1998 yaitu:




1. Undang-Undang No.24/Prp/1960 tentang Pengusutan,Penuntutan dan

Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi; dan


2. Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Sejak dikeluarkannya TAP MPR No. IX/1998, Dewan Perwakilan Rakyat telah menetapkan serangkaian undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu:
1. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, dan

2. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 merupakan hukum positif dan dipergunakan sebagai dasar dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di RI.

BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka kesimpulan yang dapat diambil adalah :
1.Bahwa setiap manusia haruslah mempunya kesadaran atas hukum dan sangsi-sangsinya apabila melakuka perbuatan melanggar hukum.
2.Dalam kehidupan bernegara tindak pidana korupsi sebenarnya bukan merupakan masalah yang merupakan tanggung jawab dari pemerintah dan sekelompok lembaga ataupun orang tertentu saja, melainkan juga merupakan kewajiban dari masyarakat untuk mengatasinya. Pola-pola pemberantasan korupsi.
B. Saran
Agar lebih dipertegas lagi tentang peraturan tindak pidana korupsi yang tercantum dalam :
1. TAP MPR No. IX/1998
2. Undang-Undang No.24/Prp/1960 tentang Pengusutan,Penuntutan dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi; dan
3. Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
4 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

DAFTAR PUSTAKA

1.Johnson, Alvin S, Sosiologi Hukum, Rineka Cipta Jakarta, 2004, hal 191 - 192
2. Podgorecki, Adam, Pendekatan Sosiologi terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1987
3. Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal. 289.

1 komentar:

  1. saya mahasiswa dari Jurusan Hukum
    Artikel yang sangat menarik, bisa buat referensi ni ..
    terimakasih ya infonya :)

    BalasHapus