Minggu, 20 September 2009

JUAL-BELI MATA UANG (BA'I SHARF)-2

Oleh Muhammad Anwar Zainuddin

Jual beli uang kertas baru, jualan makanan atau minuman menjelang buka dengan cara beramai-ramai memenuhi jalanan yang bukan tempat biasa untuk berjualan, begadang untuk menunggu pembeli yang tersesat karena masih ngantuk ketika sahur, menjadi sebuah pemandangan yang biasa menjelang hari Lebaran dan pada saat bulan puasa seperti sekarang ini. Munculnya beberapa kegiatan usaha pada bulan Ramadhan yang pada hari-hari biasa tidak terlihat ini, tentu saja karena kebutuhan masyarakat akan makanan dan minuman menjelang buka serta sahur, juga keberadaan uang kertas baru menjadi meningkat. Kalau dulu sewaktu masih di Madiun, setiap sore menjelang buka, saya bersama beberapa teman dari club motor, menjajakan es buah di sebelah selatan alun-alun Madiun. Sewaktu masih di Madiun, saya juga kurang melihat adanya orang yang memanfaatkan peluang usaha jual beli uang kertas baru, sedangkan di Sidoarjo saya sudah menjumpai beberapa, dan sepertinya merupakan sebuah peluang usaha musiman yang memiliki prospek bagus.

Pada saat sekarang ini, banyak manusia membutuhkan uang kertas baru sangat tinggi, pihak bank juga sangat kesulitan untuk melayani nasabah yang hanya ingin menukarkan uangnya dengan pecahan yang lebih kecil, tetapi dengan wujud baru dan benar-benar segar, sedangkan kegiatan perbankan yang merupakan rutinitas juga tetap harus dilakukan. Pada akhirnya pihak bank memberi batasan penukaran yang bisa dilakukan oleh nasabah dalam satu hari, sehingga diharapkan akan banyak yang mendapatkan jatah uang kertas baru serta untuk meminimalisir bisnis calo uang atau jual beli uang kertas baru ini. Sebelum melangkah lebih jauh, saya ingatkan dahulu bagi yang sudah memiliki penghasilan dari internet atau penghasilan offline dengan jumlah yang sangat besar, ini mungkin bukan bacaan bagi Anda karena keuntungan yang didaptkan tidak sebanding dengan apa yang telah Anda dapatkan saat ini.
Lupakan pihak bank, karena disini saya justru ingin membahas jual beli uang kertas atau bisnis calo uang yang sedang marak dan mungkin bisa dijadikan sebagai referensi peluang usaha yang cukup berprospek tinggi. Dikarenakan banyak masyakarat yang merasa kekurangan jatah seks penukaran uang kertas baru inilah, maka bisnis jual beli uang menjadi sangat laku. Dari sebuah wawancara singkat dengan salah satu calo uang yang menyediakan pecahan seribu rupiah dan lima ribu rupiah, saya mendapatkan sebuah informasi bahwa untuk besaran senilai seratus ribu rupiah dijual dengan harga seratus sepuluh ribu rupiah. Jadi bisa disimpulkan bahwa keuntungan untuk tiap seratus ribu adalah sebesar sepuluh ribu rupiah, sebuah keuntungan yang sangat besar dibandingkan dengan jualan pulsa telepon, tetapi tidak lebih besar dari keuntungan yang didapat dari berjualan rokok.
2. Unsur-unsur Jual-beli
Jual-beli mempunyai 5 (lima) unsur, yaitu: (a) penjual, (b) pembeli, (c) barang jualan, (d) ijab-qabul atau serah terima, (e) suka sama suka. Hal itu akan diuraikan sebagai berikut.
a. Penjual adalah pemilik harta yang menjual hartanya atau orang yang diberi kuasa untuk menjual harta orang lain. Penjual dimaksud, cakap melakukan penjualan (mukallaf).
b. Pembeli adalah orang yang cakap yang dapat membelanjakan hartanya (uangnya);
c. Barang yang jualan adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syara’ untuk dijual dan diketahui sifatnya oleh pembeli.
d. Transaksi jual beli yang berbentuk serah terima. Transaksi dimaksud, dapat berbentuk tertulis, ucapan atau kode yang menunjukkan terjadinya jual-beli.. Sebagai contoh dapat disebut misalnya: penjual mengatakan baju ini harganya Rp. 50.000 (lima puluh ribu rupiah) atau baju dimaksud diberikan perangko oleh penjual dengan harga tersebut. Kemudian pembeli menyerahkan uang dimaksud sebagai harga baju. Hal itulah yang disebut serah terima (ijab-qabul).
e. Persetujuan kedua belah pihak adalah pihak penjual dan pihak pembeli setuju untuk melakukan transaksi jual beli.
Unsur-unsur atau syarat-syarat jual-beli di atas, menun-jukkan terjadinya transaksi jual-beli. Karena itu, bila ada unsur dimaksud tidak terpenuhi maka jual beli itu tidak sah. Namun, dari adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi transformasi seiring dengan perkembangan zaman maka nilai-nilai dari kelima unsur yang telah disebutkan dapat berubah dan mesti mengalami perubahan yang dapat mengakibatkan perkem-bangan pada setiap unsur jual-beli.
3. Bentuk-bentuk pilihan (khiyar) dalam jual-beli
Bentuk-bentuk pilihan dalam transaksi jual-beli pada umumnya terdiri atas 3 (tiga) syarat, yaitu: (1) khiyar majlis, (2) khiyar syarat, dan (3) khiyar ‘aibi. Hal itu akan diuraikan sebagai berikut.
a. Khiyar majlis adalah pihak pembeli dan pihak penjual masih berada di tempatnya, keduanya berhak menentukan pilihan mengenai jadi dan tidaknya transaksi jual-beli. Khiyar majlis dimaksud, penulis mengemukakan dua dasar hukum yang sesuai hadis Nabi Muhammad Saw. sebagai berikut.
حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْبَيِّعَانِ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ عـَلَى صَاحِبِهِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا إِلاَّا بَيْعَ الْخِيَارِ
Hadis tersebut, menunjukkan bahwa pihak pembeli dan pihak penjual dapat masing-masing menentukan pilihannya mengenai jadi dan tidaknya jual-beli sebelum berpisah. Jika kedua pihak jujur dan menjelaskan, maka keduanya akan diberkahi oleh Allah swt jual-belinya; jika tidak jujur dan keduanya saling membohongi maka hilanglah keberkahan jual-belinya. Hal itu sesuai Hadis Nabi Muhammad yang tertulis dalam Sidi Alqur’an dan Alhadis No. 888 sebagai berikut.2
حَدِيثُ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا *
b. Khiyar syarat adalah pihak pembeli mensyaratkan jangka waktu tertentu mengenai jadi dan tidaknya transaksi jual-beli yang kemudian keduanya (pihak pembeli dan pihak penjual) bersepakat untuk menentukan pilihan sampai batas waktu yang telah ditentukan bersama.
c. Khiyar aibi adalah barang yang dijual terdapat cacat yang mengurangi nilainya. Namun, tidak diketahui oleh pihak pembeli, meskipun ia setuju dengan barang itu pada waktu penawaran, maka pihak pembeli mempunyai hak pilih untuk meneruskan atau membatalkan jual-beli dimaksud.
4. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam Transaksi jual-beli
Kegiatan jual-beli termasuk dalam kegiatan perdagangan merupakan perbuatan yang diizinkan oleh ajaran agama Islam. Hal ini dapat dilihat dari dasar hukum yang dapat dijadikan petunjuk transaksi jual-beli sebagai berikut :
a. Menyempurnakan Takaran dan timbangan. Alqur’an menge-cam pelaksanaan jual beli yang mempunyai unsur kecurangan baik dalam bentuk mengurangi takaran, mengurangi timbangan maupun menyembunyikan cacat-cacat pada barang. Firman Allah, Q.S. Al-Muataffifin ayat 1 – 6
b. Perikatan diadakan oleh kedua pihak (pembeli dan penjual) secara tertulis atau dengan dua orang saksi. Perdagangan atau jual beli dapat dilakukan dengan tunai, dapat pula dilakukan dengan pembayarannya ditangguhkan. Al-Qur’an memberikan petunjuk yang berkenaan dangan perikatan jual beli secara tidak tunai berdasarkan Alqur’an surah Al-Baqarah ayat 282 sebagai berikut.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلاَ يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلاَ يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لاَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ
Pengertian yang terkandung dalam ayat tersebut tidak terbatas pada jual beli saja, tetapi juga utang-piutang, sewa-menyewa, dana bentuk hubungan hukum perdatan Islam lainnya. Manfaatnya jelas, yaitu memberikan kepastian hukum kepada masing-masing pihak yang terlibat di dalam perikatan itu. Selain itu, dapat dihindari dari adanya kemungkinan sengketa di antara pihak-pihak yang berkepentingan.
5. Macam-macam jual-beli yang dilarang oleh Hukum Islam
Muhammad Rasulullah Saw, melarang jual beli barang yang terdapat unsur penipuan yang dapat mengakibatkan adanya penyesalan pihak yang ikut transaksi jual-beli. Selain itu, dari adanya jual beli dapat mengakibatkan lahirnya kebencian, perselisihan, dan permusuhan sebagai akibat transaksi jual beli. Hal dimaksud, di ungkapkan beberapa contoh sebagai berikut.
a. Menjual barang yang dibeli sebelum diterima barangnya. Aturan jual-beli di dalam hukum perdata Islam, yaitu seseorang tidak diperkenangkan menjual barang yang dibeli sebelum barang itu diterima dari orang yang menjualnya. Hal itu berdasarkan hadis Nabi Muhammad yang artinya: “Jika kamu membeli sesuatu, maka janganlah kamu menjualnya sebelum kamu menerima barang itu.”
b. Menjual barang untuk menggungguli penjualan orang lain. Seorang muslim dilarang oleh hukum perdata Islam mengungkapkan kepada orang yang telah membeli barang dengan harga Rp 5.000 (lima ribu rupiah), misalnya: ”kembalikanlah itu kepada penjualnya, kepunyaan saya dapat kamu beli dengan harga empat ribu rupiah.” Juga dilarang menggungguli harga dengan mengatakan kepada yang menjual barang itu: “Batalkanlah jual beli barang itu, aku akan membelinya darimu seharga enam ribu rupiah, misalnya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw sebagai berikut.4
حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلاَ تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَنَافَسُوا وَلاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا *
Artinya:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Katanya sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda: janganlah kamu berbicara dengan ucapan yang buruk, janganlah kamu sindir menyindir, janganlah kamu memperdengarkan khabar orang lain dan janganlah sebagian kamu menjual atas jualan orang sebagian yang lain. Semen-tara itu itu, jadilah kamu sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara.
c. Membeli dengan menaikkan harga barang, padahal tidak bermaksud untuk membelinya. Seorang muslim dilarang memberikan tambahan harga atas suatu barang yang akan dijual padahal ia tidak bermaksud untuk membelinya melainkan hanya sekedar memberikan rangsangan kepada para pembeli lain, sehingga dengan demikian pihak pembeli menjadi tertipu. Begitu pula seorang tidak boleh mengatakan : ’Sebenarnya barang ini mau dibeli oleh sianu dengan harga yang lebih mahal, padahal semua itu dusta semata-mata, sekedar untuk menipu pihak pembeli. Baik dia bekerja sama dengan pemilik barang atau tidak, hal itu sama saja. Hal ini berdasarkan hadis Nabi Muhammad Saw yang artinya: “Rasulullah Saw melarang melakukan Al-Najasy (bersaing dalam penawaran)”.
d. Menjual belikan barang haram dan Najis. Seorang muslim tidak boleh menjual belikan khamar, babi, bangkai, patung dan juga anggur yang akan dijadikan khamar. Sabda Nabi Muhammad saw yang tertulis dalam Sidi Alqur’an dan Alhadis Nomor 921 sebagai berikut.5
حَدِيثُ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ عَامَ الْفَتْحِ وَهُوَ بِمَكَّةَ إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالأ َْصْنَامِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهُ يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ فَقَالَ لاَ هُوَ حَرَامٌ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمَّا حَرَّمَ عَلَيْهِمْ شُحُومَهَا أَجْمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ *
e. Jual beli Ghurur (yang terdapat unsur penipuan di dalamnya). Jual beli sesuatu yang terdapat unsur penipuan adalah dilarang oleh hukum perdata Islam. Dengan demikian, penjual tidak boleh menjual ikan yang masih berada di dalam air, daging yang masih ada pada domba, janin binatang yang masih ada di dalam perut, air susu yang masih ada di dalam susu binatang, buah-buahan yang masih kecil (belum matang), biji-bijian yang belum matang, barang yang tidak dapat dilihat atau diterima atau diraba ketika sebenarnya barang dagang tersebut ada, dan bila barang dagang itu tidak ada maka tidak boleh menjual belikannya tanpa mengetahui sifat ataupun jenis dan keberadaan (kualitas)nya.
f. Dua bentuk transaksi pada satu barang/harta. Seorang muslim tidak boleh mengadakan dua bentuk transaksi dalam satu harta/barang. Ia harus menentukan salah satu bentuk transaksi jual-beli Dua bentuk transaksi dimaksud, sebagai contoh dapat disebut misalnya: penjual mengatakan:”saya jual rumah ini kepadamu tunai dengan harga sepuluh juta rupiah atau lima belas juta rupiah yang pembayarannya ditangguhkan (kredit)”. Selanjutnya, pihak pembeli mengiyaan atau terjadi jual-beli dimaksud, namun tidak ditegaskan bentuk transaksi jual-beli yang disepakati oleh pihak pembeli dengan pihak penjual.
g. Membeli sesuatu barang/harta kepada orang yang sedang menuju ke pasar. Seorang Muslim tidak boleh membeli barang dengan cara mencegat dari pihak pembawa barang yang jauh dari tempat jual-beli, kemudian ia membawa barang dimaksud untuk menjualnya berdasarkan kemauannya atau tanpa memperhitungkan harga barang. Sebab, hal ini akan mengundang penyesalan bagi pembawa barang, dan akan membahayakan penduduk negri, lantaran ulah para pedagang atau sesamanya. Hal itu berdasarkan hadis Nabi Muhammad dal Sidi Alqur’an dan hadis nomor 880 sebagai berikut.
حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ تُتَلَقَّى السِّلَعُ حَتَّى تَبْلُغَ الْأَسْوَاقَ وَهَذَا لَفْظُ ابْنِ نُمَيْرٍ و قَالَ الأخَرَانِ إِنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ التَّلَقِّي
Artinya:
Diriwayatkan daripada Ibnu Umar r.a katanya: Sesungguhnya Rasulullah s.a.w melarang menahan barang dagang-an sebelum tiba di pasaran. Ini adalah lafaz dari Ibnu Numair. Sedangkan menurut perawi yang lain, sesungguhnya Nabi s.a.w melarang pembelian barang dagangan sebelum dipasarkan
h. Jual beli ijon adalah jual beli dimana barang yang diperjual belikan belum menjadi barang yang layak diperjual belikan, misalnya jeruk, tatkala pohon itu berbunga. Jual beli dengan cara ini diharamkan oleh syariat Islam, Nabi Muhammad bersabda seperti yang tertulis dalam Sidi Alqur’an dan hadis nomor 890:
حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُهَا نَهَى الْبَائِعَ وَالْمُبْتَاعَ *
Artinya:
Diriwayatkan daripada lbnu Umar r.a katanya: Sesung-guhnya Rasulullah s.a.w telah melarang dari menjual buah-buahan sehinggalah betul-betul masak. Larangan itu ditujukan kepada penjual dan pembeli

JUAL-BELI MATA UANG (BA'I SHARF)

Oleh Muhammad Anwar Zainuddin

Jual beli uang kertas baru, jualan makanan atau minuman menjelang buka dengan cara beramai-ramai memenuhi jalanan yang bukan tempat biasa untuk berjualan, begadang untuk menunggu pembeli yang tersesat karena masih ngantuk ketika sahur, menjadi sebuah pemandangan yang biasa menjelang hari Lebaran dan pada saat bulan puasa seperti sekarang ini. Munculnya beberapa kegiatan usaha pada bulan Ramadhan yang pada hari-hari biasa tidak terlihat ini, tentu saja karena kebutuhan masyarakat akan makanan dan minuman menjelang buka serta sahur, juga keberadaan uang kertas baru menjadi meningkat. Kalau dulu sewaktu masih di Madiun, setiap sore menjelang buka, saya bersama beberapa teman dari club motor, menjajakan es buah di sebelah selatan alun-alun Madiun. Sewaktu masih di Madiun, saya juga kurang melihat adanya orang yang memanfaatkan peluang usaha jual beli uang kertas baru, sedangkan di Sidoarjo saya sudah menjumpai beberapa, dan sepertinya merupakan sebuah peluang usaha musiman yang memiliki prospek bagus.

Pada saat sekarang ini, banyak manusia membutuhkan uang kertas baru sangat tinggi, pihak bank juga sangat kesulitan untuk melayani nasabah yang hanya ingin menukarkan uangnya dengan pecahan yang lebih kecil, tetapi dengan wujud baru dan benar-benar segar, sedangkan kegiatan perbankan yang merupakan rutinitas juga tetap harus dilakukan. Pada akhirnya pihak bank memberi batasan penukaran yang bisa dilakukan oleh nasabah dalam satu hari, sehingga diharapkan akan banyak yang mendapatkan jatah uang kertas baru serta untuk meminimalisir bisnis calo uang atau jual beli uang kertas baru ini. Sebelum melangkah lebih jauh, saya ingatkan dahulu bagi yang sudah memiliki penghasilan dari internet atau penghasilan offline dengan jumlah yang sangat besar, ini mungkin bukan bacaan bagi Anda karena keuntungan yang didaptkan tidak sebanding dengan apa yang telah Anda dapatkan saat ini.
Lupakan pihak bank, karena disini saya justru ingin membahas jual beli uang kertas atau bisnis calo uang yang sedang marak dan mungkin bisa dijadikan sebagai referensi peluang usaha yang cukup berprospek tinggi. Dikarenakan banyak masyakarat yang merasa kekurangan jatah seks penukaran uang kertas baru inilah, maka bisnis jual beli uang menjadi sangat laku. Dari sebuah wawancara singkat dengan salah satu calo uang yang menyediakan pecahan seribu rupiah dan lima ribu rupiah, saya mendapatkan sebuah informasi bahwa untuk besaran senilai seratus ribu rupiah dijual dengan harga seratus sepuluh ribu rupiah. Jadi bisa disimpulkan bahwa keuntungan untuk tiap seratus ribu adalah sebesar sepuluh ribu rupiah, sebuah keuntungan yang sangat besar dibandingkan dengan jualan pulsa telepon, tetapi tidak lebih besar dari keuntungan yang didapat dari berjualan rokok.
2. Unsur-unsur Jual-beli
Jual-beli mempunyai 5 (lima) unsur, yaitu: (a) penjual, (b) pembeli, (c) barang jualan, (d) ijab-qabul atau serah terima, (e) suka sama suka. Hal itu akan diuraikan sebagai berikut.
a. Penjual adalah pemilik harta yang menjual hartanya atau orang yang diberi kuasa untuk menjual harta orang lain. Penjual dimaksud, cakap melakukan penjualan (mukallaf).
b. Pembeli adalah orang yang cakap yang dapat membelanjakan hartanya (uangnya);
c. Barang yang jualan adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syara’ untuk dijual dan diketahui sifatnya oleh pembeli.
d. Transaksi jual beli yang berbentuk serah terima. Transaksi dimaksud, dapat berbentuk tertulis, ucapan atau kode yang menunjukkan terjadinya jual-beli.. Sebagai contoh dapat disebut misalnya: penjual mengatakan baju ini harganya Rp. 50.000 (lima puluh ribu rupiah) atau baju dimaksud diberikan perangko oleh penjual dengan harga tersebut. Kemudian pembeli menyerahkan uang dimaksud sebagai harga baju. Hal itulah yang disebut serah terima (ijab-qabul).
e. Persetujuan kedua belah pihak adalah pihak penjual dan pihak pembeli setuju untuk melakukan transaksi jual beli.
Unsur-unsur atau syarat-syarat jual-beli di atas, menun-jukkan terjadinya transaksi jual-beli. Karena itu, bila ada unsur dimaksud tidak terpenuhi maka jual beli itu tidak sah. Namun, dari adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi transformasi seiring dengan perkembangan zaman maka nilai-nilai dari kelima unsur yang telah disebutkan dapat berubah dan mesti mengalami perubahan yang dapat mengakibatkan perkem-bangan pada setiap unsur jual-beli.
3. Bentuk-bentuk pilihan (khiyar) dalam jual-beli
Bentuk-bentuk pilihan dalam transaksi jual-beli pada umumnya terdiri atas 3 (tiga) syarat, yaitu: (1) khiyar majlis, (2) khiyar syarat, dan (3) khiyar ‘aibi. Hal itu akan diuraikan sebagai berikut.
a. Khiyar majlis adalah pihak pembeli dan pihak penjual masih berada di tempatnya, keduanya berhak menentukan pilihan mengenai jadi dan tidaknya transaksi jual-beli. Khiyar majlis dimaksud, penulis mengemukakan dua dasar hukum yang sesuai hadis Nabi Muhammad Saw. sebagai berikut.
حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْبَيِّعَانِ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ عـَلَى صَاحِبِهِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا إِلاَّا بَيْعَ الْخِيَارِ
Hadis tersebut, menunjukkan bahwa pihak pembeli dan pihak penjual dapat masing-masing menentukan pilihannya mengenai jadi dan tidaknya jual-beli sebelum berpisah. Jika kedua pihak jujur dan menjelaskan, maka keduanya akan diberkahi oleh Allah swt jual-belinya; jika tidak jujur dan keduanya saling membohongi maka hilanglah keberkahan jual-belinya. Hal itu sesuai Hadis Nabi Muhammad yang tertulis dalam Sidi Alqur’an dan Alhadis No. 888 sebagai berikut.2
حَدِيثُ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا *
b. Khiyar syarat adalah pihak pembeli mensyaratkan jangka waktu tertentu mengenai jadi dan tidaknya transaksi jual-beli yang kemudian keduanya (pihak pembeli dan pihak penjual) bersepakat untuk menentukan pilihan sampai batas waktu yang telah ditentukan bersama.
c. Khiyar aibi adalah barang yang dijual terdapat cacat yang mengurangi nilainya. Namun, tidak diketahui oleh pihak pembeli, meskipun ia setuju dengan barang itu pada waktu penawaran, maka pihak pembeli mempunyai hak pilih untuk meneruskan atau membatalkan jual-beli dimaksud.
4. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam Transaksi jual-beli
Kegiatan jual-beli termasuk dalam kegiatan perdagangan merupakan perbuatan yang diizinkan oleh ajaran agama Islam. Hal ini dapat dilihat dari dasar hukum yang dapat dijadikan petunjuk transaksi jual-beli sebagai berikut :
a. Menyempurnakan Takaran dan timbangan. Alqur’an menge-cam pelaksanaan jual beli yang mempunyai unsur kecurangan baik dalam bentuk mengurangi takaran, mengurangi timbangan maupun menyembunyikan cacat-cacat pada barang. Firman Allah, Q.S. Al-Muataffifin ayat 1 – 6
b. Perikatan diadakan oleh kedua pihak (pembeli dan penjual) secara tertulis atau dengan dua orang saksi. Perdagangan atau jual beli dapat dilakukan dengan tunai, dapat pula dilakukan dengan pembayarannya ditangguhkan. Al-Qur’an memberikan petunjuk yang berkenaan dangan perikatan jual beli secara tidak tunai berdasarkan Alqur’an surah Al-Baqarah ayat 282 sebagai berikut.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلاَ يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلاَ يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لاَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ
Pengertian yang terkandung dalam ayat tersebut tidak terbatas pada jual beli saja, tetapi juga utang-piutang, sewa-menyewa, dana bentuk hubungan hukum perdatan Islam lainnya. Manfaatnya jelas, yaitu memberikan kepastian hukum kepada masing-masing pihak yang terlibat di dalam perikatan itu. Selain itu, dapat dihindari dari adanya kemungkinan sengketa di antara pihak-pihak yang berkepentingan.
5. Macam-macam jual-beli yang dilarang oleh Hukum Islam
Muhammad Rasulullah Saw, melarang jual beli barang yang terdapat unsur penipuan yang dapat mengakibatkan adanya penyesalan pihak yang ikut transaksi jual-beli. Selain itu, dari adanya jual beli dapat mengakibatkan lahirnya kebencian, perselisihan, dan permusuhan sebagai akibat transaksi jual beli. Hal dimaksud, di ungkapkan beberapa contoh sebagai berikut.
a. Menjual barang yang dibeli sebelum diterima barangnya. Aturan jual-beli di dalam hukum perdata Islam, yaitu seseorang tidak diperkenangkan menjual barang yang dibeli sebelum barang itu diterima dari orang yang menjualnya. Hal itu berdasarkan hadis Nabi Muhammad yang artinya: “Jika kamu membeli sesuatu, maka janganlah kamu menjualnya sebelum kamu menerima barang itu.”
b. Menjual barang untuk menggungguli penjualan orang lain. Seorang muslim dilarang oleh hukum perdata Islam mengungkapkan kepada orang yang telah membeli barang dengan harga Rp 5.000 (lima ribu rupiah), misalnya: ”kembalikanlah itu kepada penjualnya, kepunyaan saya dapat kamu beli dengan harga empat ribu rupiah.” Juga dilarang menggungguli harga dengan mengatakan kepada yang menjual barang itu: “Batalkanlah jual beli barang itu, aku akan membelinya darimu seharga enam ribu rupiah, misalnya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw sebagai berikut.4
حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلاَ تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَنَافَسُوا وَلاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا *
Artinya:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Katanya sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda: janganlah kamu berbicara dengan ucapan yang buruk, janganlah kamu sindir menyindir, janganlah kamu memperdengarkan khabar orang lain dan janganlah sebagian kamu menjual atas jualan orang sebagian yang lain. Semen-tara itu itu, jadilah kamu sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara.
c. Membeli dengan menaikkan harga barang, padahal tidak bermaksud untuk membelinya. Seorang muslim dilarang memberikan tambahan harga atas suatu barang yang akan dijual padahal ia tidak bermaksud untuk membelinya melainkan hanya sekedar memberikan rangsangan kepada para pembeli lain, sehingga dengan demikian pihak pembeli menjadi tertipu. Begitu pula seorang tidak boleh mengatakan : ’Sebenarnya barang ini mau dibeli oleh sianu dengan harga yang lebih mahal, padahal semua itu dusta semata-mata, sekedar untuk menipu pihak pembeli. Baik dia bekerja sama dengan pemilik barang atau tidak, hal itu sama saja. Hal ini berdasarkan hadis Nabi Muhammad Saw yang artinya: “Rasulullah Saw melarang melakukan Al-Najasy (bersaing dalam penawaran)”.
d. Menjual belikan barang haram dan Najis. Seorang muslim tidak boleh menjual belikan khamar, babi, bangkai, patung dan juga anggur yang akan dijadikan khamar. Sabda Nabi Muhammad saw yang tertulis dalam Sidi Alqur’an dan Alhadis Nomor 921 sebagai berikut.5
حَدِيثُ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ عَامَ الْفَتْحِ وَهُوَ بِمَكَّةَ إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالأ َْصْنَامِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهُ يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ فَقَالَ لاَ هُوَ حَرَامٌ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمَّا حَرَّمَ عَلَيْهِمْ شُحُومَهَا أَجْمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ *
e. Jual beli Ghurur (yang terdapat unsur penipuan di dalamnya). Jual beli sesuatu yang terdapat unsur penipuan adalah dilarang oleh hukum perdata Islam. Dengan demikian, penjual tidak boleh menjual ikan yang masih berada di dalam air, daging yang masih ada pada domba, janin binatang yang masih ada di dalam perut, air susu yang masih ada di dalam susu binatang, buah-buahan yang masih kecil (belum matang), biji-bijian yang belum matang, barang yang tidak dapat dilihat atau diterima atau diraba ketika sebenarnya barang dagang tersebut ada, dan bila barang dagang itu tidak ada maka tidak boleh menjual belikannya tanpa mengetahui sifat ataupun jenis dan keberadaan (kualitas)nya.
f. Dua bentuk transaksi pada satu barang/harta. Seorang muslim tidak boleh mengadakan dua bentuk transaksi dalam satu harta/barang. Ia harus menentukan salah satu bentuk transaksi jual-beli Dua bentuk transaksi dimaksud, sebagai contoh dapat disebut misalnya: penjual mengatakan:”saya jual rumah ini kepadamu tunai dengan harga sepuluh juta rupiah atau lima belas juta rupiah yang pembayarannya ditangguhkan (kredit)”. Selanjutnya, pihak pembeli mengiyaan atau terjadi jual-beli dimaksud, namun tidak ditegaskan bentuk transaksi jual-beli yang disepakati oleh pihak pembeli dengan pihak penjual.
g. Membeli sesuatu barang/harta kepada orang yang sedang menuju ke pasar. Seorang Muslim tidak boleh membeli barang dengan cara mencegat dari pihak pembawa barang yang jauh dari tempat jual-beli, kemudian ia membawa barang dimaksud untuk menjualnya berdasarkan kemauannya atau tanpa memperhitungkan harga barang. Sebab, hal ini akan mengundang penyesalan bagi pembawa barang, dan akan membahayakan penduduk negri, lantaran ulah para pedagang atau sesamanya. Hal itu berdasarkan hadis Nabi Muhammad dal Sidi Alqur’an dan hadis nomor 880 sebagai berikut.
حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ تُتَلَقَّى السِّلَعُ حَتَّى تَبْلُغَ الْأَسْوَاقَ وَهَذَا لَفْظُ ابْنِ نُمَيْرٍ و قَالَ الأخَرَانِ إِنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ التَّلَقِّي
Artinya:
Diriwayatkan daripada Ibnu Umar r.a katanya: Sesungguhnya Rasulullah s.a.w melarang menahan barang dagang-an sebelum tiba di pasaran. Ini adalah lafaz dari Ibnu Numair. Sedangkan menurut perawi yang lain, sesungguhnya Nabi s.a.w melarang pembelian barang dagangan sebelum dipasarkan
h. Jual beli ijon adalah jual beli dimana barang yang diperjual belikan belum menjadi barang yang layak diperjual belikan, misalnya jeruk, tatkala pohon itu berbunga. Jual beli dengan cara ini diharamkan oleh syariat Islam, Nabi Muhammad bersabda seperti yang tertulis dalam Sidi Alqur’an dan hadis nomor 890:
حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُهَا نَهَى الْبَائِعَ وَالْمُبْتَاعَ *
Artinya:
Diriwayatkan daripada lbnu Umar r.a katanya: Sesung-guhnya Rasulullah s.a.w telah melarang dari menjual buah-buahan sehinggalah betul-betul masak. Larangan itu ditujukan kepada penjual dan pembeli

FAKIR MISKIN DAN ANAK YANG TERLANTAR DIPELIHARA OLEH NEGARA DITINJAU DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM

Oleh: Mouris Lahayati
Pembina Mata Kuliah: Prof Dr H Zainuddin Ali MA

A.Latar belakang
Krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia sejak bulan Agustus 1997 telah membawa dampak yang luar biasa terhadap kehidupan mayoritas bangsa Indonesia.Puluhan juta jiwa penduduk angsung terperosok di bawah garis kemiskinan. Hal inidapat dilihat pada waktu sebelum krisis ekonomi melanda, Badan Pusat Statistikmencatat bahwa jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan mencapai 20-25 jutajiwa, tetapi setelah terjadi krisis ekonomi angka tersebut melonjak drastis, pada tahun1998 tercatat 79 juta jiwa atau sekitar 40% dari penduduk Indonesia dan setelahdikoreksi kembali oleh BPS pada tahun 1999 tercatat 49 juta jiwa penduduk yangberada dibawah garis kemiskinan, (St. Sularto, 2000).Makin bertambahnya jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinantersebut terjadi karena secara umum kelompok masyarakat yang paling terpukul olehkrisis ekonomi yang berkepanjangan adalah mereka yang tergolong ke dalamkelompok masyarakat yang tidak stabil, mudah tergeser, rapuh, miskin dan jauh darijangkauan pembangunan. Kelompok inilah yang menurut Bagong Suyanto disebutsebagai massa rentan, kelompok marjinal atau masyarakat miskin. Kelompokmiskin tersebut umumnya buta hukum, jauh dari akses pelayanan publik, terisolasidari informasi dan koneksi, tidak memiliki patron yang kuat, sehingga sangattergantung pada sedikit sumber penghasilan.Dampak yang ditimbulkan dari keterbatasan-keterbatasan tersebut telahmenyebabkan kerentanan penderitaan yang lebih parah. Oleh karena itu kelompokmasyarakat miskin sering mengalami gangguan kejiwaan maupun fisik sebagaiakibat dari ketidakmampuannya dalam memenuhi berbagai kebutuhan dasarhidupnya dalam waktu yang cenderung berkepanjanganMenurut Bagong Suyanto, di wilayah perkotaan, keberadaan kelompok tersebut akanterlihat pada sederetan perkampungan kumuh atau disebut dengan daerah slum area.Secara umum yang termasuk ke dalam kelompok masyarakat miskin itu adalahtukang becak, pembantu rumah tangga, kuli bangunan, pedagang kaki lima, dansebagainya yang kebanyakan bekerja disektor informal. Sedangkan pada masyarakatperdesaan, kelompok yang sangat rentan biasanya buruh tani, petani gurem, buruhperkebunan, dan lainnya yang tidak memiliki penghasilan tetap.Ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar keluarga tersebut telahberakibat buruk pada status gizi dan kesehatan serta kualitas anak, yang jelas-jelasmempengaruhi tingkat kesejahteraan anak itu sendiri. Oleh karena itu dikhawatirkanakan timbul suatu generasi yang tingkat kecerdasan, kesehatan fisik dan mentalnyaberkurang, sehingga akan terjadi lost generation. Kemiskinan akibat krisis juga akanmeningkatkan eksploitasi terhadap anak dalam melakukan pekerjaan yang tidakmemerlukan pendidikan atau keahlian tertentu, seperti pemulung, pedagang asongan dan prostitusi. Disamping itu krisis ekonomi juga melahirkan anak-anak yangtergolong sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial, seperti anak terlantar,anak nakal, pecandu narkotika, balita terlantar, anak jalanan dan lain sebagainyayang jumlahnya kian hari kian meningkat.Meningkatnya populasi anak jalanan terutama di kota-kota besar di Indonesia telahmemperlihatkan fakta bahwa anak-anak yang seharusnya berada dalam dunianya,harus berhadapan pada dunia orang dewasa. Populasi anak jalanan meningkathingga mencapai angka 40% ditahun 1999, dan di Bandar Lampung sendiri, sebagaipintu gerbang dari dan akan ke Sumatera jumlah anak jalanannya meningkat cukuptajam dari 748 anak menjadi 1.314 anak (Lampost, 2 April 2001), dan saat inidiperkirakan sudah meningkat lebih kurang 2 - 4% per tahun.Munculnya fenomena seperti di atas tentu menjadi sebuah pertanyaan besarmanakala pada konstitusi dasar bangsa Indonesia diakui pelaksanaan dan menjaminhak-hak anak, namun disisi lain permasalahan anak banyak terjadi, padahal dalam UUD 1945 Pasal 28 b ayat (2) disebutkan bahwa setiap anak berhak ataskelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan darikekerasan dan diskriminasi.Berpangkal dari landasan hukum di atas sebenarnya dari sisi esensi pasalnya secaraluas telah menyebutkan perlindungan anak yang mencakup aspek kelangsunganhidup, tumbuh kembang serta berhak atas perlindungan dari segala bentuk kekerasandan diskriminasi.Begitu pula pada Pasal 34 UUD 1945 juga dijelaskan bahwa fakir miskin dan anakterlantar dipelihara oleh negara. Hal ini paling tidak memberikan legitimasi kepadapemerintah untuk menyelesaikan permasalahan anak terutama memenuhi kebutuhandan anak-anak yang dalam kondisi terlantar. Salah satu yang termasuk dalam anakanakterlantar adalah anak-anak jalanan.Ini sama sekali bukan amanat UUD 45, biarpun sudah 63 tahun menghirup kemerdekaan. Enam puluh tiga tahun adalah angka ketika junjungan Nabi Besar Muhammad Sholallohu ‘alaihi wa salam berpulang. Kalau kalimat itu adalah amanat, maka harus tercermin dalam setiap APBN, APBD, dan juga berbagai-bagai organisasi sosial kemasyarakatan dengan atau tanpa embel-embel agama. Juga keluarga-keluarga kaya dan mampu yang dengan kedermawanan hatinya yang ikhlas dan tulus memencet atau memutar engsel kaca mobilnya dan dengan uang sebesar-besarnya mengulurkan jari tangannya untuk disambut para kaum miskin dan terlantar. Kadang dengan sedikit keluhan dan do’a dari kamu terpuruk ini :”alhamdulillah semoga Allah menggantinya dengan yang lebih besar lagi“. Kaum miskin memang jauh dari tepat untuk dimasukkan sebagai amanat UUD 45, tapi lebih tepat sebagai objek untuk mengisi pundi-pundi kaum terhormat
B. PERMASALAHAN
Bagaimanakah solusi sosiologis yang dapat dilakukan pemerintah daerah melalui
Dinas Kesejahteraan Sosial dalam menangani masalah anak jalanan












BAB II
PEMBAHASAN



A.Anak Jalanan; Siapa Peduli
Budi, sebut saja begitu, bocah kecil berkepala gundul itu tengah sibuk menghitung kepingan rupiah hasil jerih payahnya mengamen. Profesi yang emang setiap harinya ia jalani. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Hujan yang mengguyur kota Jakarta sudah mulai mereda. Menyisakan jalanan yang agak licin dan tanah basah. Di depan toko elektronik, Budi diam mematung sambil matanya tak berkedip melihat tayangan telenovela. Mungkin ia sedang mencoba memahami arti hidup ini. Sebab yang ia tahu dalam film, bahwa kehidupan itu serba mudah dan enak. Itu sebabnya, Budi sempat juga bermimpi ingin menjalani kisah hidup seperti dalam film itu.
Menjelang maghrib, Budi terlihat kembali memainkan gitar mungilnya sambil bernyanyi dengan suara yang super sumbang di sebuah bis kota. Ya, anak umur 11 tahun itu seperti nggak mengenal waktu. Sebab waktu baginya ibarat harapan, yang akan terus dikejar. Ia menyadari sepenuhnya, bahwa di jalanan adalah hidupnya. Ia nggak kenal siapa orangtuanya. Yang ia kenal hanya uang, petugas tramtib, dan teman sesama anak jalanan.
Dari hari ke hari hidup Budi adalah di jalanan. Langit jadi atapnya, dan angin menjadi selimutnya. Itu dilakoni bukan karena Budi betah dengan kehidupan seperti itu, justru ia pun pernah ingin untuk hidup seperti layaknya anak-anak lain yang punya orangtua. Di saat Budi harus bersusah payah mengumpulkan uang recehan di terik matahari dan guyuran hujan, anak-anak yang lain bisa sekolah, punya pakaian bersih, makanannya bergizi, dan bisa bercengkerama dengan ortunya di ruang keluarga dengan nyaman. Budi juga ingin merasakan kasih sayang seorang Ibu. Sebab, sejak kecil Budi belajar sendiri tentang kehidupan jalanan yang keras dan tak kenal kompromi.
Suatu ketika Budi pernah berdiri di depan sebuah Mal. Ia kebetulan melihat anak kecil dituntun ibunya menuju mobil. Mata Budi berkaca-kaca, sebab ia tak pernah merasakan hal itu. Dalam kamus hidupnya selama ini, Budi tak pernah merasakan sentuhan kasih sayang ibunya ketika ia pertama kali belajar bicara. Padahal yang ia tahu sekarang, ada orangtua yang ketika mengetahui anaknya pandai menirukan sesuatu, serta merta anaknya dipangku, dipeluk, diciumi, dan disapa dengan ucapan-ucapan yang lembut. Namun ia tidak merasakan kasih sayang seperti itu. Sebab, itu tadi, ia dibesarkan di jalanan, entah siapa orang tuanya, dan entah di mana mereka berada sekarang. Ia tidak tahu dan tidak peduli.
Inilah hidup, yang kita pun menyadari bahwa tak selamanya bisa memilih. Suka maupun duka, harus kita terima dengan lapang dada. Budi, dan juga ribuan anak-anak jalanan lainnya adalah potret buram kehidupan negeri ini. Entah mereka jadi pengamen seperti Budi, entah sebagai penjual koran, pengemis, preman, pencoleng, pemulung, dan beragam “profesi” yang muncul akibat kebutuhan hidup yang makin mendesak dan mencekik leher.
Kawan, mereka ini bukan siapa-siapa. Mereka adalah sebagian dari kita yang kesulitan mencari sesuap nasi dengan cara normal sudah tak terkendalikan. Itulah mereka, pemulung yang mengais-ngais buangan apa saja yang tak terpakai lagi dan dijual sekadar buat beli makanan, pengamen di lampu-lampu merah, pengecer yang menjaja koran dan majalah, bahkan sampai pengemis yang merangkap preman dan pencoleng.
Inilah sepenggal cerita dari sudut remang-remang Jakarta, kota metropolitan di mana denyut kehidupan berlangsung terus menerus, sepanjang 24 jam sehari. Di ibukota ini, semua berhak hidup, termasuk anak-anak jalanan yang kini memenuhi jalan-jalan protokol di seluruh wilayah setiap harinya. Karenanya, meski hidup di sudut-sudut buram kota Jakarta, mereka adalah teman-teman kita juga. Yang kehilangan masa kanak-kanaknya direnggut kerasnya kehidupan jalanan. Sebagian besar hidupnya tak pernah mendapatkan kasih sayang dari ortu dan masyarakatnya.
B.Mereka ada di mana-mana
Berdasarkan hasil survai dan pemetaan sosial Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Universitas Atmajaya-Jakarta, tahun 1999 jumlah anak jalanan di 12 kota besar di Indonesia mencapai 39.861 orang, terdiri atas 32.678 orang laki-laki dan 7.183 orang perempuan. Pada tingkat nasional terdapat sekitar 2,5 juta anak jalanan yang mendapat bantuan pembinaan keterampilan dari Badan Kesejahteraan Sosial Nasional, Dinas Sosial, dan LSM. Sementara data dari Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta mencatat jumlah anak jalanan di Jakarta terdapat 10.800 orang. (Antara)
Dengan kenyataan seperti ini, banyak kalangan yang peduli untuk mengurus mereka. Maka bermunculanlah rumah-rumah singgah untuk sekadar menampung mereka, kemudian membekali dan mendidik mereka dengan keterampilan khusus untuk bisa menatap masa depan dengan lebih jelas dan terarah. Namun anehnya, mereka seperti semut yang nggak habis ditangkapi, terus-menerus bermunculan. Hingga banyak LSM yang menangani kasus ini kewalahan. Akhirnya, anak-anak lebih memilih hidup dengan caranya masing-masing. Dan tentu dari mereka lebih banyak melakoninya kembali di jalanan.
Padahal dalam usia-usia seperti itu, setiap “episode” kehidupan amat berpengaruh pada pembentukan kepribadian mereka. Maka jangan heran bin kaget kalo kemudian mereka belajar dari kehidupan yang salah. Sebab, siapa yang mau mengajari mereka? Sebagai contoh, anak jalanan yang umumnya laki-laki secara naluriah membutuhkan figur wanita dewasa sebagai pengganti ibu. Mereka kelewat cepat matang, mengenal seks kelewat dini, dan akrab dengan zat adiktif, seks, omongan dan tindakan jorok adalah dunia keseharian anak jalanan. Naudzubillahi min dzalik.
Nggak percaya? Silakan ngecek di stasiun, terminal, pasar, dan di jalan-jalan protokol kota besar. Memang sulit dipercaya, banyak orang miskin dan susah untuk hidup di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini—bahkan saking suburnya negeri ini, Koes Ploes pernah menyebutkan bahwa tongkat, kayu, dan batu pun jadi tanaman dalam sebuah lagunya. Coba saja, menurut data tadi, sekitar 2,5 juta anak jalanan ada di negeri ini. Dan perlu diketahui, bahwa jumlah itu nggak mutlak, artinya bisa bertambah. Sebab, siapa tahu yang nggak tercatat malah lebih banyak lagi dari angka itu.
C.Produk kapitalisme
Kalau kamu jalan-jalan ke kawasan perumahan elit di Pondok Indah Jakarta, rasa-rasanya kamu bakal berdecak kagum, dan secara spontan bakal meluncur kata-kata dari mulutmu, “Indonesia benar-benar makmur!”. Tapi kalo kamu teruskan perjalanan menyusuri jalan itu menuju Tangerang, sekitar 3 atau 4 kilometer bakal menemui antrean panjang kendaraan. Sebab di situ ada pasar tumpah di kanan-kiri jalan. Baru deh kamu bilang juga, “Indonesia amburadul!”
Kamu tahu kenapa bisa begitu? Sebab peredaran harta kekayaan njomplang alias nggak seimbang. Kelompok yang memiliki modal kuat, lobynya kuat, maka merekalah yang memenangkan pertarungan ini dan berhak dengan porsi kue pembangunan lebih besar. Itu namanya konglomerat. Sebaliknya, bagi kelompok yang moderat alias modal dengkul sama urat, mereka mencari nafkah dengan rasa cemas. Sebab yang ada dalam pikirannya, adalah pertanyaan-pertayaan seperti ini; “Hari ini dapat untuk makan nggak ya? Hari ini, bisa membelikan susu buat si kecil nggak ya? Hari ini, ada razia dari tramtib nggak ya?”
Tentu ini berbeda dengan para konglomerat, dalam pikiran mereka yang muncul adalah pertanyaan berikut; “Hari ini makan apa ya? Siang nanti makan di resto mana ya? Malam nanti makan dengan siapa ya? Dan, pagi nanti makan siapa ya?” Walah?
Hal itu benar-benar sudah terjadi di negeri ini, kawan. Di mana harta kekayaan hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja. Pak AM Saefuddin yang mantan Menpangan itu, dalam sebuah wawancara dengan majalah PERMATA (edisi 13/V/Januari 1997) menyebutkan bahwa ada 200 konglomerat dari 200 juta penduduk Indonesia. Berarti sekitar 0,0001% memiliki sumber pendapatan nasional 60%. Sisanya, 40% dimiliki sekitar 99,9999% (199.999.800) penduduk Indonesia lainnya. Waduh, apa pula jadinya ya?
Ya, seperti sekarang ini, jutaan anak harus rela hidup di jalanan. Ini merupakan salah satu produk dari idiologi yang berakidah sekular ini. Sistem kehidupan kapitalisme emang jahat dan bathil, sobat. Sistem kehidupan ini telah membentuk manusia yang rusak bin bejat dalam gaya hidupnya.
Coba, apa sekarang para pejabat di negeri ini peduli sama nasib anak jalanan dan kaum miskin lainnya; baik di kota maupun di desa? Ah, kayaknya kamu yang rajin baca koran udah pada tahu mental para pejabat kita. Bener nggak? Pokoknya dari pejabat yang tingkat rendahan sampe yang menentukan kebijakan, hampir semuanya sulit dipercaya. Dulu ada pejabat pemda di wilayah Kalimantan, tiap minggu jalan-jalan ke Puncak di Bogor dengan mengatasnamakan perjalanan dinas. Kamu tahu di sana mereka ngapain? Ya, main golf. Belum lagi pejabat DPRD DKI, mereka malah melakukan studi banding ke Eropa dan Amerika. Hasilnya? Lebih banyak jadwal kunjungan ke daerah wisata ketimbang studi banding urusan pemerintahan.
Terakhir anggota DPR RI, ikut menyusul Megawati ke AS dengan alasan yang tak jelas. Semua itu. Sekali lagi. Semua itu dibiayai dari dana rakyat. Coba, kalo dana yang jumlahnya miliaran rupiah itu digunakan untuk mengentaskan kemiskinan, berapa banyak orang yang tadinya miskin menjadi mapan dan bisa hidup layak? Bener nggak? Lagipula, katanya anak-anak terlantar dan orang miskin sepenuhnya dipelihara oleh negara. Tapi kenyataannya? Memang dipelihara, maksudnya dipelihara supaya tetap ada!
Oya, bukan cuma bapak-bapak pejabatnya aja yang split personality, teman-teman remaja di negeri ini juga banyak yang amburadul kepribadiannya. Untuk yang berhubungan dengan masalah ini adalah masalah kepedulian terhadap sesama. Buktinya, tanggal 3 Oktober kemarin sekitar 6000 orang rela ngeluarin duit 350 ribu perak sampe 550 ribu perak untuk nonton konsernya The Corrs di Jakarta Convention Cente. Tuh, coba, betapa mudahnya “membuang” uang segitu banyak. Cuma untuk menikmati musik beberapa jam doang! Walah?
Tanggung jawab Negara
Untuk menyelesaikan problem anak jalanan, yang merupakan salah satu produk peradaban kapitalisme ini, emang nggak bisa diselesaikan sendiri-sendiri oleh kelompok masyarakat. Buktinya udah banyak LSM yang peduli untuk ngurus mereka, sekaligus juga banyak yang gulung tikar. Ini menunjukkan bahwa kudu ada campur tangan negara untuk menyelesaikannya. Berapapun jumlah LSM yang peduli, kalo negara nggak merespon, tetep aja nggak bakaln kelar juga. Sebab, masalah ini adalah persoalan yang memang seharusnya menjadi tanggungjawab negara. Dalam Islam, seorang pemimpin itu akan dimintai tanggungjawabnya dalam mengatur rakyat. Ia seharusnya menjadi pelindung rakyat, bukan malah menyengsarakan rakyat. Sabda Rasulullah saw.:
إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ
“Sesungguhnya seorang imam (pemimpin) itu merupakan pelindung. Dia bersama pengikutnya memerangi orang kafir dan orang zalim serta memberi perlindungan kepada orang-orang Islam. Sekiranya dia menyuruh supaya bertaqwa kepada Allah dan berlaku adil maka dia akan mendapat pahala, akan tetapi sekiranya dia menyuruh selain dari yang demikian itu, pasti dia akan menerima akibatnya” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jadi, kalo kita nggak ingin terus menyaksikan penderitaan anak jalanan, kita ingatkan para pejabat di negeri ini supaya menyelesaikan problem ini. Sebab semua itu adalah tanggungjawab bapak-bapak kita para pejabat negeri ini. Namun, tentu, harapan ini sulit berubah menjadi kenyataan, jika Islam tidak diterapkan sebagai sistem kehidupan di negeri ini.
Di bawah naungan Islam, insya Allah segalanya menjadi cerah dan jelas. Itu sebabnya, mulai sekarang kita belajar tentang Islam sampai ke akar-akarnya. Lalu sebarkan ajaran mulia ini kepada masyarakat. Agar dunia tahu, bahwa Islam amat peduli dengan kehidupan manusia di dunia ini. Juga agar dunia paham, bahwa kapitalisme ataupun sosialisme dan komunisme tak bisa menjanjikan apapun untuk menjamin kehidupan umat manusia selain kerusakan. Insya Allah dalam kehidupan Islam, nggak bakal ada lagi anak-anak terlantar.
1.Pengertian Anak Jalanan
Menurut Undang Undang Nomor 4 Tahun 1979 Bab II Pasal 2 tentang Kesejahteraan Anak, dijelaskan bahwa anak pada dasarnya berhak mendapatkan kesejahteraan,perawatan, pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dalam kehidupan sosial,mendapatkan pemeliharaan dan perlindungan baik sebelum atau sesudah lahir sertamendapatkan perlindungan terhadap lingkungan yang membahayakan ataumenghambat pertumbuhan.Sedangkan menurut UNICEF (1986), anak jalanan adalah anak yang berusia kurangdari 16 tahun yang bekerja di jalan-jalan perkotaan, tanpa perlindungan dan merekamenghabiskan waktu dijalanan atau alasan mereka berada dijalanan. Begitu puladalam Konvensi Regional I tentang Anak Jalanan di Asia pada tahun 1989 jugadisebutkan bahwa anak jalanan adalah anak yang hidup dijalanan dan anak yangmenghabiskan waktunya untuk bekerja dijalanan guna membiayai hidupnya, baikyang masih memiliki rumah dan keluarga maupun mereka yang sudah tidak memilikikeluarga lagi.Sementara itu menurut International Conference on Street Children, (1986),dijelaskan bahwa anak jalanan pada dasarnya dapat dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu:
2. Anak yang hidup/tinggal di jalanan (children of the street/living in the street).
Pada kelompok ini kebanyakan adalah anak-anak yang tidak lagi berhubungan dengan keluarganya, tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan tetap. Anak-anak pada kelompok ini mempunyai ciri-ciri:
a. Putus hubungan atau lama tidak bertemu dengan orang tuanya minimal setahun sekali;
b. Berada dijalanan seharian dan meluangkan 8-10 jam untuk bekerja,sisanya untuk menggelandang;
c. Tidak bersekolah lagi;
d. Bertempat tinggal di jalanan dan tidur disembarang tempat, seperti emper toko, kolong jembatan, dan lain-lain;
e. Pekerjaannya mengamen, mengemis, pemulung dan serabutan yang hasilnya untuk diri sendiri;
f. Rata-rata berusia di bawah 14 tahun.
Anak yang bekerja dijalanan (children on the street/working children).
Mereka adalah anak-anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya
dijalanan atau tempat-tempat umum untuk membantu ekonomi keluarganya.
Pada kelompok ini anak-anak memiliki hubungan dengan anggota
keluarganya dan sebagian masih duduk dibangku sekolah. Kelompok ini
bercirikan:
a. Berhubungan tidak teratur dengan keluarganya, yakni pulang secara
periodik misalnya seminggu sekali, sebulan sekali, dan tidak tentu, mereka umumnya berasal dari luar kota untuk bekerja dijalanan;
b. Berada dijalanan 8-12 jam untuk bekerja dan sebagian lagi mencapai 16 jam;
c. Bertempat tinggal dengan cara mengontrak sendiri/bersama teman,dengan orang a/saudara/ditempat kerjanya dijalanan. Tempat tinggal umumnya kumuh yang terdiri dari orang-orang sedaerah;
d. Tidak bersekolah lagi;
e. Pekerjaannya menjual koran, pengasong, pencuci mobil, pemulung, penyemir sepatu, dan lain-lain. Bekerja merupakan kegiatan utamasetelah putus sekolah terlebih diantara mereka harus membantu orangtuanya yang miskin, cacat/tidak mampu
f. Rata-rata berusia di bawah 16 tahun.
Anak-anak yang berpotensi menjadi anak jalanan (urnerable to become street children).
Mereka adalah anak-anak yang sering berhubungan dengan jalanan seperti menjual koran. Ciri-ciridari anak yang termasuk kelompok ini adalah:
a. Setiap hari bertemu dengan orang tua;
b. Berada dijalanan sekitar 4-6 jam untuk berkerja;
c. Tinggal dan tidur bersama orang tua atau walinya;
d. Pekerjaannya menjual koran, pengamen, menjual alat-alat tulis, menjual kantong plastik, penyemir, untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan orang tuanya;
e. Rata-rata berusia di bawah 14 tahun.

3.Faktor Penyebab Meningkatnya Kuantitas Anak Jalanan

Menurut Tata Sudrajat (1998), ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang anak
menjadi anak jalanan, baik pada tingkat mikro maupun makro, yaitu:
1.Tingkat mikro (Immediate causes)
Yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarganya, seperti lari dari keluarga,dipaksa ekerja, berpetualang, diajak teman, kemiskinan keluarga, ditolak/kekerasan/terpisah dari orang tua dan lain-lain.
2.Tingkat meso (underlying causes)
Yaitu faktor masyarakat yang mengajarkan anak untuk bekerja, sehingga suatu saat menjadi keharusan dan kemudian meninggalkan sekolah, kebiasaan pergi ke kota untuk mencari pekerjaan pada suatu masyarakat karena keterbatasan kemampuan didaerahnya, penolakan anak jalanan oleh
masyarakat yang menyebabkan mereka makin lama dijalanan dan lain-lain. 3. Tingkat Makro (basic cause) Yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur makro, seperti peluang kerja pada sektor nformal yang tidak terlalu membutuhkan modal dan keahlian yang besar, urbanisasi,biaya pendidikan yang tinggi dan perilaku guru yang diskriminatif, belum adanya kesamaan persepsi instansipemerintah terhadap anak jalanan.Sementara itu menurut Makmur Sanusi (1996), beberapa faktor yang menjadi pendorong munculnya anak jalanan khususnya di Indonesia adalah:
1. Lingkungan anak tersebut.
Dalam hal ini lingkungan dan kondisi kehidupan keluarga merupakan penyebab utama timbulnya masalah kenakalan remaja dan kaburnya anak dari rumah. Umumnya anak jalanan ini hidup didaerah-daerah kumuh, yang tandai :
a. Tidak adanya tempat untuk anak-anak bermain dan menikmati masa kanak-kanaknya;
b. Perumahan yang sempit dan tidak sesuai untuk tempat tinggal manusia;
c. Tersedianya fasilitas yang tidak mendidik untuk anak-anak sebagai dasar
pendidikan dan kebutuhan sosial mereka.
2. Status sosial ekonomi keluarga yaitu faktor kemiskinan;
3. Faktor kekerasan dalam keluarga dan keretakan hubungan dalam kehidupan
rumah tangga orang tua.

4.Landasan Hukum Kebijakan dalam penanganan Anak Jalanan
Permasalahan pekerja anak, tidak hanya terletak pada standar perburuhan internasional atau international labour standard, namun lebih relevan denganpermasalahan pekerja anak. Sejak berdirinya ILO yaitu setelah berakhirnya Perang Dunia I pada tahun 1919, masalah pekerja anak telah menjadi salah satu pusatperhatiannya dan masalah ini telah dicantumkan pada pembukaan konstitusi ILO.Pada tahun itu pula ILO mengeluarkan Convention No. 5 yang isinya melaranganak-anak dibawah 14 tahun untuk bekerja di sektor industri ,(Pandji Putranto,2000). Setelah itu paling tidak ILO telah mengadopsi lebih dari 15 konvensi yangsecara substansial sangat berkaitan langsung dengan permasalahan anak terutama para pekerja anak. Konvensi-konvensi itu antara lain:
1. Konvensi No. 5/1919 mengenai Batasan Usia Kerja untuk Industri;
2. Konvensi No. 6/1919 mengenai Batasan Kerja Malam buat Orang Muda;
3. Konvensi No. 7/1920 mengenai Batasan untuk Pekerja Laut;
4. Konvensi No. 10/1921 mengenai Batasan Usia Minimum untuk Pekerjaan di Pertanian;
5. Konvensi No. 15/1921 mengenai Batasan Usia Kerja Sebagai Juru Api dan Juru Mudi di Kapal;
6. Konvensi No. 33/1932 mengenai Batasan Usia Kerja Non Industri;
7. Konvensi No. 58/1936 mengenai Batasan Usia Kerja di Laut (revisi);
8. Konvensi No. 59/1937 mengenai Batasan Usia Kerja pada Industri (revisi);
9. Konvensi No. 60/1937 mengenai Batasan Usia Kerja pada Pekerja Non Industri (revisi);
10. Konvensi No. 77/1946 mengenai Pemeriksaan Kesehatan pada Tenaga Kerja Usia Muda diIndustri;
11. Konvensi No. 78/1946 mengenai Pemeriksaan Kesehatan bagi Tenaga Muda pada Pekerjaan Non Industri;
12. Konvensi No. 79/1946 mengenai Kerja Malam bagi Orang Muda pada Pekerjaan Non Industri;
13. Konvensi No. 90/1948 mengenai Kerja Malam bagi Orang Muda pada Industri (revisi);
14. Konvensi No. 112/1959 mengenai Batasan Usia sebagai Nelayan;
15. Konvensi No. 123/1965 mengenai Batasan Usia untuk Pekerjaan-pekerjaan di Bawah Tanah;
16. Konvensi No. 138/1973 mengenai Batasan Usia Minimum untuk Bekerja;
17. Konvensi No. 182/1999 mengenai Pekerjaan-pekerjaan yang Terburuk yang Dilakukan oleh Anak-anak (worst forms of child labour). Berdasarkan konvensi-konvensi di atas, maka yang paling komprehensif dan relevanterhadap permasalahan pekerja anak adalah Konvensi ILO No. 138/1973 yang diikuti dengan Rekomendasi No. 146 yang didalamnya ada pengaturan perlindungan tenaga kerja anak yang komprehensif, tegas dan fleksibel, karena adanya perbedaanantara negara-negara yang sedang berkembang dengan yang sudah maju. Disamping itu konvensi ini juga membolehkan anak yang usianya 13-15 tahun untuk melakukanpekerjaan yang ringan, dengan syarat tidak menimbulkan sesuatu yang buruk bagikesehatan dan pertumbuhannya.Sementara itu menurut World Summit for Children tahun 1990 di New York (dalamJoni Muhammad, 1999) yang kemudian melahirkan Konvensi Hak Anak, dijelaskanbahwa paling tidak ada 4 hak anak yaitu:
1. Hak terhadap kelangsungan hidup, yaitu hak-hak anak yang meliputi hak untukmelestarikan dan mempertahankan hidup dan hak untuk memperoleh standarkesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya;
2. Hak terhadap perlindungan, yaitu yang meliputi hak perlindungan daridiskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi;
3. Hak untuk tumbuh kembang, yaitu hak yang meliputi segala bentuk pendidikan(formal-informal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagiperkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak;
4. Hak untuk berpartisipasi, yaitu hak anak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak (the rights of a chil to express her/his views in all matters affectingthatchild).

1. Kebijakan Nasional
Kebijakan nasional Indonesia yang membahas tentang perlindungan terhadap hakhak
anak, antara lain tertulis dalam Pasal 34 UUD 1945 yang menjelaskan bahwa
fakir miskin dan anak terlantar diperlihara negara. Pasal ini paling tidak memberikan
legitimasi kepada pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan anak terutama
memenuhi kebutuhan dan hak anak yang dalam kondisi terlantar.
Selain itu dalam GBHN 1999-2004 di dalam beberapa klausul atau babnya telah
secara eksplisit menyebutkan, terutama Bab IV mengenai arah kebijakan yang
mencakup kebijakan di bidang hukum, ekonomi, politik, agama, pendidikan, dan
sosial budaya. Beberapa bidang yang menyebutkan masalah anak secara spesifik
adalah bidang ekonomi, pendidikan dan sosial budaya, yang berbunyi sebagai
berikut:
2.Bidang Ekonomi, Ayat (4):
Mengupayakan kehidupan yang layak berdasarkan atas/kemanusiaan yang adil bagi masyarakat, terutama bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar dengan mengembangkan sistem dana jaminan sosia
3.Bidang Pendidikan, Ayat (7) :
Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secaraterarah, terpadu dan enyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif,oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secaraoptimal disertai dengan hak dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya.
4.Bidang Sosial dan Budaya, Ayat (1) Kesehatan dan kesejahteraan sosial :
Meningkatkan kepedulian terhadap penyandang cacat, fakir miskin, dan anak terlantar, serta kelompok rentan sosial melalui penyediaan lapangankerja yang seluas-luasnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial.Begitu pula dalam Undang Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anakdalam Bab II Pasal 2 juga disebutkan bahwa anak berhak mendapatkankesejahteraan, perawatan, pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dalamkehidupan sosial, mendapatkan pemeliharaan dan perlindungan baik sebelum atausesudah lahir serta mendapatkan perlindungan terhadap lingkungan yangmembahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar.Berdasarkan pada aturan-aturan yang jelas dan tegas di atas, seharusnya bangsaIndonesia khususnya pemerintah Indonesia lebih proaktif dalam menyelesaikanpermasalahan anak, terutama anak jalanan yang kian hari kian kompleks. Namundemikian menurut Emil Salim dalam Sambutan Rakernas YKAI 1999 dinyatakanbahwa realitas menunjukkan bahwa pada takaran makro, isue anak di Indonesiamasih dianggap non marketable, tidak diacuhkan, sehingga kepentingan anakterpinggirkan. Marginalisasi tersebut seperti tampak pada beberapa indikator bahwaanak tidak masuk dalam platform politik partai, DPR tidak pernah membicarakansecara khusus permasalahan anak dan isue anak. Anak selalu menjadi sasaran
gugatan tanpa berusaha memahami permasalahan mereka, bahkan media pun kurang meminati permasalahan mengenai isue anak. Disamping itu persoalan anak selaludipandang sebagai permasalahan domestik atau persoalan privat sehingga konsepkepemilikan begitu kuat, bahkan barangkali juga adanya usaha dehumanisasisistematis dalam masyarakat bernegara, sehingga gerakan yang sistematis dari ataske bawah dan menempatkan anak selalu berada pada struktur terbawah dalam setiap pembahasan.Sementara itu menurut Benjamin Balugh (2000), dikatakan terdapat produkperundang-undangan yang secara umum berkaitan dengan permasalahanperlindungan anak, yaitu:
1. Hukum ketenagakerjaan; UU No. 1 Tahun 1951, Permenaker No. 11 Tahun1984, UU No. 20 Tahun 1999, dan UU No. 1 Tahun 2000;
2. UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;
3. Peraturan Menteri Kehakiman No. M.03-UM.01.06 Tahun 1991 mengenai Tata Tertib dan Tata Ruang Sidang Peradilan Anak;
4. Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa;
5. Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah;
6. Undang Undang No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera;
7. Undang Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
8. Surat Edaran Menteri No. Ed.10/M/BW/1990 tentang Peningkatan Pelaksanaan
Pengawasan terhadap Perusahaan yang Memperkerjakan Anak;
9. Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga sejahtera;
10. Inpres No.1Thn 1994 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar tanggal15April 1994;
11. Undang Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak; dan mungkinmasih banyak lagi yang lainnya


A.Solusi Sosiologis Penanganan Anak Jalanan

Sebagai tindak lanjut dari berbagai landasan hukum sebagaimana telah dipaparkandi atas, maka Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung mengeluarkan kebijakanmelalui program kemitraan antara Dinas Kesejahteraan Sosial dengan Lembaga Swadaya Kemasyarakatan (LSK) dalam bentuk pengelolaan rumah singgah yang tertuang dalam Surat Keputusan Tim Koordinasi Kota Pemberdayaan Anak Jalanan Kota Bandar Lampung No. 400/500/52/III/2000.Menurut Dirjen Bina Kesejahteraan Sosial, (1999), dikeluarkannya kebijakan rumahsinggah atau open house ini didasarkan pada pertimbangan bahwa diberbagai negarasudah digunakan untuk menangani masalah anak jalanan. Disamping itu juga dapatdigunakan untuk melengkapi berbagai pendekatan yang sudah lama dikenal yaitustreet based (berpusat di jalanan), center based (berpusat di panti), dan community
based (berpusat di masyarakat).Sementara itu tujuan dari rumah singgah secara umum adalah untuk menyelamatkandan melindungi anak agar dapat tumbuh kembang secara wajar sehingga dapatmenjadi sumber daya manusia yang produktif. Sedangkan tujuan khususnya adalah:
1.Menyatukan anak dengan orang tua dan jika memungkinkan memasukkan anak ke keluargapengganti, panti pesantren dan sebagainya;
2. Mengurangi kebiasaan-kebiasaan buruk yang dilakukan anak jalanan;
3. Mempertahankan/mengembalikan anak jalanan ke sekolah dan meningkatkan prestasi belajar;
4. Mendidik anak jalanan menjadi warga masyarakat yang terampil dan produktif;
5. Meningkatkan pendidikan keluarga dan kemampuan orang tua dalam mengasuh dan mendidik anaknya;
6. Memberikan bantuan tambahan dengan orang tuanya agar dapat mempertahankan status kesehatan dan gizinya.Namun demikian, dalam realitasnya pelaksanaan kebijakan rumah singgah ini
ternyata belum mampu secara efektif menangani masalah anak jalanan. Hal ini mungkin disebabkan oleh lemahnya sistem pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Kesejahteraan Sosial dan lemahnya manajemen pengelolaan para pengurus rumahsinggah. Disamping itu, karena perilaku para anak jalanan itu sendiri yang dianggapkurang bertanggung jawab, sebagai akibat kurang dilakukannya pendekatan secaramendalam terhadap sikap dan perilaku mereka dalam kehidupan sehari-hari. Kurangefektifnya peran rumah singgah ini kemudian menimbulkan anggapan bahwapelaksanaan penanganan anak jalanan tersebut hanya dijadikan lahan untuk mencarikeuntungan pribadi oleh oknum-oknum tertentu.Mencermati penerapan kebijakan pengelolaan rumah singgah tersebut, terdapat indikasi bahwa Pemerintah Daerah melalui Dinas Kesejahteraan Sosial belumsepenuhnya mampu melakukan penanganan masalah anak jalanan secara optimal.Hal ini terbukti bahwa sampai saat ini kuantitas anak jalanan nampak masih terusmeningkat yang tersebar di berbagai sudut kota di Bandar Lampung. Menurut pengamatan sementara bahwa kenyataan ini amat menganggu ketertiban jalan raya,menimbulkan keresahan masyarakat dan mengganggu keindahan kota yangnotabene tidak sesuai dengan slogan Bandar Lampung Kota TAPIS BERSERI.Dalam rangka membantu Pemerintah Daerah untuk menangani masalah anak jalanantersebut, maka diusulkan beberapa solusi sosiologis sebagai berikut:
1. Pemerintah daerah melalui Dinas Kesejahteraan Sosial secara terpadu bersamasamadengan pihak legislatif, dinas instansi, lembaga dan organisasi social lainnya agar menyepakati upaya pendanaan secara rutin melalui APBD baikdalam jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Dengan demikian diharapkan pembinaan anak jalanan secara operasional dapat berkesinambungan.
2. Dengan memanfaatkan dana yang tersedia diharapkan Dinas Kesejahteraan Sosial dapat memiliki komitmen yang kuat dan berkiprah secara langsung dalamupaya penanganan masalah anak jalanan dengan mengangkat para anak jalanantersebut keluar dari kebiasaannya sehari-hari, dan melakukan pembinaanketerampilan sesuai dengan usia, bakat, minat dan kemampuannya masingmasing,agar mereka tidak memiliki keinginan untuk kembali kejalanan.Pembinaan tersebut diantaranya dapat dilakukan:
a. Bagi anak jalanan dalam kategori di bawah umur, seyogyanya pihak yang terkait melakukan pembinaan terhadap orang tuanya dengan memberibantuan modal usaha ekonomi produktif sesuai dengan bakat, minat danketerampilan yang dimiliki. Dengan demikian diharapkan orang tuanya dapatkembali mendidik dan mengasuh anaknya tanpa ketergantungan danmengganggu ketertiban pengguna jalan raya .
b. Bagi anak jalanan dalam ategori di bawah umur yang sudah tidak memiliki orang tua (yatim piatu), seyogyanya pihak yang terkait melakukan pembinaandengan menempatkan pada orang tua asuh atau panti asuhan. Hal inidiharapkan agar mereka memiliki kesadaran yang tinggi untuk tidak kembalikejalanan yang selama ini meresahkan masyarakat pengguna jalan.
c. Bagi anak jalanan dalam kategori remaja, seyogyanya pihak yang terkait melakukan pembinaan keterampilan tertentu yang produktif sesuai denganpangsa pasar. Hal ini diharapkan agar setelah mereka keluar dari pembinaandapat hidup secara mandiri.
d. Bagi anak jalanan dalam kategori remaja yang tergolong sering melakukanperilaku menyimpang dan kejahatan, seyogyanya pihak yang terkait denganbekerjasama dengan aparat kepolisian melakukan penjaringan secara tegasuntuk kemudian dititipkan pada lembaga-lembaga tertentu yang bergerakpada bidang pembinaan mental spiritual. Sebagai tindak lanjut daripembinaan ini, maka selanjutnya melakukan pembinaan keterampilan tertentuyang produktif sesuai dengan pangsa pasar. Hal ini diharapkan agar setelahmereka keluar dari pembinaan dapat hidup secara mandiri.3. Untuk menghindari terjadinya benturan sikap dan pandangan antara lembagapenanganan HAM dengan aparat keamanan, antara pemerintah dengan pengguna jalan, maka pihak-pihak yang terkait perlu melakukan penyeragaman visi danmisi yang berkaitan dengan keberadaan anak jalanan.
4. Dinas Kesejahteraan Sosial harus segera melakukan upaya yang bersifat lintassektoral dengan melibatkan berbagai pihak, baik swasta, pemerintah, pribadi ataukelompok yang didalamnya terdiri dari kaum profesional, praktisi, akademisidari berbagai disiplin ilmu, tokoh-tokoh masyarakat maupun agama yangdiharapkan mampu memberikan jalan keluar terbaik bagi penanganan danpemanfaatan para anak jalanan. Upaya itu antara lain pihak-pihak tersebut agar
berpartisipasi secara aktif baik dalam menginformasikan, menyalurkan terhadappihak terkait di atas, atau secara langsung melakukan pembinaan sesuai denganbidangnya secara kelembagaan, sekaligus sesuai pula dengan bakat, minat danketerampilan para anak jalanan yang bersangkutan.
5. Dinas Kesejahteraan Sosial harus melakukan upaya kemitraan dengan berbagaiLembaga Swadaya Kemasyarakatan (LSK) dengan kendali utama tetap beradapada Dinas Kesejahteraan Sosial, yang disertai dengan kontrol yang ketat.Disamping itu pemilihan Lembaga Swadaya emasyarakatan sebagai mitra kerjaharus dilakukan secara selektif dan profesional. Hal ini dimaksudkan untukmenghindarkan manipulasi dana maupun data yang berkaitan dengan penanganananak jalanan.
6. Dinas Kesejahteraan Sosial harus senantiasa melakukan upaya jemput social terhadap para anak jalanan dengan menggunakan pendekatan kultural,fungsional, manusiawi dan simpatik, sehingga dapat menumbuhkan kesadarandan pola pikir baru untuk mengikuti berbagai pembinaan yang ditawarkan tanpapaksaan. Disamping itu mereka juga harus merasakan adanya jaminan untukmendapatkan kehidupan yang lebih baik melalui pemberian berbagai bekalpengetahuan maupun keterampilan produktif, yang hasilnya dapat dipasarkan keberbagai tempat melalui kerja sama antara Dinas Kesejahteraan Sosial denganberbagai pihak.Dengan berbagai upaya di atas, diharapkan penanganan terhadap anak-anak jalanandapat berhasil efektif, dan mampu memberikan harapan hidup yang lebih baik dalammenyongsong masa depannya.

BAB III

KESIMPULAN
1. Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang anak menjadi anak jalanan, baik pada tingkat mikro maupun makro, yaitu:
a. Tingkat mikro (Immediate causes), yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarganya
b. Tingkat meso (underlying causes), yaitu faktor masyarakat yang mengajarkan anak untuk pekerja
c. Tingkat Makro (basic cause), yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur makro, seperti peluang kerja pada sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal dan keahlian yang besar
2. Solusi penanganan anak jalanan yang diusulkan adalah:
a. Perlu adanya kesepakatan upaya pengadaan dana melalui APBD baik dalam jangka pendek, menengah maupun jangka panjang.
b. Perlu adanya komitmen bersama antar pihak terkait tentang penanganan anak jalanan baik melalui pembinaan terhadap anak jalanan dalam kategori di bawah umur, yatim piatu, dan remaja.
c. perlu penyeragaman visi dan misi dalam penanganan masalah anak jalanan.
d. Perlu adanya pusat informasi penyaluran dan pengentasan anak jalanan melalui partisipasi aktif berbagai pihak yang terkait.
e. Perlu adanya kontrol yang ketat terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap penanganan masalah anak jalanan agar tidak terjadi manipulasi dana maupun data.
f. Dinas Kesejahteraan Sosial harus senantiasa melakukan upaya jemput sosial
terhadap para anak jalanan dengan menggunakan pendekatan kultural, fungsional, manusiawi dan simpatik

DAFTAR PUSTAKA


Balugh, Benjamin. 2000. Kerangka Kebijakan Masalah-Masalah Anak. Disampaikan pada Konferensi Nasional III Kesejahteraan Anak di Jakarta, 26-28 Oktober 2000.
Depsos RI. 1999. Pedoman Penyelenggaraan Pembinaan Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah. Dirjen Bina Kesejahteraan Sosial, Jakarta.
HNSDP. 2000. Petunjuk Teknik HNSDP Anak Jalanan. HNSDP, Jakarta.
Joni, Muhammad. 2000. Analisis Kebijaksanaan Masalah Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus. Disampaikan pada Konferensi Nasional III Kesejahteraan Anak di Jakarta, 26-28 Oktober 2000.
5. Putranto, Pandji. 2000. Sosialisasi UU No. 1/2000 dan UU No. 20/1999 serta
Realitas Permasalahannya. Disampaikan pada Konferensi Nasional III Kesejahteraan Anak di Jakarta, 26-28 Oktober 2000.
Sularto, ST. ed. 2000. Seandainya Aku Bukan Anakmu. Kompas, Jakarta.
Suyanto, Bagong. 2000. Konvensi ILO dan Realitas Pekerja Anak. Artikel, Harian Umum Republika, 7 April 2000.

PENGANTAR HUKUM INDONESIA

Oleh: Prof Dr H. Zainuddin Ali, MA
(Guru Besar Fakultas Hukum Univ Tadulako, Palu)

A. Pendahuluan
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
1. Hukum perdata Indonesia

Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Dalam tradisi hukum di daratan Eropa (civil law) dikenal pembagian hukum menjadi dua yakni hukum publik dan hukum privat atau hukum perdata. Dalam sistem Anglo Sakson (common law) tidak dikenal pembagian semacam ini.
Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum dimaksud, adalah hukum perdata barat [Belanda] yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, UU Kepailitan. Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yaitu Code Napoleon yang disusun berdasarkan hukum Romawi Corpus Juris Civilis yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut Code Civil (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813). Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh Mr.J.M. Kemper disebut Onterp Kemper. Namun sayangnya Kemper meninggal dunia [1824] sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh Nicolai yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia. Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838, yaitu :
1. Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda.
2. Wetboek van Koophandel disingkat WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang]
Kodifikasi hukum dimaksud, menurut Prof Mr J, Van Kan adalah merupakan terjemahan dari Code Civil hasil ciplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda Pada 31 Oktober 1837, Mr. C.J. Scholten van Oud Haarlem di angkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota yang kemudian anggotanya ini diganti dengan Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Kodifikasi KUHPdt. Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.
Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.

The Civil Code
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW)yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian. Kitab undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer) terdiri dari empat bagian, yaitu:
Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu); (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan.
Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda)), yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.
Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.
Sistematika yang ada pada KUHP tetap dipakai sebagai acuan oleh para ahli hukum dan masih diajarkan pada fakultas-fakultas hukum di Indonesia.
Hukum pidana Indonesia
Berdasarkan isinya, hukum dapat dibagi menjadi 2, yaitu hukum privat dan hukum publik (C.S.T Kansil).Hukum privat adalah hukum yg mengatur hubungan orang perorang, sedangkan hukum publik adalah hukum yg mengatur hubungan antara negara dengan warga negaranya. Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur tentang penentuan tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Hukum pidana formil mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil. Di Indonesia, pengaturan hukum pidana formil telah disahkan dengan UU nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (KUHAP).
Hukum tata negara
Hukum tata negara adalah hukum yang mengatur tentang negara, yaitu antara lain dasar pendirian, struktur kelembagaan, pembentukan lembaga-lembaga negara, hubungan hukum (hak dan kewajiban) antar lembaga negara, wilayah dan warga negara.
[sunting] Hukum tata usaha (administrasi) negara
Hukum tata saha (administrasi) negara adalah hukum yang mengatur kegiatan administrasi negara. Yaitu hukum yang mengatur tata pelaksanaan pemerintah dalam menjalankan tugasnya . hukum administarasi negara memiliki kemiripan dengan hukum tata negara.kesamaanya terletak dalam hal kebijakan pemerintah ,sedangkan dalam hal perbedaan hukum tata negara lebih mengacu kepada fungsi konstitusi/hukum dasar yang digunakan oleh suatu negara dalam hal pengaturan kebijakan pemerintah,untuk hukum administrasi negara dimana negara dalam "keadaan yang bergerak". Hukm tata usaha negara juga sering disebut HTN dalam arti sempit.
Hukum acara perdata Indonesia
Hukum acara perdata Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum perdata.
Hukum acara pidana Indonesia
Hukum acara pidana Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum pidana. Hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam UU nomor 8 tahun 1981.
Asas dalam hukum acara pidana
Asas didalam hukum acara pidana di Indonesia adalah:
Asas perintah tertulis, yaitu segala tindakan hukum hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang berwenang sesuai dengan UU.
Asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, jujur, dan tidak memihak, yaitu serangkaian proses peradilan pidana (dari penyidikan sampai dengan putusan hakim) dilakukan cepat, ringkas, jujur, dan adil (pasal 50 KUHAP).
Asas memperoleh bantuan hukum, yaitu setiap orang punya kesempatan, bahkan wajib memperoleh bantuan hukum guna pembelaan atas dirinya (pasal 54 KUHAP).
Asas terbuka, yaitu pemeriksaan tindak pidana dilakukan secara terbuka untuk umum (pasal 64 KUHAP).
Asas pembuktian, yaitu tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (pasal 66 KUHAP), kecuali diatur lain oleh UU.
Hukum antar tata hukum
Hukum antar tata hukum adalah hukum yang mengatur hubungan antara dua golongan atau lebih yang tunduk pada ketentuan hukum yang berbeda.
Hukum adat di Indonesia
Hukum Adat di Indonesia
Hukum adat adalah seperangkat norma dan aturan adat yang berlaku di suatu wilayah.
Hukum Islam di Indonesia
Hukum Islam di Indonesia belum bisa ditegakkan secara menyeluruh, karena akan bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia itu sendiri. Aceh merupakan satu-satunya provinsi yang banyak menerapkan hukum Islam melalui Pengadilan Agama, sesuai pasal 15 ayat 2 Undang-Undang RI No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu : Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.
Hukum Islam berasal dari Al Quran, sedangkan hukum di Indonesia berasal dari Pancasila dan UUD 1945. Dalam hukum Islam, berzina dihukum rajam, sedangkan di Indonesia berzina hukumannya adalah penjara, jadi dalam hukum Islam tidak mengenal penjara, karena dalam penjara tidak ada penghapusan dosa sebagai ganti hukuman di akhirat. Apabila di dunia orang yang bersalah telah dihukum sesuai syariat Islam, maka di akhirat orang tersebut sudah tidak diproses lagi, karena telah diproses sesuai dengan ketentuan yang ada dalam kitab-Nya, Al Qur'an.
Di dalam Al Quran surat 5:44, Barangsiapa yang memutuskan sesuatu tidak dengan yang Allah turunkan, maka termasuk orang yang kafir". Demikian juga dalam ayat 45, dan 47. Jadi umat Islam harus menegakkan hukum syariat Islam secara keseluruhan, karena Allah telah memerintahkan agar ummat-Nya masuk Islam secara keseluruhan (QS 2:208).
Istilah hukum
Advokat
Sejak berlakunya UU nomor 18 tahun 2003 tentang advokat, sebutan bagi seseorang yang berprofesi memberikan bantuan hukum secara swasta - yang semula terdiri dari berbagai sebutan, seperti advokat, pengacara, konsultan hukum, penasihat hukum - adalah advokat.
Advokat dan pengacara
Kedua istilah ini sebenarnya bermakna sama, walaupun ada beberapa pendapat yang menyatakan berbeda. Sebelum berlakunya UU nomor 18 tahun 2003, istilah untuk pembela keadilan plat hitam ini sangat beragam, mulai dari istilah pengacara, penasihat hukum, konsultan hukum, advokat dan lainnya. Pengacara sesuai dengan kata-kata secara harfiah dapat diartikan sebagai orang yang beracara, yang berarti individu, baik yang tergabung dalam suatu kantor secara bersama-sama atau secara individual yang menjalankan profesi sebagai penegak hukum plat hitam di pengadilan. Sementara advokat dapat bergerak dalam pengadilan, maupun bertindak sebagai konsultan dalam masalah hukum, baik pidana maupun perdata. Sejak diundangkannya UU nomor 18 tahun 2003, maka istilah-istilah tersebut distandarisasi menjadi advokat saja.
Dahulu yang membedakan keduanya yaitu Advokat adalah seseorang yang memegang izin ber"acara" di Pengadilan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman serta mempunyai wilayah untuk "beracara" di seluruh wilayah Republik Indonesia sedangkan Pengacara Praktek adalah seseorang yang memegang izin praktek / beracara berdasarkan Surat Keputusan Pengadilan Tinggi setempat dimana wilayah beracaranya adalah "hanya" diwilayah Pengadilan Tinggi yang mengeluarkan izin praktek tersebut. Setelah UU No. 18 th 2003 berlaku maka yang berwenang untuk mengangkat seseorang menjadi Advokat adalah Organisasi Advokat.
[sunting] Konsultan hukum
Konsultan hukum atau dalam bahasa Inggris counselor at law atau legal consultant adalah orang yang berprofesi memberikan pelayanan jasa hukum dalam bentuk konsultasi, dalam sistem hukum yang berlaku di negara masing-masing. Untuk di Indonesia, sejak UU nomor 18 tahun 2003 berlaku, semua istilah mengenai konsultan hukum, pengacara, penasihat hukum dan lainnya yang berada dalam ruang lingkup pemberian jasa hukum telah distandarisasi menjadi advokat.
Jaksa dan polisi
Dua institusi publik yang berperan aktif dalam menegakkan hukum publik di Indonesia adalah kejaksaan dan kepolisian. Kepolisian atau polisi berperan untuk menerima, menyelidiki, menyidik suatu tindak pidana yang terjadi dalam ruang lingkup wilayahnya. Apabila ditemukan unsur-unsur tindak pidana, baik khusus maupun umum, atau tertentu, maka pelaku (tersangka) akan diminta keterangan, dan apabila perlu akan ditahan. Dalam masa penahanan, tersangka akan diminta keterangannya mengenai tindak pidana yang diduga terjadi. Selain tersangka, maka polisi juga memeriksa saksi-saksi dan alat bukti yang berhubungan erat dengan tindak pidana yang disangkakan. Keterangan tersebut terhimpun dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang apabila dinyatakan P21 atau lengkap, akan dikirimkan ke kejaksaan untuk dipersiapkan masa persidangannya di pengadilan. Kejaksaan akan menjalankan fungsi pengecekan BAP dan analisa bukti-bukti serta saksi untuk diajukan ke pengadilan. Apabila kejaksaan berpendapat bahwa bukti atau saksi kurang mendukung, maka kejaksaan akan mengembalikan berkas tersebut ke kepolisian, untuk dilengkapi. Setelah lengkap, maka kejaksaan akan melakukan proses penuntutan perkara. Pada tahap ini, pelaku (tersangka) telah berubah statusnya menjadi terdakwa, yang akan disidang dalam pengadilan. Apabila telah dijatuhkan putusan, maka status terdakwa berubah menjadi terpidana.

PERAN ETIKA BISNIS DALAM KEHIDUPAN EKONOMI

Oleh: Drs. M. Arafah Sinjar, M.Hum
Pembimbing Prof Dr. H. Zainuddin Ali, MA

A. Pengantar
Bila dikaji lebih mendalam, filsafat bukanlah ilmu yang tidak memiliki relevansi dengan ilmu-ilmu lain. Dan filsafat tidak hanya mengawang-ngawang, namun filsafat justru memiliki kajian yang nyata dan realistis dan tidak lepas dari keterkaitan masalah-masalah kehidupan manusia.
Etika merupakan salah satu cabang dari filsafat yang berkaitan erat dengan kehidupan manusia, yaitu kehidupan ekonomi. Filsafat tidak sekedar berdialog dengan realitas social ekonomi yang ada namun juga ikut serta menyumbangkan gagasan pemecahan permasalahan yang menyimpang didalam dunia bisnis pada umumnya dan bisnis perbankan pada khususnya. Karna itu, Etika bisnis berusaha menanggulangi penyimpangan-penyimpangan yang seharusnya sejalan dengan prinsip-prinsip etika bisnis bangsa Indonesia yang mengakar tau sistem nilai masyarakat kita. Penyimpangan dari bisnis diatas seperti halnya, gaya penipuan yang semakin canggih seperti Mark-up pemalsuan data, penerbitan surat berharga fiktif, praktek money laundering, saling menjatuhkan, persaingan yang tidak sehat, uang, sogok, yang semir, kolusi pencairan dana, pembocoran rahasia, ekspor fiktif yang menghebohan karena merugikan negara materil maupun imateril.
Dalam pembangunan ekonomi terutama dalam dunia perbankan tidak hanya melihat bidang organisasi, manajemen, perencanaan jangka pandang, sistem informasi, budaya kerja, tapi yang sangat menentukan dan tidak kalah penting dengan lainnya adalah “etika Bisnis”.
Dalam rangka mengantisipasi globalisasi di bidang perdagangan, industri, khususnya sektor perbankan, maka sudah jelas bahwa tidak hanya segi strategi kompetisi , organisasi, teknologi. Namun yang menyangkut bercirikan etika bisnis yang tumbuh dan dijunjung tinggi oleh segenap lapisan masyarakat Indonesia.
Agar bangsa Indonesia dapat bersaing dengn kompitator internasional, maka akar etika Pancasila tetap dipetahankan bahkan diusahakan sebagai tuan rumah yang mampu mewanai atau menjadi lokomotif etika perekonomian nasional kita walaupun kita telah berada di ambang pintu globalisasi seperti AFTA pada Tahun 2003 dan sejenisnya.
Pemegang peranan penting dalam rangka menghadapi era globalisasi yang serba terbuka ini adalah manusia yang berperilaku. Sejauh mana manusia pebisnis itu memahami etika yang benar. Bagaimana seseorang menghargi suatu pandangan hidup yang memiliki bobot kearifan dan bagaimana seseorang menanggapi lingkungan sekitarnya. Karena itu kalau tidak ditata dan dikembangkan secara sadar, masalah ini tidak bisa menjadi makin kabur dan generasi mendatang tidak tahu lagi apa yang benar dan apa yang tidak benar.
Etika merupakan instrument penting di dalam kehidupan ini, karena etika dapat dipandang sebagai sarana orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab suatu pernyataan yang amat fundamental “bagaimana saya harus hidup dan bertindak”. Etika mau membantu, agar kita lebih mampu untuk mempertanggung jawabkan kehidupan kita. Etika bukan suatu sumber tambah bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral.
Etika bisnis itu sendiri sesungguhnya mengacu pada adanya seperangkat aturan-aturan yang berkaitan dengan “profesionalisme Code of Conduct” dan aturan main dalam konteks profesionalisme ini dilandasi oleh pandangan-pandangan moral tentang nilai-nilai apa yang benar dan salah.
Etika bisnis merupakan patokan atau rambu perilaku yang menentukan apa yang baik dan yang tidak baik dalam suatu tindakan. Ia berbeda dengan dogma agama dan juga merupakan produk hukum.
Bagi Indonesia saat ini yang sedang terlibat dalam gemuruhnya proses pembangunan nasional atau pengembangan perekonomian nasionalnya seyogayanya lebih memahami yang namanya etika bisnis. Arti dan esensi yang sebenarnya etika bisnis itu bagaimana ?
Walaupun nampaknya diatas adanya pola arah perilaku yang berlandaskan tata nilai dan norma atau ukuran yang seharusnya dilandasi falsafah Pancasila, tetapi nampak ada penyimpangan maupun kecenderungan-kecenderungan baru didalam pengaruh era globalisasi.
Perkembangan pembangunan ekonomi di era globalisasi ditandai dengan terjadinya bidang kerja, ada penerbit, manajer, manajer pmasaran, manajer keuangan, konsultan, notaries, advokat, dan pengusaha senior maupun pengusaha muda, sehingga tampak bahwa Setelah ada deferensiasi masyarakat, terjadi aliansi kepentingan dan kolusi kepentingan.
Penyimpangan-penyimpangan dalam bisnis sudah tidak mampu dibendung, seperti halnya dalam dunia perbankan. Penyalahgunaan “Secret;y Waiver” semacam surat pernyataan dari nasabah bank untuk melepaskan diri ketentuan dari rahasia bank. Kadang ada pihak banka maupun luar bank dengan kesewenangan menggunakan secara bebas. Secret;y Waiver sebenarnya di Indonesia sudah bisa diterapkan dalam rangka mendapatkan kejelasan tentang nasabah yang menunggak atau sudah bisa mempertanggung jawabkan penggunaan kreditnya. Nasabah bank juga kadang berlindung pada undang-undang perbankan tentang ketentuan rahasia bank.
Perbuatan-perbuatan curang juga kadang terjadi pada penilaian (surveyor) taah dan bangunan, seperti mengatur dan merekayasan bahwa tanah atau rumah yang akan dijadikan jaminan, namun yang ditunjuk sebenarnya tidak sesuai dengan apa yang ada dibuku tanah atau IMB (Izin mendirikan bangunan).
Bila diamati dunia perbankan, maka ditemukan juga semakin sering menjadi korban kejahatan akibat merebaknya korupsi, pemalsuan dan penipuan dengan sarana komputer dalam praktek perbankan. Namun, yang paling parah adalah adanya fenomena ketidakdisiplinan dari kejujuran pada tingkat pimpinan bank. Bahkan justru mengadakan kolusi yang bobrok, seperti halnya memberi input kepada nasabahnya untuk tidak melunasi hutangnya dengan cara difailitkan sisa kekayaan yang masih ada dijual. Sebagian dari hasil kekayaan yang masih ada dijual. Sebagian dari hasil penjualan itu diberikan sebagai gift kepada pejabat bank. Demikian selolas yang terjadi didalam dunia percaturan ekonomi di negara kita yang tercinta ini. Namun, sebagai insan cinta tanah airnya, sudah pasti tidak hanya berpangku tangan melihat kejadian-kejadian yang tidak bermoral bahkan lebih jauh melanggar aturan-aturan yang ada. Dengan sadar panggilan hati nurani murni dan cinta tanah air itulah maka kita tidak pernah berhenti bertanya kenapa penyimpangan-penyimpangan di atas selalu terjadi, dan bagaimana melurus-kannya.

B. Evaluasi
Pelaku bisnis yang dikaitkan dengan etika adalah manusia itu sendiri. Oleh karena manusia itu bukanlah makhluk yang berdiri sendiri yang dapay mempertankan kediriannya tanpa ada perubahan-perubahan sikap atau penampilan, namun ia merupakan sosok makhluk yang terdiri dari jasmani rohani, yang mana didalamnya di samping ada yang berbentuk fisik material juga ada immaterial, seperti akal pikiran, emosi, perasaan dan lain sebagainya. Oleh karena itu bilamana manusia dikaitkan dengan makhluk pelaku bisnis yang diharapkan memiliku bobot etika bisnis, maka tidak lepas dari sifat-sifat, kondisi atau keadaan struktur masyarakatnya, yaitu corak lingkungan social politik ekonomi dan budaya masyarakat tersebut.
Penulis tidak heran bilamana mendapat informasi tentang adanya manusia bersifat malaikat, dalam pengertian tidak tergoda akan pengaruh-pengaruh yag tidak bermoral apalagi menyimpang dari norma-norma yang ada dalam suatu masyarakat. Demikian pula penulis tidaklah heran kalau di antara pebisnis ada yag muncul sebagai koboi bank yang bersifat serakah dan sikat kiri kanan tanpa memperdulikan rambu-rambu kesopanan maupun aturan yang ada.
Penampilan-penampilan diatas nampaknya diwarnai atau dipengaruhi oleh beberapa factor :
Pertama : Adalah factor dari dalam diri manusia, seperti suara hati manusia mengalami adanya hukum dalam hati yang tidak ia ciptakan sendiri melainkan sebagai yang harus ia taati. Suara hati itu memerintahkan manusia untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik dan menolak apa yang jahat. Bagi orang yang beriman, manusia mengalami dalam suatu hati seorang diri berada bersama dengan tuhan yang selalu menyapanya. Ada juga manusia yang menentang suara hatinya, menguburkan dalam-dalam teriakan suara hatinya yang terdalam untuk menampilkan suatu perilaku yang tidak terpuji. Karena manusia tersebut suara hatinya tidak menggetarkan dirinya untuk berbuat sesuatu yang baik karena ia telah menjadi tumpul karena kebiasaan berdosa.
Faktor ke dua : adalah melalui budaya seperti halnya alat-alat atau teknologi, yang mana tidak satu unsur pribadi manusia yang luput dari pengaruh teknik. Kemudian selanjutnya adanya “etos” masyarakat yaitu kompleks kebiasaan dan sikap-sikap manusia terhadap waktu, alam dan kerja.
Secara sosiologis etika bisnis merupakan salah satu produk social, merupakan produk lingkungannya. jadi atas dasar hal itu dapat kita katakan bahwa mau tidak mau lingkungan social, politik, ekonomi, budaya dari suatu masyarakat jelas berpengaruh terhadap bagaimana arti, bentuk dan penerapan etika bisnisnya.
Factor lain adalah sangat “inti” karena menyangkut hati dari kebudayaan. Yaitu pemahaman dari masyarakatcara bagaimana menafsirkan dirinya, sejarah dan tujuannya.
Lapisan yang mempengaruhi di sini adalah paham-paham atau keyakinan seseorang sehingga berpikir dan bertindak selalu berusaha sesuai dengan isme-isme yang melatar belakangi dari pihak pelaku bisnis.
Pengaruh lain yang dirasakan dahsat adalah karena adanya era globalisasi yang sangat derasis merubah pembangunan yang bercirikan agraris menjadi industrial area. Bahkan proses pembangunan membuat unsur perubahan tidak saja perubahan fisik tetapi juga perubahan dalam sistem nilai.
Bagaimanapun dahsatnya pengaruh di atas yang memiliki potensi untuk merubah pendirian pelaku bisnis. Namun yang patut dicamkan bahwasanya seseorang atau suatu masyarakat yang sudah siap dan sadar akan posisi dirinya, maka seorang pengusaha atau seorang bankir selalu menempatkan dirinya pada dua sisi, yakni ; mentalitas dan aspek profesionalisme.
Pada prinsipnya profesionalisme juga tidak terlepas dari prinsip-prinsip atau bankir harus yakin bahwa ia sebagai hamba Allah, berperilaku social yakin bahwa ia sebagai hamba Allah, berperilaku social yakni ia utuk kepentingan usaha dagangnya. Ini menyangkut urusan mental. Sebagaimana yang diuraikan oleh Immanuel Kant, tentang mentalitas dewasa ini, sikap hidup hedonistic dan kerakusan merebut peluang cukup menclok. Demi kesenangan dan kepentingan pribadi atau kelompok.
Disadari oleh kant bahwa sukar menetapkan perilaku seseorang di dalam menjalankan suatu tindakan, apakah itu dapat dinilai moralitas atau justru tidak memiliki bobot moralitas. Karena yang kita amati hanyalah apa yang secara lahiriah belaka. Oleh karena itu dengan tegas kant mengatakan bahwa “hanya Allah mampu melihat bahwa tekad batin kita adalah moral dan murni”.
Pelaku bisnis diberbagai lapangan, nampaknya masih jauh dari harapan bilamana perlaku bisnis akan ditempatkan pada posisi makhluk sadar akan kewajibannya sebagai dasar tindakan moral sebagaimana Kant mengatakan bahwa seseorang dianggap moralist dimana tindakannya benar-benar sesuai dengan kewajiban (auspt licht). Tindakan tersebut tidak didasari oleh karena adanya kecenderungan spontan atau selera pribadi, melainkan landasan tindakan itu demi kewajiban semata-mata, inilah tindakan yang baik. Baik pada dirinya sendiri(baik an sich).
Penulis masih berkesimpulan bahwa di Indonesia masih sukar diterapkan konsep moral dan etika Immanuel kant didalam paham imperatif katagoris ini didala dunia bisnis. Factor-faktor yang tidak dapat mewujudkannya karenan beberapa factor yang mempengaruhi pelaku bisnis. Factor-faktor yang tidak dapat mewujudkannya karena beberapa factor yang mempengaruhi pelaku bisnis tersebut. Walaupun tidak semua pebisnis demikian, tetapi pada umumya mereka masih bertindak karena adanya kepentingan sendiri, pertimbangan utung rugi, atau tidakan mereka hanya berusaha menyeseuaikan hukum, agar tidak dikategrikan melanggar hukum.
Di sinilah perlunya perhatian kita terhadap makhluk pebisnis tidak hanya diperhatikan bobot keerampilannya, tetapi benar-benar menyadari keberadaan dan fungsinya. Mereka harus menyadari bahwa kepercayaan dari pemerintah dan rakyat harus dipelihara. Seperti diberinya izin berarti pemerintah mempercayai kepada pemilik bank untuk menarik dan mengelola dana-dana masyarakat. Kalau mereka gunakan dana bank utuk kelompoknya sendiri, itu sama juga merampok negara. Janganlah pemilik bank cenderung menganggap bank adalah kasir mereka dapat di tarik kapan saja untuk kepentingan usaha sendiri. Mental semacam ini terus menghinggapi bank sampai sekarang.
Menurut hasil riset info bank selama ini menunjukkan, remuknya bank karena diperas habis-habisan oleh pemilik dan bankirnya sendiri.

C. Saran-saran
Kegiatan bisnis pada hakekatnya merupakan simbol kehidupan yang dinamis bagi manusia yang memfungsikan jiwa, akal pikiran dan panca inderanya untuk mengantisipasi keberlangsungan keberadaan makhluk yang berpikir didalam suatu konstalasi suasana ruang waktu yang saling terkait.
Dalam rangka mengarungi bahtera yang penuh gelobang dan tantangan, terutama menjelang era globalisasi, maka makhluk pelaku bisnis dan orang-orang yang terkait di tanah air yang tercinta ini, kiranya memperhatikan saran-saran penulis di bawah ini. Sebagai bahan pertimbangan untuk meniti karier dalam dunia bisnis pada umumya dan khususnya dalam dunia bisnis pada umumnya dan khususnya dalam dunia bisnis industi perbankan:
1. Setiap individu yang terlibat langsung dalam sutu kegiatan bisnis. Seharusnya meyakini dirinya bahwa ia bersikap kritis-bijak yaitu adan landasan etika bisnis yang selalu mewarnai setiap buah pikiran, sikap dan performansnya.
Seseorang bankir harus bisa membedakan posisi bank dengan perusahaan. Bangir menghadapi dan pengelolah uang. Pendekatan oprasinya harus penuh dengan kehati-hatian. Oleh karena itu persaingan dala dunia pebankan, tidak hanya pada moral dan asset dan harus besar, atau ROA (retur on eferage assets) dan ROE (Return on Everage Equity) nya harus tumbuh membumbug, tetapi tidan kalah pentingnya adalah bank dan bankir harus menyesuaikan etika perbankan sebagai bankir. Oleh karena itu hendaknya mulai sekarang para pelaku bisnis berlatih keras untuk meningkatkan kesadaran moral, tidak lagi bertindak dengan dasar selera pribadi atau tindakan sekedar menyesuaikan hukum, melainkan landasan tindakan itu demi kewajiban semata-mata. Walaupun itu memang diakui suatu perjuangan yang pahit tetapi mulia.
Bilamana sikap mentalitas imperatif kategoris Immanuel Kant dapat diterapkan didalam dunia bisnis, maka pelanggaran etika apalagi pelaggaran hukum dapat dikikis sedikit demi sedikit.
Penyebab utama adalah semakin mudah para birokrat “untuk main mata” untuk berbagai nikmat dari hasil pelanggaran etika, ini dikarenakan kaburnya pengertian dan criteria, yang mana etis dan tida etis, ukurannya sudah terlampau buram.
Seseorang yang memiliki kemauan moral, bila ia seorang bawahan maka ia berani memberi pertimbangan “kalau perlu menolak dan bahka berhenti”, bila hal yang bertentangan dengan kode etik perbankan masih saja digelindingkan oleh pimpinannya. Seperti halnya disuruh membuat promosi ikhwal pelayanan bank dan tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, atau penyinggung bank lain.
2. Perlunya pembinaan terhadap calon pebisnis dan para bankir maupun yang akan memasukkan dunia perbankan tentang pemikiran yang luas dan cakrawala berpikir yang menyeluruh. Peningkaan cara berfikir makro sebelum mikro . Penulis melihat banyak hambatan bahkan merusak pembangunan nasional dan merugikan bank nasional, tidak hanya bertentangan dengan moral pancasila, khususnya dengan sila ke lima, ke adilan social. Karena individu-individu yang mementingkan diri sendiri dengan memperkaya diri atas beban bank. Sebagaimana kita ketahui bahwa bank ialah suatu usaha jasa, yang modal utamanya terdiri dari kepercayaan. Oleh karena itu, yang harus melekat pada setiap keputusan dan langkah adalah “kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi”. Seorang bankir tidak mudah dirasuki oleh paham yang serba materi. Yang mana pertimbangan materialistic selalu menjadi penggerak keputusannya. Konkritnya adalah janganlah menjadi bankir yang materialistic sehingga mudah berpindah dari suatu bank ke bank yang lain, yang dampaknya sangat mengganggu dunia perbankan karena akan menciptakan kemudahan budaya “bajak membajak bankir”
3. Perlu ditumbuh kembangkan keterbukaan dan budaya malu. Harus ada terobosan yang dapat ditempuh. Keterbukaan bank sangat dibutuhkan untuk membuka sesuai batas yang ada, namun sudah mampu menjadi bahan potensi untuk memaklumkan debitur nakal, sebab kalau tidak, keadaan bank tidak sehat akan begini terus. Ada kredit macet perlu diekspos, tidak perlu ditutupi. Sehingga biamana dibiarkan demikian, maka suatu waktu bank itu Go Public, dapat duit bursa. Kemudian duit masyarakat inilah yang digunakan untuk menutupi kerugian yang disebabkan debitur yang punya kredit macet tadi.
4. Sebagaimana tulisan sebelum menyatakan bahwa pada dasarnya makhluk pebisnis tetaplah manusia bukan malaikat. Sehingga tidak lepas dari kebutuhan manusia yang meruang dan mewaktu. Ia memiliki pemahaman-pemahaman etika dan moral bahkan semua aturan yang terkandung di dalam butir-butir keramat sila-sila Pancasila di luar menyuap untuk menunjang kelanjutan hidupnya terancam bahkan ada gejala macet dalam kelanjutan kehidupannya maka dalam keadaan tersebut mereka mudah sekali keluar dari sistem yang legal untuk menabrakrambu-rambu kesopanan, bahkan meningkat ke pelanggaran hukum. Oleh karena itu sangat diperiori-taskan untuk meningkatkan kesejahteraan bagi karyawan, pegawai negeri, atau birokrat yang sangat banyak pera nannya dalam hal urusan dunia perbankan maupun dunia ekonomi lainnya.
Penulis sangat prihatin tentang hasil survei luar negeri terbukti yang mengatakan bahwa “gaji pegawai negeri di Indonesia rata-rata hanya cukup untuk hidup selama 10 (sepuluh) hari saja”. Pertanyaannya adalah 20 (dua puluh) hari itu ? tidak mungkin menjadi malaikat yang tidak butuh papan sandang dan pangan. Sehingga jalan keluarnya ada ngobyek kiri kanan. Lantas muncullah ekonomi biaya yang tinggi. Kalau dia dibagian perizinan / birokrasi biasanyabanyak tambahan [unthe table] sehinga mengakibat-kan pengusaha asing /investormengundukan diri karena ‘high cost’ yang tidak termasuk kalkulasi. Namun penulis juga menyadari bahwa kenaikan gaji yang berlipat-lipat tidaklah menjadi jaminan ampuh untuk ngerem kerakusan dalam uatu dunia bisnis .godaan yang bergemuru dalam diri manusia ditambah dengan pengaruh kehidupan gemerlapan yang over acting kadang bembuat bankirTIDA tahan mental dan tidak kuat menahan godaan sogokan, suap [bribery]. Seprti hundoro b halim menyuap oknum tim pemeriksa bank Indonesia [BI] sebesar Rp 60.000.000.000,- [enam puluh miliar ] sehingga bank Indonesia hanya mengusulkan agar bank berniagaan [mengganti manajemennya]. Untuk sementara hundoro aman [infobank Edisi khusus juni No.211/1997].
5. Melihat sosok manusia beseta perilaku seharianya tidaklah selalu gambaran yang sebenarnya.karna memang manusia itu sendiri adalah mahluk misteri.Kadang dikira sabar,taat,saleh ternyata pembobol bank atau koboi bank.Demikian pula sebaliknya,nampaknya nakal,seram tidak mudah senyum, namun sangat jujur dan mudah dipercaya.Ada benarnya pepata yang mengatakan”Dalamnya laut dapat diukur tetapi hati orang sukar ditebak”. Yang tahu hanyalah dirinya dan Tuhan Pencipta alam semesta ini.
6. Dalam hal memperbaiki kondisi seseorang terutama menunjang untuk menjadi manusia pengelola usaha, pebisnis yang mental pancasilais dan profesional namun tetap harus ada perangkat perangkat untuk mengawasi seseorang.Seperti halnya para pengawas; ;disini sangat diharap Dewan komisaris,jangan kelompok ini justru dibayar murah,datang seenaknya, tidak ada ruang atau sekedar pajangan person saja, bahkan lebih para lagi bila mana dewan pengawas atau dewan komisaris tidak memahami seluk beluk dunia perbankan.
7. Perlu penambahan Dewan audit karna ini juga berfungsi sebagai dewan pengawas juga pengawas dengan sistm yang bersifat stuktural yakni unit pengawasan intern. Kiranya juga sudah saatnya ditinjau lebih gigih lagi tenteng masih suburnya pengaruh nepotisme dalam dunia perbankan yang pada hakikatnya membuat lemah sistim pengawasan.
8. Adalah: Penegakan hukum. Penulis menyadari bahwa etika bisnis tidak meiliki bobot potensi sanksi.Namun yang ada hanyalah sekedar panggilan hati nurani justru sebenarnya bilamana hati nurani yang mengutuk dan mengukum maka terasa lebih membekas dan membuat orang yang tidak menaati peradilan moral itu tidak dipercayai oleh diriny sendiri. Inilah hukum yang menurut penulis yang sangat sadis bila mana seseorang tidak dipercayai oleh dirinya sendiri. Inilah hukum yang menurut penulis yang sangat sadis bila mana seseorang tidak dipercayai oleh dirinya sendiri. Oleh karna itu, pemerintah dan kelompok-kelompok masyarakat yang melembaga secara bertahap dan sistimatis mengadakan pembinaan mental bangsa yang akan menjadi asset pembangunan diberbagai bidang. Walaupun pada prinsipnya bangsa Indonesia telah kaya akan nilai-nilai moral yang dapat dijadikan sebagai dasar materi pembinaan, namun tidaklah salah bilamana juga membuka diri dan wawasan dari nilai-nilai yang datangnya dari luar seperti halnya nilai-nilai yang ada di dalam ajaran Immanuel Kant tentang imperatif kategoris.
9. Sebenarnya dengan amat berat kesepakatan suatu masyarakat untuk menciptakan suatu aturan bersama yang harus ditaati oleh warga dan penguasanya. Sebab, aturan tersebut, memiliki bobot sanksi bagi pelanggarnya dengan tidak pandang bulu.
10. Kode etik adalah “seperangkat nilai yang bias mengefektifkan peraturan antara karyawan dan atasan” pada akhirnya sanksi-sanksi menyangkut pelanggaran kode etik tersebut, harus dikembalikan pada masing-masing bank.
11. Hukum memiliki cirri khas yang tegas dan tidak hanya membiarkan sesuatu kerusakan, kejahatan atau pelanggaran rambu-rambu kiri dan kanan tanpa ada sanksinya. Oleh karena itu, pemerintah tidak hanya perlu political will, namun yang perlu adalah commitmen will.
12. Moralitas yang mengarah ke korupsi karna tidak malu menyalahgunakan wewenang. Sebenarnya pejabat tidak perlu melakukan korupsi karena telah memiliki modal dasar, yaitu sumpah jabatan. Dasar moral juga harus memiliki pimpinan informal atau pimpinan agama, sehingga dasar moral ini harus selalu ditumbuhkan.
13. Perlu disamak keputusan organisasi kerjasama ekonomi pembangunan [organization for economic cooperation and development-oecd ]yang telah menyetujui diberlakukanya undang-undang anti penyuapan (bibery). Berdasarkan undang-undang itu sertiap perusahaan multi nasional yang terbukti melakukan penyuapan atau kolusi untuk menda-patkan sebuah proyek dapat diajukan ke pengadilan .
14. Sebernarnya di Indonesia soal pemberantasan korupsi cukup memadai. Peraturan itu kita jadikan base,tetapi yang penting adalah penegak hukum. Dalam hal emforcement,jaksa harus menindak koruptor,polisi juga dilibatkan,pers diberi kebebasan.Pokoknya berbagai bidang atau total foot ball, semua harus disentuh. Juga tidak cukup budaya malu, tetapi juga harus ditumbuhkan budaya bersalah. Keter-bukaan dan usaha menghindari kolusi, korupsi maupun nepotisme akan sangat membantu tumbuhnya perbaikan dunia bisnis terutama dunia perbankan. Usaha tersebut merupakan salah satu inti perjuangan daripada apa yang disebut “reformasi total”.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Bakker, Anton (et all), metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1994.
Bakker, J.W.M. SJ. Filsafat Kebudayaan, Yogyakarta, Kanisius, 1988.
Ball, Brian, Principles Of Business Law, London, Sweet & Maxweel, 1979.
Bella, N. Robert , Tokugawa Religion, New York, The Free press, 1996.
--------------, Beyond belief ,new york, Harper and Ros, 1976.
Bell, Daniell, The Coming of Past Industrial society Basic Books, Global Village, diperkenalkan oleh Murshall Mcluhan, ttp, 1973.
Bertens. K, Etika Bisnis Menjadi Urusan Siapa, Jakarta, Pusat Pengembangan Etika, Universitas Atmajaya, 1993.
Blanshard, Brand, Morality and Politics, dalam Richard T. De George, Ethics and Society, London, Macmillan 1968.
Darajat, Zakiah, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia, Jakarta, Bulan Bintang.
Dardiri, Humaniora Filsafat dan Logika, Jakarta, CV. Rajawali, 1986.
Demente, Lafoyettle, Boye, Etiket dan Etika Bisnis dengan Orang Cina, Diterjemahkan oleh Anas Sidik, Judul Asli “ Chinese Etiquette and Ethics in Business, Jakarta, Bumi Aksara, 1991.
Dister, OFM, Syukur, Nico, Filsafat Kebebasan, Yogyakarta, Kanisius, 1988.
Donaldsson, Thomas (at all) Ethical Issues in Bussiness, A Philosophical Approach, New Jersey, Prentice Hall, Englewood Cliffs, 07632.
Allul, Japques, The Technological Society, (Terjemahan) New York, Wilkinson, 1964.
Etzioni, Amitai, The Moral Dimension, Toward a New Economics, New York, The Free Press A Division of Macmilan, Inc. Collier Macmilan Publishers London.
Fuady, Munir, Hukum Bisnis, Buku Satu, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1994.
Gram, Petter, Islamic Roods of Capitalism, Egypt 1760 – 1840 (Austin, Texas University of Egypt Press, 1979).
Greetz, Clifford, Peddlers and Pronces, Chicago: The University Of Chicago, Press, 1971.
Hadipranata, F. Asip, Peranan Perguruan Tinggi Dalam Menumbuhkembangkan Teori-Teori dan Prinsip-Prinsip Kode Etik Bisnis di Indonesia, Yogyakarta, Seminar di Balai Pertemuan UGM “Temu Wicara Nasional Penanggulagan Perbuatan Curan” pada Tanggal 6-7 Oktober 1992.
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta, Kanisius, 1990.
Hamersma, Harry, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta, PT. Gramedia, 1990.
Jakti, Kuncoro, BM., Etika Bisnis dan Peraturan Perdagangan Secara Sektorat dan Regional, Jakarta, 1989.
Kant, Immanuel, Grundlegung Zur Metaphysik der sitten Universal-Biblilothek, Nr. 4507/07a Alere ether varbchalten, Gset zt in Borgis Gramond – Antique. Printed in Germany 1965, Satz : Sammoer Sohe, Feuctwongen Druch Rechlam Stuttgart.
------------, Kritik dan Praktischen Vernunft, Heraus Gegeben von Karl Vorlander mit Einer Bibliographie von Heiner Klemme Felix Meine verlag, Hamburg, 1990.
------------, Fundation sof the Metaphisics of Morals (ter), Indianapolis, Bobbs- Merill Educations Publishing, 1980.
Magnis Suseno, Franz, Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta, Kanisius, 1987.
-------------, Etika Umum, Jakarta, Yayasan Kanisius, 1987
Majid, Nurcholis, Agama dan Etika Bisnis, Jakarta, 1987.
Menezes, I. Inocencio, Manusia dan Teknologi, “Telaah Filosofis”, J ELLUL, Yogyakarta, Kanisius, 1986.
Menteri Negara Lingkungan Hidup, Etika Bisnis dan Tanggung Jawab, Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 31 Oktober 1987.
Meulen De Van W.J., Ilmu Sejarah dan Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1987.
Mubiarto, Ideologi Pancasila dalam Kehidupan Ekonomi, Dalam Buku Pancasila Sebagai Ideologi Disunting oleh Oetojo Oesman dan Alfian, Jakarta, BP-7 Pusat, 1992.
-----------, Hukum Bisnis, Buku Dua, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1994.
Naisbitt, John, (et all), Trend Watcher, Jakarta, Kompas, Minggu 26 Pebruari 1995, hal. 9
Naqfi Haider Nawub, Syeb, Etika dan Ilmu Ekonomi, Pengantar M. Dawam Rahadjo, Bandun, Mizan, 1985.
Noerhadi Heraty, Toety, Dialog Filsafat dengan Ilmu-ilmu Pengetahuan, Suatu Pengantar Meta – Metodologi, Jakarta, Universitas Indonesia, 1994.
Oesman, Oetojo dan Alfian (Penyunting), Pancasila Sebagai Idiologi, Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Masyara-kat, Berbangsa dan Bernegara, Jakarta, BP-7 Pusat, 1992.
Pangaribuan, Emy, Aspek Yuridis dan Cara Penanggulangannya Persaingan Curang, Yogyakarta, 1992.
Paursen, Van Anthoni Cornelis, Orientasu di dalam Filsafat, diterjemahkan oleh Dick Hartoko, Jakarta, PT. Gramedia, 1983.
-------------, Berfilsafat dari Konteks”, Jakarta, PT. Gramedia, Pustaka Utama, 1991.
Philips, Alfred, Proffesional Ethichs For Scottish Solicitors”, Butter Worths, 1990.
Picardo, Ignacio, SCLE., A New Top Down Moral Reform, Unitd Mexican States, dalam Majalah Leadesis, Edisi September, 1987.
Poedjawijatna, Manusia dengan Alamnya, (Filsafat Manusia), Jakarta, PT. Bina Aksara, 1983.
Poerwantara (et all), Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung, CV. Rosda (RD), 1988.
Pound, Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum, New York, Djakarta, Yayasan Penerbitan Franklin, 1921.
Purba, Umar Zen A., Pokok-Pokok Pikiran Mengenai Pengaturan Persaingan Sehat di Dunia Usaha, Penulis Diskusi Terbatas Rapat Kerja, Jakarta, Dep. Perda-gangan, 9 September 1994.
Recom Paul, Cf, Universal Civilization and Individual Cultures, dalam History and Truth Northen University Press.
Said. M., Etik Masyarakat Indonesia, Jakarta, Pradnya, Paramita, 1976.
Seri Filsafat Driyarkara, Jelajah Hakekat Pemikiran Manusia, Jakarta, Penyunting Tim Redaksi Driyarkara, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Siagian, P. Sondang, Filsafat Administrasi, Jakarta, CV. Haji Masagung, 1980.
Siamat, Dahlan, Manajemen Lembaga Keuangan, Jakarta, Intermedia, 1995.
Simorangkir, Etik dan Moral Perbankan, (Living Issues In Philosophy), Jakarta, Bulan Bintang, 1984.
Solomon, C. Robert R. Andre Karo-Karo, Etika, Suatu Pengantar, Jakarta, Erlangga, 1987.
Stace, The Concepts of Morals, New York, Macmillan Co, 1937.
A R T I K E L
Abeng, Tanri, Profesionalisme, Efisiensi dan Etika Bisnis, Jakarta, Yayasan Paramadina, 3 Oktober 1987.
Habibie, BJ., Globalisasi, Jakarta, Kompas, 5 Desember 1996, hal. 15.
Kiam Gie Kwik, Likuidasi Bank dan Ekornya, Jakarta, Kompas, Senin 10 Nopember 1997, hal. 1 dan 5.
Kartasasmita, Ginajar, Beberapa Pokok Pikiran Mengenai Etika Bisnis dan Pengembangannya di Indonesia, Makalah Pada Seminar Etika Bisnis, Yayasan Wakaf Paramadina, 31 Oktober 1987.
Keraf, Sonny. A, Etika Bisnis, Yogyakarta, Kanisius, Pustaka Filsafat, 1993.
Kusuma, Mulyana, W., Dunia Usaha Rawan Kejahatan Kerah Putih, Jakarta, Majalah Bulanan Dagang dan Industri Kotak Bisnis, Edisi September- Oktober, 1994.
Lanur, Alex, Filsafat Manusia, Jakarta, Driyarkara, 1994.
Lopa, Baharudin, Catatan Hukum, Jakarta, Kompas, 3 Desember 1994.
Lubis, Todung, Mulya, Etika Bisnis di Indonesia Semakin Tidak Ditaati, Jakarta, Kompas, Tanggal 24 April 1995, hal. 2.
Nilai-Nilai Dasar Kode Etik Pengusaha Indonesia, Hasil Rapim Kadin), Jakarta, 1989.
Pakpahan, S. Normin, Pokok-pokok Pikiran Tentang Hukum Persaingan Usaha, Elips, Kertas Kerja Hukum Ekonomi dan Penyempurnaan Sistem Pengadaan Kantor Menteri Negara Koordinasi Bidang Ekonomi, Keuangan dan Pengawasan Pembangunan, Jakarta, 1994.
Sumitra, Joyo, Subardjo, Prospek Perbankan Indonesia Tahun 1995, Kompas , 25 Januari 1995, hal. 2
Suryawasita, Suara Hati, Jakarta, Kompas, Selasa 25 Pebruari 1995, hal. 4.
Tajuk Rencana, Kompas, Jakarta, Selasa, 1995, hal. 4
Tjahjadi, Lili, Hukum Moral, Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris, Jakarta, Kanisius, 1991.